INOVASI PAKAN TERNAK UNTUK INDONESIA BERKETAHANAN
[Meneropong Agribisnis Peternakan Ayam Pedaging di Maluku Utara]
ABSTRAK
Ketahanan Indonesia dapat ditopang dari pembangunan di segala sektor terutama ketahanan pangan yang menjadi prioritas dalam pembangunan nasional. Pembangunan berkelanjutan yang pada masa kini dikenal dengan suistainable development goals (SDGs) pun menargetkan pengentasan kelaparan (zero hunger). Gerakan global untuk mengakhiri kelaparan (end hunger) ini juga sesuai dengan agenda prioritas Kabinet Kerja Presiden Jokowi-Jusuf Kalla tahun 2014 – 2019 yang dituangkan dalam nawacita.
Permintaan daging ayam yang tinggi dipengaruhi oleh kesadaran masyakat akan pangan sehat dan bergizi tinggi. Kecenderungan memilih daging ayam sebagai penyuplai protein disebabkan karena harga daging ayam yang relatif lebih terjangkau dibandingkan daging sapi. Peluang tersebut mencadi peluang dan sekaligus tantangan bagi subsektor peternakan sebagai penyedia pangan berbasis protein hewani. Wilayah Maluku Utara menjadi objek kajian karena merupakan propinsi dengan produksi daging terendah dibandingkan 34 propinsi lainnya padahal jumlah penduduk Maluku Utara setiap tahunnya semakin meningkat. Konsumsi daging ayam diasumsikan semakin meningkat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk.
Sebagai subsektor yang berperan strategis dalam penyedia pangan, peternakan tak hanya memberikan peluang-peluang yang menggiurkan, tetapi juga mengisahkan beragam permasalahan krusial khususnya pada aspek pakan (feeding). Hal ini yang mendasari inkonsistensi sektor peternakan baik di bagian barat sampai timur Indonesia. Padahal pakan menjadi kunci utama atau penggerak dalam budidaya ternak khususnya ayam broiler atsu pedaging. Hampir 70% modal produksi ternak ayam broiler terserap untuk penyediaan pakan. Sehingga diperlukan inovasi pakan ternak untuk menopang ketahanan pangan berbasis protein hewani. Pemanfaatan pakan lokal, limbah sayuran pasar, limbah pertanian dan industri menjadi solusi alternatif. Pengolahan bahan pakan dengan pendekatan fisik dan kimia dapat menjadi jawaban untuk permasalahan pakan ternak khususnya di wilayah Maluku Utara yang selama ini masih bergantung pada keran impor. Kedaulatan pangan dapat dimulai dengan kedaulatan pakan.
Kata Kunci : Ketahanan Pangan, Inovasi Pakan ternak, Pemanfaatan Pakan Lokal dan Limbah
INOVASI PAKAN TERNAK UNTUK INDONESIA BERKETAHANAN [Meneropong Agribisnis Peternakan Ayam Pedaging di Maluku Utara]
Ketahanan Indonesia dapat ditopang dari pembangunan di segala sektor diantaranya pendidikan, perekonomian, pertanian, peternakan, perikanan maupun pertahanan dan keamanan negara. Ketahanan pangan merupakan kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan (Undang-Undang Pangan tahun 2012). Ketahanan pangan menjadi prioritas dalam pembangunan nasional. Pembangunan berkelanjutan yang pada masa kini dikenal dengan suistainable development goals (SDGs) pun menargetkan pengentasan kelaparan (zero hunger). Hal tersebut mencakup upaya dalam penyediaan pangan secara berkesinambungan untuk konsumsi masyarakat.
Gerakan global untuk mengakhiri kelaparan (end hunger) ini juga sesuai dengan agenda prioritas Kabinet Kerja Presiden Jokowi-Jusuf Kalla tahun 2014 – 2019 yang dituangkan dalam nawacita. Merujuk pada arah pembangunan nasional maka setidaknya terdapat empat butir nawacita yang secara langsung bersentuhan dengan diskursus pangan. Adapun diantaranya yaitu butir ketiga, membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa; butir kelima, meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; butir keenam, meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit; dan butir ketujuh yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan ekonomi domestik.
Peningkatan permintaan produk protein hewani semakin menggeliat seiring dengan peningkatan jumlah penduduk. Hasil proyeksi Badan Pusat Statistik tahun 2016 menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia mencapai 258 juta orang dan akan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Data menunjukkan bahwa konsumsi protein per kapita sehari untuk daging pada tahun 2014 sebesar 2,68 gram, meningkat sebesar 8,50 persen dibandingkan konsumsi tahun 2013 sebesar 2,47 gram. Paradigma masyarakat telah bergeser untuk mengonsumsi pangan sehat dengan gizi tinggi. Daging ayam sebagai produk peternakan dengan kandungan asam amino esensial yang kompleks menjadi primadona pilihan meja karena harganya terjangkau. Harga daging ayam Rp. 33.000 per kg lebih rendah dibandingkan daging sapi yang mencapai Rp. 120.000 per kg (SP2KP Kemendag, 2017).
Meneropong Agribisnis Peternakan Ayam Broiler di Maluku Utara
Peternakan merupakan subsektor penyedia pangan berbasis protein hewani berupa daging, telur dan susu dari hulu sampai hilir. Sebagai subsektor yang berperan strategis dalam penyedia pangan, peternakan tak hanya memberikan peluang-peluang yang menggiurkan, tetapi juga mengisahkan beragam permasalahan krusial khususnya pada aspek pakan (feeding). Hal ini yang mendasari inkonsistensi sektor peternakan baik di bagian barat sampai timur Indonesia. Padahal pakan menjadi kunci utama atau penggerak dalam budidaya ternak khususnya ayam broiler atsu pedaging. Hampir 70% modal produksi ternak ayam broiler terserap untuk penyediaan pakan. Sebagaimana ditegaskan Mathius dan Sinurat (2001) bahwa pakan merupakan komponen biaya tertinggi dalam usaha peternakan yang dipelihara secara intensif.
Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2015 menunjukkan bahwa Maluku Utara merupakan propinsi yang memiliki produksi daging paling rendah dibandingkan 33 propinsi lainnya di Indonesia. Data menunjukkan bahwa produksi daging Maluku Utara pada tahun 2015 yaitu 2.333 per tahun lebih rendah dibandingkan Maluku, Gorontalo dan Sulawesi Selatan yang masing-masing memiliki angka produksi yaitu 3.413 ton, 6.765 ton dan 118.255 ton per tahun. Padahal jumlah penduduk Maluku Utara dari tahun ke tahun semakin meningkat yang berarti kebutuhan konsumsi pun meningkat seiring dengan peningkatan jumah penduduk. Data BPS Maluku Utara (2017) menunjukkan jumlah penduduk Maluku Utara tahun 2014, 2015 dan 2016 berturut-turut yaitu 1.138.667 ; 1.162.345 dan 1.185.912 jiwa. Stagnansi peternakan ayam pedaging diasumsikan karena modal produksi ayam per masa pemeliharaan cukup tinggi. Selain itu ketersediaan bibit dan pakan pun masih bergantung impor dari daerah Jawa. Alhasil sektor peternakan di wilayah Maluku Utara terkesan berjalan di tempat. Kebutuhan daging lebih digantungkan dari ayam beku yang juga disuplai dari daerah Jawa.
Berikut ini disajikan modal produksi yang dibutuhkan dalam pemeliharaan ayam broiler dengan input produksi diantaranya bibit, pakan, vitamin dan upah kerja. Adapun perhitungan matematis secara sederhana disajikan pada Tabel 1.1 berikut ini :
Tabel 1.1 Modal produksi 100 ekor ayam broiler masa pemeliharaan 28-30 hari
Kebutuhan
|
Kapasitas (Unit)
|
Harga Satuan
|
Total
|
Rp.
| |||
1
|
2
|
3
|
4
|
Bibit / DOC (Day old chick)
|
100 ekor
|
8.000
|
800.000
|
Pakan
|
4 Karung (50 kg)
|
410.000
|
1.640.000
|
Vitamin (Vittachick & Neubro)
|
2 pak
|
30.000
|
60.000
|
Sekam + Air + Listrik dan lain-lain
|
400.000
| ||
Upah Tenaga Kerja
|
1 orang
|
300.000
|
300.000
|
Sumber : Laporan Produksi Triwulan (Juli – September) Kelompok Mitra Peternakan – LMP Indonesia, Maluku Utara tahun 2016
Tabel 1.1 menggambarkan bahwa pakan menyerap biaya produksi yang cukup besar dibandingkan input produksi lainnya. Untuk pemeliharaan ayam broiler selama satu bulan dibutuhkan anggaran sebesar satu juta enam ratus empat puluh ribu rupiah selanjutnya disusul biaya untuk bibit DOC dan lain-lain (studi di Kota Ternate Maluku Utara). Hal ini semakin diperparah karena belum adanya pabrik pakan ternak unggas yang dapat menyuplai kebutuhan pakan di wilayah Maluku Utara. Feedmill atau pabrik pakan yang tersedia milik pemerintah pun hanya berskala kecil. Input produksi tidak didapatkan secara mandiri melainkan impor. Kondisi geografis berupa wilayah kepulauan juga berpengaruh pada harga DOC dan pakan. Biaya transportasi untuk pengiriman meningkatkan modal produksi.
Inovasi Pakan Ternak dengan Pemanfaatan Pakan Lokal, Limbah Pertanian dan Industri sebagai Solusi Alternatif
Subekti Endah (2009) mengungkapkan bahwa rendahnya tingkat produktivitas ternak dipengaruhi oleh beragam faktor diantaranya adalah ketersediaan pakan yang tidak menentu, kualitas-kuantitas pemberian pakan yang relatif masih rendah dan harga pakan yang cenderung setiap saat naik, dimana kenaikan harga pakan ini sering tidak bisa diimbangi oleh naiknya harga produk ternak itu sendiri. Berdasarkan hasil analisa bahwa kemampuan produksi ternak yang relatif rendah berkaitan erat dengan kualitas dan kuantitas pakan yang tersedia sepanjang tahun. Ketersediaan pakan yang berfluktuasi tidak akan mencukupi kebutuhan gizi ternak untuk mengekspresikan potensi genetiknya secara maksimal. Hal ini menyebabkan produktivitas ternak relatif rendah. Sehingga diperlukan upaya dalam melakukan inovasi pakan ternak dengan memanfaatan bahan baku pakan lokal maupun limbah sayuran pasar, hasil pertanian dan industri. Inovasi merupakan suatu ide, praktek atau produk yang dianggap baru yang mana mempunyai tiga komponen yaitu ide atau gagasan, metode atau praktek dan produk (barang dan jasa). Inovasi pakan ternak merupakan upaya pemanfaatan bahan pakan lokal, limbah sayuran pasar, pertanian dan industri untuk menjaga ketersediaan pakan ternak khususnya ternak ayam pedaging di Maluku Utara.
Bahan pakan merupakan setiap bahan yang dapat dimakan, disukai, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, dapat diabsorpsi dan bermanfaat bagi ternak. Bahan pakan lokal yang dimaksudkan disini adalah bahan baku dalam pembuatan pakan yang memiliki ketersediaan berlimpah di suatu wilayah, harganya relatif terjangkau dan memenuhi syarat-syarat dalam penggunaan pakan yaitu ketersedian, kandungan gizi, harga, kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat racun atau zat anti nutrisi serta perlu atau tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan ternak. Adapun beberapa jenis bahan pakan lokal, limbah pertanian dan industri beserta nilai gizinya yang mana ketersediaannya dapat dijumpai di wilayah Maluku Utara. Data tersebut disajikan pada Tabel 1.2 sebagai berikut :
Tabel 1.2 Nilai Gizi Bahan Pakan Lokal, Limbah Pertanian dan Industri
Jenis bahan
|
Energi metabolis (kkal/kg)
|
Protein kasar (%)
|
Metionin (%)
|
Lisin (%)
|
Ca (%)
|
P (%)
|
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
7
|
Dedak padi halus
|
2.400
|
12,0
|
0,25
|
0,45
|
0,20
|
1,00
|
Jagung
|
3.300
|
8,50
|
0,18
|
0,20
|
0,02
|
0,30
|
Tepung singkong
|
3.200
|
2,00
|
0,01
|
0,07
|
0,33
|
0,40
|
Tepung sagu
|
2.900
|
2,20
|
-
|
-
|
0,53
|
0,09
|
Tepung ikan
|
2.960
|
55,00
|
1,79
|
5,07
|
5,30
|
2,85
|
Tepung daun lamtoro
|
850
|
23,40
|
0,31
|
1,55
|
0,60
|
0,10
|
Ampas tahu*
|
30,80*
|
Sumber : Sinurat (1999) dan *Putri A. Diwiyacitta, et al (2016)
Limbah sayuran pasar merupakan bahan yang dibuang dari usaha memperbaiki penampilan barang dagangan berbentuk sayur-mayur yang akan dipasarkan (Muwakhid, 2005). Sayuran merupakan salah satu limbah padat yang jika dibiarkan akan menimbulkan masalah. Limbah padat organik banyak mengandung mineral nitrogen (N), fosfor (P), kalium (K), dan vitamin B12 (Djaja, 2008). Sedangkan limbah pertanian dan industri merupakan hasil sampingan daikutan dari proses produksi pertanian atau industri yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak karena kandungan gizi yang dimiliki masih tersedia serta masih bersifat palatable pada ternak.
Bahan pakan lokal, limbah sayuran pasar, limbah pertanian maupun industri yang berlimpah akan bernilai tambah bila diproses lebih lanjut. Limbah pertanian akan bernilai ekonomis tinggi bila dilakukan pengolahan lebih lanjut. Sejalan dengan perkembangan bioteknologi, pemanfaatan mikroba dalam proses biokonversi limbah dapat dilakukan guna mendapatkan nilai tambah dari bahan limbah tersebut menjadi produk lain seperti pupuk, bioetanol, pakan ternak dan sebagainya (Anindyawati Trisanti, 2010). Untuk limbah industri juga dibutuhkan adanya pengolahan terlebih dahulu sebelum diberikan kepada ternak seperti perlakuan secara fisik maupun kimiawi yaitu pengubahan bentuk, pengeringan ataupun fermentasi.
Limbah sayuran pasar juga dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak. Beberapa contoh limbah sayuran pasar yang melimpah di Kota Ternate berdasarkan hasil pengamatan yaitu limbah daun kol dan sawi. Hasil analisa menunjukan bahwa tepung daun kembang kol mempunyai kadar protein yang cukup tinggi yaitu 25,18 g/100g dan kandungan energi metabolisme sebesar 3523 kcal/kg. selain limbah daun kol limbah sawi juga memiliki kandungan yang potensial sebagai pakan. Kadar air yang limbah sawi mencapai lebih dari 95%. Nilai energi dan protein setelah ditepungkan hampir berada pada kisaran 3200-3400kcal/kg dan 25-32 g/100g. Hasil penelitian Hersoelistyorini dkk (2011) juga menunjukkan bahwa ekstraksi fermentasi limbah sayur kubis dan sawi memiliki potensi sebagai starter fermentasi dengan kandungan mikroba seperti Lactobacillus sp, Saccharomyces sp, Aspergillus sp dan Rhizopus sp.
Penutup
Untuk merealisasikan pembangunan berkelanjutan dalam hal pengentasan kelaparan (zero hunger) dan berusaha mewujudkan nawacita yang dapat diterjemahkan sebagai suatu upaya memperkokoh kemampuan bangsa untuk mencukupi kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, mengatur pangan secara mandiri serta melindungi dan menyejahterakan petani/peternak sebagai pelaku utama usaha pertanian maka diperlukan sebuah inovasi. Untuk mewujudkan ketahanan pangan berbasis protein hewani maka perlu menggerakan inovasi pakan dengan memanfaatkan potensi pakan lokal, limbah sayuran pasar, limbah pertanian dan industri. Inovasi pakan ternak akan menjadi solusi alternatif untuk menekan harga pakan dan dapat menjadi jawaban atas permasalahan peternakan khususnya peternakan ayam pedaging di Maluku Utara. Diskursus pangan akan tetap menjadi isu menarik untuk diperbincangkan karena sejatinya pangan adalah soal hidup dan matinya bangsa. Diperlukan komitmen yang kuat dari semua steakholder dalam hal ini peternak, pemerintah maupun pihak perbankan serta LSM yang bergerak pada bidang pangan dan peternakan. Jika ketersediaan pakan sudah tercukupi maka secara otomatis ketahanan pangan berbasis protein hewani dapat terjaga. Alhasil, tantangan pembangunan berkelanjutan yaitu zero hunger dapat diwujudkan. Kedaulatan pangan dapat dimulai dengan kedaulatan pakan. Majukan Indonesia, tingkatkan ketahanan pakan dan pangan kita!
Referensi
[SP2KP] Sistem Pemantauan Pasar Kebutuhan Pokok. Informasi Harga Sembilan Bahan Pokok Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2017. Diakses dari https://ews.kemendag.go.id [Akses tanggal 20 November 2017]
Badan Pusat Statistik [BPS] Propinsi Maluku Utara Statistik Propinsi Maluku Utara Edisi Juli 2017. Sensus Ekonomi – Katalog BPS : 3101021.82
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kementerian 2015. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan Tahun 2015. Diunduh dari http://ditjennak.pertanian.go.id [Akses tanggal 18 November 2017]
Kamal, M. 1998. Bahan Pakan dan Ransum Ternak. Fakultas Peternakan, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Laporan Produksi Triwulan (Juli–September) Kelompok Mitra Peternakan–LMP Indonesia, Maluku Utara tahun 2016. unpublish
Mathhius I.W dan Sinurat A.P. 2001. Pemanfaatan Bahan Pakan Konvensional untuk Ternak. Wartazoa Vol. 11 No. 2 Tahun 2001.
Putri Antya D dan Yuwono S. Sudarminto. 2016. Pengaruh Penambahan Tepung Ampas Tahu dan Jenis Koagulan pada Pembuatan Tahu Berserat. Jurnal Pangan dan Agroindustri Vol. 4 No. 1 p.321-328, Januari 2016.
Sinurat. 1999. Penggunaan Bahan Pakan Lokal dalam Pembuatan Ransum Ayam Buras. Wartazoa Vol. 9 No. 1 Tahun 1999.
Subekti Endah. 2009. Ketahanan Pakan Ternak Indonesia. Mediagro. Jurnal ilmu-ilmu Pertanian Vol 5 No. 2, 2009 : Hal 63 – 71.
Tillman, A. D., H. Hartadi, S. Reksohadiprojo, S. Prawirokusumo. 1999. Ilmu makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada university Press, Yogyakarta.
Trisanti Anindyawati. 2010. Potensi Selulase dalam Mendegradasi Lignoselulosa Limbah Pertanian untuk Pupuk Orgnik. Pusat Penelitian Bioteknologi. Berita Selulosa Vol. 45 No. 2 Desember 2010 : 70 – 77.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Diunduh dari www.bpkp.go.id [Akses tanggal 20 November 2017]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar