Minggu, 18 Februari 2018

Sampah yang Tak Mematikan Keluarga Mujiono



Masih ingatkah anda tentang indeks kebahagiaan yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik Tahun 2017 dimana Propinsi Maluku Utara khususnya kota Ternate menjadi salah satu kota yang paling bahagia. Benarkah setiap warga kota Ternate telah berbahagia? Benarkah kita sudah tidak akan lagi menemukan potret-potret keluarga dengan kondisi yang teramat memperihatinkan di kota ini?

Index of Happiness merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat berdasarkan tingkat kebahagiaannya. Nilai Indeks Kebahagiaan tertinggi secara berturut-turut terdapat pada propinsi Propinsi Maluku Utara (75,68), Maluku (73,77), dan Sulawesi Utara (73,69). Sementara itu, Propinsi Papua, Sumatera Utara dan Nusa Tenggara Timur merupakan tiga provinsi yang ternyata memiliki Indeks Kebahagiaan terendah dengan nilai indeks masing-masing sebesar 67,52; 68,41; dan 68,98 (BPS, 2017).


Keluarga Mujiono dan Ibu Sri Rahayu merupakan potret keluarga tidak berkecukupan yang hidup di kota Ternate. Belum memiliki rumah dan penghasilan yang tetap memaksa pak Mujiono selaku kepala keluarga harus putar otak–berusaha keras. Namun jika dilihat sekilas, keluarga kecil ini tetap bersahaja dan berbahagia meski sejujurnya untuk mencari sesuap nasi pun sulit.

Mulanya keluarga ini merupakan transmigran Wairoro Kabupaten Halmahera Tengah. Sektor pertanian belum menjadi hoki untuk keluarga ini. Walhasil semakin membulatkan tekad Pak Mujiono untuk hijrah ke Ternate. Sejak tahun 2001–2005 pak Mujiono menjadi tukang ojeg. Dan setelah itu beralih menjadi penjual gorengan berupa tahu isi dan pisang goreng. Namun, nasib menjadi penjual tahu ini sepertinya tak semulus yang diharapkan. Terkadang ketika kondisi sunyi pak Mujiono kerap mengalami kerugian. Tempat jualan tahu isi dan pisang goreng ini berada di dekat pasar inpres kelurahan Bastiong. Tempat usaha yang masih berstatus kontrak. Pendapatan yang tidak sesuai dengan biaya modal membuat keluarga Mujiono pun harus angkat kaki dan berpindah ke kelurahan Jerbus yang berada tepat di bagian barat dari Bastiong.

Hidup mencari rezeki, mencari sesuap nasi. Pernyataan ini yang semakin menguatkan gerakklangkah Pak Mujiono untuk segera move-on dari impiannya menjadi juragan tahu/gorengan bahkan pun bos tukang ojeg. Sehingga, pada awal tahun 2010 pak Mujiono banting stir menjadi pengumpul sampah. Sampah yang biasanya dikumpulkan berupa: botol air mineral, kaleng susu, besi tua, almunium dan kertas bekas. Pak Mujiono tidak sendirian menjalani profesi barunya sebagai pengumpul sampah. Ada ibu Sri Rahayu isteri tercinta yang telah menganugerahi empat orang anak untuknya. Yang mana anak pertama sekarang (red: tahun 2016) sudah berada pada semester akhir di salah satu Universitas Swasta di Kota Ternate.

Meski tertatih-tatih memilih-milih sampah di tumpukkan yang lebih tinggi di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dan rela mengubur malu untuk menuruni selokan demi mendulang rezeki, sungguh pun tak memadamkan semangat pak Mujiono dan ibu Sri Rahayu. Di sela-sela perjumpaan saya melihat semangat yang menggbu seiring dengan cucuran keringat Bu Rahayu juga pak Mujiono. Meski begini senyum masih bisa terpatri diantara keduanya. Ataukah mungkin benar pernyataan dari Kepala BPS, Suhariyanto bahwa Maluku Utara menjadi propinsi paling bahagia karena masyarakatnya lebih dalam memaknai hidup. Mungkin bisa jadi, pemahaman yang mendasar inilah yang menjadi penyulut semangat keluarga Mujiono untuk terrus memperjuangkan kehidupannya.

Akhir Desember tahun 2016 adalah awal perjumpaan penulis dengan keluarga Mujiono dan pada bulan November tahun 2017 dipertemukan lagi. Terlihat semangat menjalani profesi sebagai pengumpul sampah masih menyala-nyala. Ini nampak juga dari gerobak yang telah berubah warnanya menjadi lebih menyala. Meskipun motor yang digunakan untuk menggandeng gerobak tetap sama. Adapula tulisan “Jaga Jarak” untuk memperingatkan pada kendaraan yang berada di belakang gerobak agak tidak balapan, apalagi saat geobak dipenuh sampah-sampah hampir lebih dari 20 karung. Gerobak penampung sampah keluarga Mujiono diikatkan tepat pada pegangan motor bagian belakang. Di saat perjalanan pulang, pak Mujiono menjadi pengemudi sedangkan ibu Rahayu duduk di belakang sambil kedua tanggannya memegang erat gerobak. Makna “Jaga Jarak” mulai tersingkap bukan? Karena saat motor dikayuh oleh pengemudi maka rasa was-was menggerogoti pikiran Bu Rahayu yang mana harus tetap fokus memegang gerobak apalagi pada saat posisi jalan tanjakan atau berada di belokan yang cukup tajam.

Mungkin dengan posisi hidup seperti ini keluarga Mujiono khususnya Ibu Rahayu sedang belajar untuk mengolah emosi. Kewaspadaan yang begitu tinggi terjadi acap kali bu Rahayu terlalu menitikberatkan fokusnya pada tumpukan sampah yang meninggi di gerobak belakang. Pak Mujiono dan Bu Rahayu setiap harinya juga tak lupa tetap meletakkan fokus pada rasa bahagia. Maka bukan tak mungkin jika kebahagiaan selalu terpatri disini – di keluarga kecil yang menyandarkan hidupnya pada sampah-sampah yang berserakan juga yang tertumpuk hingga menjulang tinggi. Sebagaimana menurut Deden Hendrayana (2014), percaya atau tidak, emosi anda akan menjadi semakin kuat bila anda semakin fokus. Semakin anda fokus maka marah, sedih, gembira dapat anda rasakan (tergantung apa yang akan dipilih). Sebaliknya, emosi anda akan reda bila anda mengubah fokus Anda. Sedih bisa jadi bahagia dan seterusnya. Jika ingin dibuktikan, coba saja di saat anda merasa sedih, gantilah fokus anda kepada sesuatu hal yang mengembirakan. Fokus dan semakin fokuslah pada rasa gembira itu maka rasa sedih Anda akan sirna. Begitu sederhana bukan?
Pak Mujiono mengakui bahwa dengan nyampah (sebutan anyar bagi pengumpul sampah oleh keluarga Mujiono) maka perekonomian keluarga mereka dapat tertolong. Biaya kuliah sang anak, biaya makan sehari-hari bisa tercukupkan hanya dengan modal nyampah. Ditambahkan Bu Rahayu, "dengan menjadi pengumpul sampah, waktu bersama keluarga khususnya waktu mengurus anak lebih lebar durasinya". Quality time dengan keluarga lebih dapat dirasakan. Mengapa? karena pengumpul sampah memiliki waktu yang fleksibel. Asal sudah cukup untuk makan, maka dicukupkan. 

Kalkulasi pemasukan keluarga Mujiono dalam waktu tiga hari saja bisa mencapai satu juta rupiah. Pemasukan yang fantastis ini didapatkan dari penjualan botol air mineral, kaleng susu, besi tua/almunium dan kertas bekas di salah satu bank sampah yang terletak di kelurahan Kayu Merah kota Ternate Selatan. Bank sampah atau tempat penjualan besi tua yang terdapat di kota Ternate ini sepertinya menjadi juru selamat bagi keluarga kurang berkecukupan seperti pak Mujiono. Berdasarkan hasil wawancara dengan bu Rahayu: harga kertas bekas per kilogramnya adalah Rp.1000,00;  kaleng susu Rp. 700,00; gelas plastik (air mineral) Rp. 250,00 dan botol plastik (air mineral) Rp. 1.000,00. Besar kecilnya pendapatan perhari atau total akumulasi perminggu tergantung dari segiat apa pak Mujiono dan ibu Rahayu dalam mendulang rezeki.

Akhir kata, jika kebahagiaan bisa ditakar dengan sesuap nasi lantas mengapa kita masih saling menyakiti dalam mencari rezeki? Bukankah jodoh, mati dan rezeki adalah hak yang maha digdaya Tuhan Yang Maha Esa? Sampai kapan kita tetap mendongak dan melawan untuk tidak mensyukuri nikmat yang diberi? Semoga kebahagiaan ini akan selalu terpatri pada setiap diri pun juga selalu untuk keluarga dengan potret ekonomi seperti keluarga pak Mujiono ini. Karena yakin dan percaya, jika bahagia sudah ada di hati, tahun depan kita akan tetap menyabet predikat dengan Index of Happiness tertinggi–semoga!

[dokpri 2016] Sulasmi, Ibu Rahayu, Pak Mujiono


Referensi:
[Badan Pusat Statistik] BPS. Indeks Kebahagiaan Tahun 2017 (diunduh: 17 Februari 2018 https://www.bps.go.id/ )
Berita tentang 7 Propinsi paling bahagia di Indonesia https://kumparan.com/@kumparannews/7-provinsi-paling-bahagia-di-indonesia (diakses: 17 Februari 2018)
Artikel: Tiga hal penanda anda memiliki kecerdasan emosional yang baik https://dedenhendrayana.wordpress.com/2014/01/07/ (diakses: 17 Februari 2018)

Catatatn: Tulisan diikutsertakan pada Lomba Esai Tingkat Nasional Jejak Publisher tema Perjuangan




Tidak ada komentar:

Posting Komentar