“Aku tak pernah mengharapkan sastrawangi, bagiku menulis cukup membahagiakan diri, Menulis membuatku seimbang. Dengan bebas ku tumpahkan segala kesal, rasa sayang dan cinta kasih, bahkan amarah yang menyala-nyala karena sebuah pengkhiyanatan atas nama Cinta. Aku menulis maka aku merdeka” – Dwi Laksmini
Pagi yang menawan di
desa Gunung Sari, Januari 2015.
Aku
memandang sawah-sawah yang hijau. Sapi-sapi yang baru saja dikeluarkan dari
kandangnya juga menjadi tontonan yang cukup menyegarkan, meski di ujung jalan sana
terlihat begitu gersang. Beberapa luasan hutan ditebang untuk pembangunan tol
Gunung Sari-Jakarta. Pembangunan infrastruktur memang diorientasikan pemerintah
masa kini alih-alih untuk
mensejahterakan rakyat. Mereka memiliki alasan yang rasional, pembangunan jalan
tol harus dipercepat agar memudahkan akses pemasaran. Desa Gunung Sari sendiri
merupakan sentra kedelai hitam, lengkuas, jahe, temulawak dan kencur. Produk-produk
pertanian yang sudah dipanen memang biasanya langsung dibawa ke Jakarta.
Masih
di depan rumah Pak Winarno, aku dengan mudahnya tersenyum, meski hanya dengan memandang
hijaunya daun-daun jagung ini. Belum lagi ditambah gemericik air aliran irigasi
serta hembusan angin pagi. “Oh Hyang Widi, sungguh sangat menyegarkan”.
Kebahagiaan cukup sederhana kurasakan, dengan menikmati pagi seperti ini sontak
membayar lunas segala rindu, maklum aku adalah gadis rantau. Pemerintah Maluku
mengirimkan ku ke Gunung Sari untuk mengikuti pelatihan pendamping desa
tani/ternak. Semua bermula dari sebuah konsep yang aku tawarkan untuk desa Liang.
Sebelum menawarkan desa tani/ternak, beberapa kali telah ku usulkan dibentuknya
desa pangan segar, desa kembang dan
beberapa konsep lainnya yang berkaitan dengan pengembangan desa dan
pemberdayaan masyarakat. Sebagai warga yang pernah bersekolah di SMK Pertanian,
impianku cukup melimpah ruah. Sepertinya aku pun ingin mengembalikan kejayaan
Indonesia sebagai Agriculture state.
Aku
meyakini setiap orang punya cara tersendiri untuk menunjukkan eksistensinya. Menulis,
merangkai konsep untuk pembangunan desa dan pengembangan masyarakat adalah cara
sederhana yang aku pilih. Aku suka menulis, bahkan menuliskan hal remeh-temeh
yang tak pernah dipikirkan orang lain. Seperti di malam kemarin, aku
menyelesaikan Cerpen “Puasa Batin Perempuan Berkuncir”, sungguh ini adalah ide
aneh yang pernah kutangkap dan kemudian kujadikan ramuan dalam merangkai
cerita, hanya bermula dari kebiasaan adik angkatku Mariana. Dia biasanya menguncir
rambutnya setinggi pendekar-pendekar pemegang samurai. Di sudut rumah ku
terbelalak karena mendengar Mariana dengan spontannya mengeluarkan dua kata,
“Puasa Batin”. Mariana terlihat kesal saat mengucapkan Puasa Batin. Ini adalah
jawaban spontan yang diberikan Mariana kepada Aghis, lelaki yang selalu mencari
perhatiannya.
Aghis
dengan lantang bertanya pada Mariana, “Mariana, kenapa kamu terlihat lesu
sekali hari ini?”
“Itu
hanya perasaanmu saja. Aku merasa sama sekali tidak lesu” ketus Mariana
Aghis
kembali melontarkan pertanyaan konyolnya dengan sedikit bumbu gombal “Kau
seperti sedang berpuasa Mariana, bibir mungilmu terlihat kering dan terkelupas”
Mariana
dengan kesalnya menjawab “Aku sedang berpuasa”
Aghis
keheranan dan kembali bertanya “puasa apa Mariana? Setahuku ini bukan Nyepi, bukankah
puasa hanya dijalankan pada hari raya Nyepi?”
Mariana
geram, tetangga konyol yang selalu mengganggunya tak henti-hentinya melontarkan pertanyaan aneh
sedari tadi.
“iya
Aghis, aku sedang menjalankan Puasa. Puasa Batin” tegas Mariana.
Aghis
tercengang dengan mata yang dilototkan seperti keheranan pada sesuatu yang tak
pernah dirasakan atau dialaminya. “Puasa Batin??”
Di
sudut yang berbeda di rumah Pak Winarno, aku tertawa kecil, melihat perdebatan
yang ku anggap cukup menggelikan. Sembari itu imaginasiku berjalan hilir mudik
dan pada akhirnya memilih Mariana sebagai pemain utama dalam cerita Puasa Batin Perempuan Berkuncir. Entah
kenapa selalu saja ada yang menggerakkan nalarku untuk melakukan wisata
imajinatif meski hanya dengan melihat hal-hal yang sederhana. Ini semakin parah
jika aku patah hati. Nalar ini akan semakin liar. Aku menumpahkannya, memilih
menuliskannya di buku Album merah. Buku berukuran 15 x 21 cm ini selalu kubawa
kemanapun ku pergi. Buku ini adalah kado termanis yang diberikan Bulahis
kepadaku…
**
Desa
Liang terletak di pinggiran kota Ambon, sebenarnya desa ini lebih dekat dengan
kepulauan Seram. Masyarakat di desa ini dominan menjadi petani. Tanahnya berawa
sebenarnya, kebanyakan ditanami sayur kangkung. Ibu-ibu yang membentuk
kelompoknya dengan nama Kelompok Pergerakan Perempuan Pertanian terlihat cukup
aktif. Setiap minggu mereka mengadakan pertemuan, entah untuk sekadar
silaturahim ataupun mendiskusikan penemuan-penemuan baru tentang pertanian.
Namun di akhir 2012 aktivitas produksi mereka harus dihentikan akibat sengketa
tanah. Lahan yang biasanya ditanami kangkung tepat di pesisiran pantai desa
Liang ingin digusur pemerintah. Tujuannya untuk reklamasi pantai dan guna
penataan ruang desa agar apik dan menarik. Akhir 2012 menjadi sumbu berkoarnya
semangat juang ibu-ibu petani di desa Liang. Beberapa kali mereka pun melakukan
demonstrasi di kantor Kabupaten untuk pembebasan lahan yang menjadi sumbu
pemantik kehidupan masyarakat desa Liang.
Esai
tentang ‘Pergerakan Perempuan Pertanian’ yang pernah kutulis di awal tahun 2013
pun telah termuat di Jurnal Perempuan. Redakturnya merupakan penulis perempuan kondang
yang konsen pada isu pertanian dan feminisme. Semasa SMA aku sering membaca
tulisan-tulisan di dalam jurnal tersebut. Setelah tiga tahun terlepas dari
sekolah, aku diam-diam gemar menuliskan segala permasalahan yang kulihat di
sekitar tempat tinggalku. Untuk Esai P3 ini, sebutanku pada judul Pergerakan
Perempuan Pertanian, kurasa biasa saja. Esai itu hanya sebuah deskripsi pada
kelompok Perempuan Petani di desa Liang. Tetapi mungkin isu pengalihan lahan
untuk reklamasi itulah yang membuatnya menggetarkan sehingga bisa terpilih
sebagai salah satu Esai untuk Edisi ke V Jurnal Perempuan tepat di petengahan
tahun 2013.
**
3
bulan berlalu berada di desa Gunung Sari, selama itu pula aku bercengkrama
dengan peternak di Kelompok Suka Maju. Desa yang berada di tanah Pasundan Jawa
Barat ini tak hanya punya panorama bak gadis perawan pun juga kaya akan potensi
tani ternaknya. Selain kedelai hitam malika yang menjadi primadona, desa
agropolitan ini juga punya beragam sumberdaya genetik ternaknya, ada sapi
Pasundan, itik Pegagas, domba Gunung Sari dan Ulat Sutera yang kepompongnya
menjadi incaran peternak ayam broiler, konon kepompong ini memiliki protein
tinggi yang dapat meningkatkan produktifitas.
15
April 2015, Matahari belum benar berpendar-pendar terbit, aku tetap menjalankan
rutinitasku. Menuntun sapi ke padang pengembalaan, membersihkan kotorannya dari
kandang, mengarit atau memotong
hijauan untuk pakan. Sapi potong sejenis sapi Pasundan ini memang lebih
menyukai rumput raja, yang kutahu King
grass nama latinnya. Di waktu SMA kami diwajibkan menghafal nama-nama latin
beberapa bahan pakan untuk mata pelajaran pengantar ilmu pertanian sebelum
kelas dimulai. Ketika 10 karung terisi keringatku tak henti-hentinya
bercucuran. Ketika harus menarik belati untuk mematahkan rumput hijau itu,
terdengar teriakan pak Sudarmo dari seberang jalan, “Bagaimana nak Laksmini,
masih mampukah kau mengarit dan memenuhi 70 karung ini” Pak Sudarmo melambaikan
tangannya yang berisikan beberapa karung kosong sebagai perintah. Setelah
beraba-aba, Pak Sudarmo tertawa terpingkal-pingkal melihat wajahku yang
tercoreng tanah liat akibat mengarit sedari tadi.
“Oh
Hyang Widhi, beginikah susahnya menjadi petani dan peternak” gumamku di dalam
hati. Kelelahan ini juga semakin sempurnah karena memori mengantarkan ku pada
Bulahis, lelaki yang sekarang ada di desa Liang. Rinduku semakin tak karuan. Biasanya
pagi-pagi begini, aku terhibur-terpesona melihatnya mendorong perahu ke
pinggiran pantai. Bulahis nelayan muda pekerja keras. Di balik jendela kamar, aku
biasanya tersenyum bahkan terkadang mencak-mencak memeluk tiang. Sudah sejak dulu
aku mengaguminya. Setiap sore aku dengan semangat menceritakan kegilaanku
tentang Bulahis pada Siti Purwanti, sahabat kecil yang sampai sekarang ku
anggap sebagai saudara sendiri. Namun, di akhir tahun 2014 semua impianku
terkabulkan, dia menyatakan cintanya padaku. Aku sekonyong-konyong saja menerimanya,
tak tahan ternyata berlama-lama menjadi pemuja rahasia.
“Dwi Laksmini,
apa rencanamu di akhir tahun ini?” ujar Bulahis padaku sembari melepaskan
pandangannya ke pantai di sore itu,
“Rencana apa
maksudmu Bulahis? Aku tak mengerti” Tanya ku keheranan
“Maksudku,
apakah kau memiliki keinginan untuk berkuliah ataukah tetap berada di kampung
ini?” Bulahis mempertegas pertanyaannya
“Kuliah?” aku
bertanya keheranan dan kemudian melanjutkan jawaban tanpa memberikan jeda pada
Bulahis untuk menanggapinya.
“Meskipun itu
adalah bagian dari cita-cita tetapi sebagai perempuan akupun mengerti tanggung
jawabku yang sebenarnya. Kata bibi, perempuan hanyalah Konco Wingking. Sampai
sekarang, dapur, sumur dan kasur adalah pencapaian tertinggi” aku menjawabnya
dengan penuh keyakinan, meskipun sejujurnya aku juga ingin sekali berkuliah
seperti Nona-nona turunan Belanda yang ada di Kota.
“Bagaimana
dengan menulis?” Bulahis melanjutkan,
“Menulis adalah
kegemaranku semenjak aku mengenal bangku sekolah. Jujur sangat sulit untuk
kutinggalkan. Dengan menulis aku merasa seimbang. Bahkan menulis mungkin akan
jadi pilihanku untuk merealisasikan sebuah perjuangan” Jawaban ini lebih tegas
daripada jawaban-jawaban sebelumnya.
Diantara
matahari yang hampir hilang, aku
memandang Bulahis dengan senyuman kehangatan. Bulahis juga membalasnya,
menatapku dengan senyum termanisnya. “Ku pikir dia terkagum-kagum denganku”
diam-diam aku menggerutu percaya diri.
Semilir angin
semakin memekarkan kesyahduan di sore ini, Dengan spontannya Bulahis
menggenggam tanganku. “Oh Hyang Widhi sungguh tak pernah aku rasakan kehangatan
semacam ini. Benarkah aku jatuh cinta
pada Bulahis”. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Tanpa sadar aku pun membalas
genggaman itu dengan erat. Sepertinya pernyataan cinta tak selamanya harus
lewat kata-kata. Begitu aku, pun Bulahis, sepertinya bisa saling membaca mata.
Aku menyayangi Bulahis dan begitupun Bulahis padaku. Matahari semakin condong
ke barat. Di bawah pepohonan kelapa aku memeluknya erat.
Meski
kebahagiaan bermekaran bagaikan mekarnya Sakura saat Hanami, aku harus pasrah.
Di awal tahun 2015, tulisanku terpilih, konsep pengembangan tani-ternak yang
kuusulkan membawa aku berlenggang ke tanah Jawa. Dan semenjak kepergianku itulah
aku tak pernah mendengar kabar Bulahis lagi.
**
“es lilin mah, agan kelapa muda,
dibantuna, agan, di dorong-dorong…..”
Di
bawah saung, di temani musik Sunda dari Radio Pak Sudarmo, aku menuliskan
sesuatu di lembaran buku merah itu.
S_K_E_I R_S_T
Tahukah kau seberapa dalamnya keingin-tahu-an
Camelia terhadap isi dari sungai Esmeralda?????
Tahukah kamu? Seberapa besar perjuangan
Camelia untuk mendaki gunung dan melewati lembah sebagaimana pejuang-pejuang
dulu bergerilya????
Tahukah kau seberapa kenikmatan yang
dirasakan Camelia ketika melihat cahaya bersinar yang muncul di dalam
gua-gua..
Kamu sekalian mungkin tak tahu, Hanya Camelia............dialah yang tahu .................
Kamu sekalian mungkin tak tahu, Hanya Camelia............dialah yang tahu .................
Hanyalah Camelia yang tahu seberapa jauh
langkah kaki harus diayunkan untuk sampai pada puncak Gunung Fransderheid....
Hanyalah Camelia yang tahu, seberapa
satuan ampere dan seberapa kuat arus listrik yang harus dimanfaatkan untuk
bermigrasi, sebagaimana yang diperlukan proteios-proteios itu...
Camelia, … tak lelah melewati
rintangan-rintangan yang mungkin lebih tepat diistilahkan sebagai mutan, agar
dia bisa bertahan ..........
Agar dia bisa sampai pada tujuan....
.
.
Agar dia bisa menikmati keindahan Sungai
Esmeralda, dimana di dalamnya terdapat lautan pertanyaan yang harus dipecahkan
untuk memperoleh jawaban, meski hanya berbentuk sebuah perumpamaan... Dan
Biarkan camelia menikmati kenikmatan dari kesejukan, dari kesyahduan dengan cumbuan-cumbuan yang dia dapatkan dari Esmeralda yang terkesan hanya ada dalam Impian
Biarkan camelia menikmati kenikmatan dari kesejukan, dari kesyahduan dengan cumbuan-cumbuan yang dia dapatkan dari Esmeralda yang terkesan hanya ada dalam Impian
Gunug Sari, 15 April 2015
Dwi
Laksmini
Ini
adalah puisi ketiga yang kutuliskan saat berada di desa dengan sejuta potensi.
Gunung Sari selalu membantuku untuk menelurkan ribuan kata. Diantara rindu dan
perjuangan aku semakin merasakan lelah, jelas sekali terasa. Tiba-tiba
terdengar suara Mariana memanggil-manggil namaku. “Kak Laksmi, kak ini ada nasi
megono buatan ibu….” Tak jauh dari itu terdengar teriakan Aghis,
memanggil-manggil nama Mariana…
Ya,
Cinta memang begitu..
**
Bulan
ini aku diberi kesempatan menanam kedelai malika, kita menanam di dua Lokasi berbeda.
Lokasi pertama di lahan pinggiran sawah sedangkan lokasi yang kedua berada diantara
pepohonan jati. Ya semacam integrasi perkebunan dengan tanaman pangan.
Aktivitas ku kali ini adalah berlebur dengan Kelompok Tani Agria Kencana.
Pelakunya lebih didominasi ibu-ibu tani, selain bertani petani kedelai malika
juga bekerja sampingan di Pabrik Sale Pisang milik Pak Haji Rumbia. Penghasilan
per bulannya memang tidak terlalu besar, dua ratus ribu rupiah per bulannya.
Meskipun begitu ibu-ibu yang tergabung dalam Agria Kencana tetap terlihat ceria
sepanjang harinya.
Hari
berganti hari, rentetan aktivitas Dwi Laksmini tak terasa mengantarkannya sampai
di penghujung 2015. Pelatihan menjadi pendamping desa-tani ternak pun akan
segera berakhir. Di ujung jalan sana terlihat pengerjaan proyek tol Gunung
Sari-Jakarta pun hampir rampung. Pemandangannya terlihat benar-benar seperti di
ibukota.
**
Gunung Sari, 23 Desember 2015
Aku
merapikan berkas-berkas yang berhamburan di kamar ini. Hampir setahun aku
menghabiskan malam-malam ku disini. Selain menulis laporan kegiatan per hari, kamar
ini pun menjadi luapan segala rindu. Ya, rindu pada Bibi di desa Liang dan
Bulahis, lelaki yang telah datang mewarnai ruang kosong dalam kehidupan. Sampai
Desember 2015 ini, aku telah menuliskan 15 puisi, 10 Cerpen dan genap 96 Esai
Lepas atau semacam Artikel tak beraturan yang merupakan hasil kontemplasi dari seabreg kegiatan pelatihan di desa
Gunung Sari. Benar-benar aku merasa merdeka. Di Gunung Sari, aku merasa lebih
hidup. Dengan menulis aku merasa seimbang, karena dengan bebas kutumpahkan
segala kesal dan rasa kasih sayang.
Di
sela-sela kesibukanku melipat kertas dan map-map yang berserakan di meja kamar,
terdengar isak tangis Bu Ngatiyem, istri pak Sudarmo yang merupakan ibu
Mariana.
“Benarkah
dek Laksmi akan pergi meninggalkan desa Gunung Sari” Bu Ngatiyem berdiri di
depan pintu kamarku yang sebenarnya tak memiliki daun pintu dengan tangan
menyeka pipinya.
Segara
aku menjawab dan berjalan mendekati Bu Ngatiyem “Tidak bu, Meskipun berada di
tanah Maluku sejujurnya sulit untuk bisa melupakan desa indah ini. Disini saya
banyak belajar”. Sambil memeluk Bu Ngatiyem saya melanjutkan pembicaraan.
“Ibu
tidak perlu sedih, sekarang kita bisa dengan mudahnya berkomunikasi. Bukankah
Kantor Desa juga melayani warganya untuk bisa mengakses segala informasi? Bukankah
ibu tahu bahwa ada program baru dari kepala desa? Kemarin bu Fauziah bisa
tersenyum bahagia karena dapat melihat langsung anaknya yang ada di Turki.
Pemerintah memfasilitasi telepon video untuknya. Bayangkan bu, itu di Turki.
Aku hanya berada di wilayah Indonesia, ibu bisa meminta pak Sudarmo agar
mengantarkan ibu ke Balai desa setiap hari hanya untuk video call denganku” Aku memegang kedua pundak Bu Ngatiyem seraya
meyakinkan padanya. Di matanya yang masih sembab terbaca kedalaman cinta yang
cukup menenangkan. Sungguh interpretasi ini berbeda dengan kejadian dibawah
pohon kelapa sore itu. “Ah sudalah..” aku bergumam lagi di dalam hati.
Sekarang
sudah benar-benar larut, jam menunjukkan hampir pukul 12 malam. Aku menuntun Bu
Ngatiyem kembali ke kamar. Di kamar tengah aku melihat Mariana tertidur lelap
dengan setelan kuncirnya yang tetap terikat rapi.
Aku
tersenyum.
“Oh
Hyang Widhi, aku sungguh dilema. Satu sisi aku benar-benar sulit meninggalkan
desa yang telah menjadi guru kehidupanku. Disini aku tak sekadar pelatihan
menjadi pendamping desa. Jujur disini aku mengenal sejatinya keluarga, aku
merasakan dengan benar kehangatan saudara perempuan. Disini aku melihat dengan
nyata perjuangan petani dan peternak yang semakin mempertebal iman perjuanganku.
Tetapi disisi lain aku pun punya tanggung jawab pada desa Liang, desa yang
telah membesarkanku meskipun sebenarnya ari-ariku tak tertanam disana. Juga
satu alasan yang mendasar, Cintaku pada Bulahis sudah semakin merekah semenjak
jarak menjadi pemisah dalam ruang romantisme yang terlahir secara alamiah. Oh
Hyang Widhi, aku menguatkan diri. Aku
memang harus kembali ke desa Liang. Aku harus pulang mengembangkan tanah Maluku”
aku terus saja berceloteh dengan diriku sendiri. Semacam berusaha mengajak diri
untuk berdamai dengan keadaan.
Keesokan
harinya..
Pagi-pagi
benar, Bu Ngatiyem sudah berada tepat di sampingku membangunkanku. “Nak Laksmi,
bangunlah nak. Pak Parjo Satpam Kantor Balai desa memberitahu bahwa ada utusan
yang dikirimkan di desa Liang untuk menjemputmu. Dek Laksmi disuruh segera
bersiap-siap untuk presentase hari ini”. Aku yang baru saja terbangun segera
duduk dan berusaha mencerna pernyataan Bu Ngatiyem yang agak terbata-bata.
“Hmm,
benarkah begitu bu?” ujarku dengan nada tak percaya sembari berharap presentase
tidak perlu dilangsungkan hari ini
“Iya
benar nak, ” ujar bu Ngatiyem.
Aku
segera bergegas menuju kamar mandi. Kembenku hampir saja melorot, itu karena
aku takut terlambat.
Air
sumur menyegarkan jiwa dan raga, sepertinya aku semakin siap memberikan
rekomendasi untuk Gunung sari dihadapan peserta seminar hari ini di Balai Desa.
**
Sesampainya
di Balai desa aku bersalaman dengan semua perangkat desa juga utusan dari desa
Liang. Aku tidak mengenal baik ibu yang mengenakan jilbab hijau tosca ini. “Kenalkan namaku Bu Sarinah”
sambil memperkenalkan namanya dan dengan santainya Bu Sarinah menjulurkan
tangan. Aku segera menyambut dengan salaman dan basa-basi meski sekadar
menanyakan kabar kepala desa Liang.
Setelah
pembukaan acara oleh kepala desa Gunung Sari dan Ketua Lembaga Pengabdian
Masyarakat desa yang kebetulan diwakilkan oleh Mba Asriyani. Aku diminta maju
ke podium oleh moderator untuk menyampaikan rekapan sebagai pertanggung jawaban
selama setahun belajar di desa ini. Aku berkoar-koar menjelaskan pengalamanku
menjadi pengembala sapi, petani kedelai malika dan hal-hal lain yang berkaitan
dengan pengembangan desa. Di akhir penyampaian tak lupa kuberikan rekomendasi
pada desa yang menjadi Sokoh Guru dalam kehidupanku. Sebelum mengucapkan salam
penutup. Aku mengakhiri dengan sebuah pernyataan yang spontan muncul saat
pertengahan aku presentase.
“Seandainya
hari ini malaikat betanya kepadaku, tempat mana yang akan kau pilih untuk
mengakhiri hidupmu Dwi Laksmini?” Maka aku akan menjawab “Aku akan memilih mati
di desa Gunung Sari, hidup bahkan matiku akan kucurahkan untuk desa Gunung Sari
yang tercinta ini”
“Om
Swastiastu…”
Tepuk
tangan gemuruh memenuhi ruang Balai Desa, terlihat disudut sana Mariana, Bu
Ngatiyem dan Pak Winarno tertawa terpingkal-pingkal. Wajar mereka adalah keluarga
keduaku setelah Bibi. Mereka juga mahfum bahwa aku ratu gombal. Dari kejauhan
aku memberikan senyuman manis pada mereka.
Seremoni
penutupan berakhir, di kursi bagian belakang aku duduk sambil memijat-mijat
betisku sendiri. Sungguh aku benar-benar kelelahan. Rok jeans ¾ yang kugunakan
semakin kunaikkan. Sungguh lututku pun terasa remuk sekali.
Bu
Sarinah melambaikan tangannya, memberikan kode agar aku menemuinya di meja
depan. Dengan terpincang-pincang aku bergegas menuju tempat dimana Bu Sarinah
berdiri.
“Mba
Laksmi, tanggal 28 Desember saya akan kembali ke desa Liang. Amanah dari Kepala
desa, Mba Laksmi bisa ikut pulang bersama saya. Kita akan menaiki pesawat, langsung
dari Jakarta ke Kota Ambon, itupun jika Mba Laksmi tidak berkeberatan” ungkap
Bu Sarinah
“Bu, bisakah
diperpanjang sampai akhir Januari?” Tanyaku pada Bu Sarinah sembari berharap
pintaku dituruti. Wajar saja saya ingin menikmati berada di desa Gunung Sari lebih
lama. Ya setidaknya bisa keliling menelusuri rumah warga satu per satu untuk
berpamitan.
“Sebenarnya
saya hanya mengikuti perintah atasan, jika dipikir-pikir itu adalah hak Mba
Laksmi” Lanjut bu Sarinah
“Hmm”
aku terdiam, jujur aku segan untuk menolak, aku memang belum begitu akrab
dengan Bu Sarinah. Bu Sarinah adalah pegawai desa yang baru dipindahkan dari
Sulawesi. Sebagai istri Babinsa dia pun harus merelakan pindah-pindah tempat
kerja karena kewajiban mengikuti suami.
“Bagaimana
mba Laksmi? Sebenarnya saya juga ingin berlama-lama di Kota Kembang, sudah 20
tahun saya baru menginjakkan kota ini tetapi di tanggal 30 Desember seluruh
perangkat desa diwajibkan hadir ke pernikahan ponakan Bendahara desa. Ada
hajatan besar disana”
“Siapa
yang akan menikah Bu Sarinah, maaf saya lancang”
Aku tak sabar untuk mendapatkan jawaban, “Siti Purwanti kah yang akan melapas masa lajangnya?” sambil tersenyum dengan mata
berbinar-binar pertanyaan kembali ku lontarkan pada Bu Sarinah.
“Iya
benar Mba Laksmi, pengantin perempuannya bernama Siti Purwanti” Bu Sarinah
menjawab sambil mengangguk-anggukan kepala.
“Oh
Hyang Widhi, sungguh ini berita yang cukup membahagiakan” Sahabat kecil yang
menjadi tempat tertumpahnya segala isi hati dalam waktu dekat akan menjadi
puteri sehari.
“Baiklah
Bu, aku akan ikut pulang bersama ibu” Aku menjawab dengan penuh keyakinan.
**
28
Desember 2015, Bandara Soeta Jakarta – Indonesia
Sambil
menunggu check in saya dan Bu Sarinah
bercakap-cakap tentang banyak hal. Saya dengan lancarnya menceritakan suka-duka
selama pelatihan di desa Gunung Sari. Bu Sarinah terpingkal-pingkal saat mendengar
cerita pak Sudarmo yang selalu saja punya jurus jitu untuk mempekerjakan saya
layaknya babu. Saya dengan gampangnya disuruh mengarit bahkan sampai
membersihkan kotoran sapi di kandang yang sudah berbulan-bulan tidak
dibersihkan.
Setengah
jam lagi kita akan duduk manis di badan Merpati.
Tiba-tiba
saya terpikirkan untuk menanyakan sesuatu pada Bu Sarinah,
“Bu,
maafkan jika saya lancang”, Saya memulai percakapan lagi dengan meminta izin
terlebih dahulu.
“Siapa
kira-kira lelaki yang akan menjadikan Siti Purwanti sebagai istri?”
“Siti Purwanti akan dinikahi oleh lelaki berbakat di desa Liang mba Laksmi,
sepertinya kamu mengenalnya” ungkap Bu Sarinah
Dengan
senyuman kegirangan aku melanjutkan pertanyaan “Siapa nama lelaki itu bu?”
“B –
U – L – A – H – I - S” jawab bu Sarinah
Aku
terperangah mendengar jawaban Bu Sarinah, tangan dan kakiku serasa kaku tak
bergerak. Rohku semacam terbang menjemput Dewa di Langit Antah Berantah. Oh
Hyang Widhi, mampukah aku berdamai dengan keadaan? Tanyaku di dalam hati. Tak mampu
menahan isak, di hadapan Bu Sarinah Air mata ini membanjiri kepulangaku ke desa
Liang.
Berjalan
menyusuri Merpati dengan kaki yang tak terasa menginjak lantai.
Semilir
angin yang syahdu di sore itu, buku berukuran 15 x 21 cm, kenangan saat mencuri
pandang di sela-sela jendela kamar pada sosok nelayan muda yang menjadi idaman
semua perempuan desa kini hanya menjadi fatamorgana. “Jika saja kutahu begini
akhirnya, aku aku memilih menolak dikirimkan ke Gunung Sari, ah tidak, ataukah
dari awal aku harus jelaskan bahwa sebagai perempuan aku punya banyak mimpi
yang sejatinya harus direalisasi. Harusnya aku mempertegas bahwa aku bukan
sekadar perempuan konco wingking….sehingga,
pelukan mesra di sore itu tak perlu terjadi. Oh Hyang Widhi kali ini aku tidak
bisa berdamai dengan diri sendiri” Ribuan Tanya dan jawaban kuciptakan sendiri
alih-alih untuk memutar waktu kembali meskipun sesungguhnya
itu
tak sanggup ku lakukan.
**
Desa
Liang, 29 Desember 2015 Pukul 22.00 WIT
Aku
tiba di rumah bibi. Tak banyak yang tahu bahwa aku sudah kembali dari tanah
Jawa. Kubuka kembali jendela kamar, Di buku merah itu kutumpahkan segala kesal
bahkan amarah yang menyala-nyala karena sebuah pengkhiyanatan atas nama Cinta. Linangan air mata terus mengucur, aku pun bergegas membakar dupa.
**
Cerpen diikut-sertakan dalam Sayembara Goresan Pena Merayakan Bulan Bahasa Jendela Sastra Indonesia didukung oleh Gerakan Menulis Buku Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar