Senin, 23 Oktober 2017

Bukan Perempuan Penulis








“Aku tak pernah mengharapkan sastrawangi, bagiku menulis cukup membahagiakan diri, Menulis membuatku seimbang. Dengan bebas ku tumpahkan segala kesal, rasa sayang  dan cinta kasih, bahkan amarah yang menyala-nyala karena sebuah pengkhiyanatan atas nama Cinta. Aku menulis maka aku merdeka” –  Dwi Laksmini


Pagi yang menawan di desa Gunung Sari, Januari 2015.

Aku memandang sawah-sawah yang hijau. Sapi-sapi yang baru saja dikeluarkan dari kandangnya juga menjadi tontonan yang cukup menyegarkan, meski di ujung jalan sana terlihat begitu gersang. Beberapa luasan hutan ditebang untuk pembangunan tol Gunung Sari-Jakarta. Pembangunan infrastruktur memang diorientasikan pemerintah masa kini alih-alih untuk mensejahterakan rakyat. Mereka memiliki alasan yang rasional, pembangunan jalan tol harus dipercepat agar memudahkan akses pemasaran. Desa Gunung Sari sendiri merupakan sentra kedelai hitam, lengkuas, jahe, temulawak dan kencur. Produk-produk pertanian yang sudah dipanen memang biasanya langsung dibawa ke Jakarta.

Masih di depan rumah Pak Winarno, aku dengan mudahnya tersenyum, meski hanya dengan memandang hijaunya daun-daun jagung ini. Belum lagi ditambah gemericik air aliran irigasi serta hembusan angin pagi. “Oh Hyang Widi, sungguh sangat menyegarkan”. Kebahagiaan cukup sederhana kurasakan, dengan menikmati pagi seperti ini sontak membayar lunas segala rindu, maklum aku adalah gadis rantau. Pemerintah Maluku mengirimkan ku ke Gunung Sari untuk mengikuti pelatihan pendamping desa tani/ternak. Semua bermula dari sebuah konsep yang aku tawarkan untuk desa Liang. Sebelum menawarkan desa tani/ternak, beberapa kali telah ku usulkan dibentuknya desa pangan segar, desa kembang dan beberapa konsep lainnya yang berkaitan dengan pengembangan desa dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai warga yang pernah bersekolah di SMK Pertanian, impianku cukup melimpah ruah. Sepertinya aku pun ingin mengembalikan kejayaan Indonesia sebagai Agriculture state.

Aku meyakini setiap orang punya cara tersendiri untuk menunjukkan eksistensinya. Menulis, merangkai konsep untuk pembangunan desa dan pengembangan masyarakat adalah cara sederhana yang aku pilih. Aku suka menulis, bahkan menuliskan hal remeh-temeh yang tak pernah dipikirkan orang lain. Seperti di malam kemarin, aku menyelesaikan Cerpen “Puasa Batin Perempuan Berkuncir”, sungguh ini adalah ide aneh yang pernah kutangkap dan kemudian kujadikan ramuan dalam merangkai cerita, hanya bermula dari kebiasaan adik angkatku Mariana. Dia biasanya menguncir rambutnya setinggi pendekar-pendekar pemegang samurai. Di sudut rumah ku terbelalak karena mendengar Mariana dengan spontannya mengeluarkan dua kata, “Puasa Batin”. Mariana terlihat kesal saat mengucapkan Puasa Batin. Ini adalah jawaban spontan yang diberikan Mariana kepada Aghis, lelaki yang selalu mencari perhatiannya.

Aghis dengan lantang bertanya pada Mariana, “Mariana, kenapa kamu terlihat lesu sekali hari ini?”

“Itu hanya perasaanmu saja. Aku merasa sama sekali tidak lesu” ketus Mariana

Aghis kembali melontarkan pertanyaan konyolnya dengan sedikit bumbu gombal “Kau seperti sedang berpuasa Mariana, bibir mungilmu terlihat kering dan terkelupas”

Mariana dengan kesalnya menjawab “Aku sedang berpuasa”

Aghis keheranan dan kembali bertanya “puasa apa Mariana? Setahuku ini bukan Nyepi, bukankah puasa hanya dijalankan pada hari raya Nyepi?”

Mariana geram, tetangga konyol yang selalu mengganggunya  tak henti-hentinya melontarkan pertanyaan aneh sedari tadi.

“iya Aghis, aku sedang menjalankan Puasa. Puasa Batin” tegas Mariana.

Aghis tercengang dengan mata yang dilototkan seperti keheranan pada sesuatu yang tak pernah dirasakan atau dialaminya. “Puasa Batin??”

Di sudut yang berbeda di rumah Pak Winarno, aku tertawa kecil, melihat perdebatan yang ku anggap cukup menggelikan. Sembari itu imaginasiku berjalan hilir mudik dan pada akhirnya memilih Mariana sebagai pemain utama dalam cerita Puasa Batin Perempuan Berkuncir. Entah kenapa selalu saja ada yang menggerakkan nalarku untuk melakukan wisata imajinatif meski hanya dengan melihat hal-hal yang sederhana. Ini semakin parah jika aku patah hati. Nalar ini akan semakin liar. Aku menumpahkannya, memilih menuliskannya di buku Album merah. Buku berukuran 15 x 21 cm ini selalu kubawa kemanapun ku pergi. Buku ini adalah kado termanis yang diberikan Bulahis kepadaku…

**

Desa Liang terletak di pinggiran kota Ambon, sebenarnya desa ini lebih dekat dengan kepulauan Seram. Masyarakat di desa ini dominan menjadi petani. Tanahnya berawa sebenarnya, kebanyakan ditanami sayur kangkung. Ibu-ibu yang membentuk kelompoknya dengan nama Kelompok Pergerakan Perempuan Pertanian terlihat cukup aktif. Setiap minggu mereka mengadakan pertemuan, entah untuk sekadar silaturahim ataupun mendiskusikan penemuan-penemuan baru tentang pertanian. Namun di akhir 2012 aktivitas produksi mereka harus dihentikan akibat sengketa tanah. Lahan yang biasanya ditanami kangkung tepat di pesisiran pantai desa Liang ingin digusur pemerintah. Tujuannya untuk reklamasi pantai dan guna penataan ruang desa agar apik dan menarik. Akhir 2012 menjadi sumbu berkoarnya semangat juang ibu-ibu petani di desa Liang. Beberapa kali mereka pun melakukan demonstrasi di kantor Kabupaten untuk pembebasan lahan yang menjadi sumbu pemantik kehidupan masyarakat desa Liang.

Esai tentang ‘Pergerakan Perempuan Pertanian’ yang pernah kutulis di awal tahun 2013 pun telah termuat di Jurnal Perempuan. Redakturnya merupakan penulis perempuan kondang yang konsen pada isu pertanian dan feminisme. Semasa SMA aku sering membaca tulisan-tulisan di dalam jurnal tersebut. Setelah tiga tahun terlepas dari sekolah, aku diam-diam gemar menuliskan segala permasalahan yang kulihat di sekitar tempat tinggalku. Untuk Esai P3 ini, sebutanku pada judul Pergerakan Perempuan Pertanian, kurasa biasa saja. Esai itu hanya sebuah deskripsi pada kelompok Perempuan Petani di desa Liang. Tetapi mungkin isu pengalihan lahan untuk reklamasi itulah yang membuatnya menggetarkan sehingga bisa terpilih sebagai salah satu Esai untuk Edisi ke V Jurnal Perempuan tepat di petengahan tahun 2013.

**

3 bulan berlalu berada di desa Gunung Sari, selama itu pula aku bercengkrama dengan peternak di Kelompok Suka Maju. Desa yang berada di tanah Pasundan Jawa Barat ini tak hanya punya panorama bak gadis perawan pun juga kaya akan potensi tani ternaknya. Selain kedelai hitam malika yang menjadi primadona, desa agropolitan ini juga punya beragam sumberdaya genetik ternaknya, ada sapi Pasundan, itik Pegagas, domba Gunung Sari dan Ulat Sutera yang kepompongnya menjadi incaran peternak ayam broiler, konon kepompong ini memiliki protein tinggi yang dapat meningkatkan produktifitas.

15 April 2015, Matahari belum benar berpendar-pendar terbit, aku tetap menjalankan rutinitasku. Menuntun sapi ke padang pengembalaan, membersihkan kotorannya dari kandang, mengarit atau memotong hijauan untuk pakan. Sapi potong sejenis sapi Pasundan ini memang lebih menyukai rumput raja, yang kutahu King grass nama latinnya. Di waktu SMA kami diwajibkan menghafal nama-nama latin beberapa bahan pakan untuk mata pelajaran pengantar ilmu pertanian sebelum kelas dimulai. Ketika 10 karung terisi keringatku tak henti-hentinya bercucuran. Ketika harus menarik belati untuk mematahkan rumput hijau itu, terdengar teriakan pak Sudarmo dari seberang jalan, “Bagaimana nak Laksmini, masih mampukah kau mengarit dan memenuhi 70 karung ini” Pak Sudarmo melambaikan tangannya yang berisikan beberapa karung kosong sebagai perintah. Setelah beraba-aba, Pak Sudarmo tertawa terpingkal-pingkal melihat wajahku yang tercoreng tanah liat akibat mengarit sedari tadi.

“Oh Hyang Widhi, beginikah susahnya menjadi petani dan peternak” gumamku di dalam hati. Kelelahan ini juga semakin sempurnah karena memori mengantarkan ku pada Bulahis, lelaki yang sekarang ada di desa Liang. Rinduku semakin tak karuan. Biasanya pagi-pagi begini, aku terhibur-terpesona melihatnya mendorong perahu ke pinggiran pantai. Bulahis nelayan muda pekerja keras. Di balik jendela kamar, aku biasanya tersenyum bahkan terkadang mencak-mencak memeluk tiang. Sudah sejak dulu aku mengaguminya. Setiap sore aku dengan semangat menceritakan kegilaanku tentang Bulahis pada Siti Purwanti, sahabat kecil yang sampai sekarang ku anggap sebagai saudara sendiri. Namun, di akhir tahun 2014 semua impianku terkabulkan, dia menyatakan cintanya padaku. Aku sekonyong-konyong saja menerimanya, tak tahan ternyata berlama-lama menjadi pemuja rahasia.

“Dwi Laksmini, apa rencanamu di akhir tahun ini?” ujar Bulahis padaku sembari melepaskan pandangannya ke pantai di sore itu,

“Rencana apa maksudmu Bulahis? Aku tak mengerti” Tanya ku keheranan

“Maksudku, apakah kau memiliki keinginan untuk berkuliah ataukah tetap berada di kampung ini?” Bulahis mempertegas pertanyaannya

“Kuliah?” aku bertanya keheranan dan kemudian melanjutkan jawaban tanpa memberikan jeda pada Bulahis untuk menanggapinya.

“Meskipun itu adalah bagian dari cita-cita tetapi sebagai perempuan akupun mengerti tanggung jawabku yang sebenarnya. Kata bibi, perempuan hanyalah Konco Wingking. Sampai sekarang, dapur, sumur dan kasur adalah pencapaian tertinggi” aku menjawabnya dengan penuh keyakinan, meskipun sejujurnya aku juga ingin sekali berkuliah seperti Nona-nona turunan Belanda yang ada di Kota.

“Bagaimana dengan menulis?” Bulahis melanjutkan,

“Menulis adalah kegemaranku semenjak aku mengenal bangku sekolah. Jujur sangat sulit untuk kutinggalkan. Dengan menulis aku merasa seimbang. Bahkan menulis mungkin akan jadi pilihanku untuk merealisasikan sebuah perjuangan” Jawaban ini lebih tegas daripada jawaban-jawaban sebelumnya.

Diantara matahari yang hampir hilang,  aku memandang Bulahis dengan senyuman kehangatan. Bulahis juga membalasnya, menatapku dengan senyum termanisnya. “Ku pikir dia terkagum-kagum denganku” diam-diam aku menggerutu percaya diri.

Semilir angin semakin memekarkan kesyahduan di sore ini, Dengan spontannya Bulahis menggenggam tanganku. “Oh Hyang Widhi sungguh tak pernah aku rasakan kehangatan semacam ini.  Benarkah aku jatuh cinta pada Bulahis”. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Tanpa sadar aku pun membalas genggaman itu dengan erat. Sepertinya pernyataan cinta tak selamanya harus lewat kata-kata. Begitu aku, pun Bulahis, sepertinya bisa saling membaca mata. Aku menyayangi Bulahis dan begitupun Bulahis padaku. Matahari semakin condong ke barat. Di bawah pepohonan kelapa aku memeluknya erat.

Meski kebahagiaan bermekaran bagaikan mekarnya Sakura saat Hanami, aku harus pasrah. Di awal tahun 2015, tulisanku terpilih, konsep pengembangan tani-ternak yang kuusulkan membawa aku berlenggang ke tanah Jawa. Dan semenjak kepergianku itulah aku tak pernah mendengar kabar Bulahis lagi.
**
“es lilin mah, agan kelapa muda, dibantuna, agan, di dorong-dorong…..”

Di bawah saung, di temani musik Sunda dari Radio Pak Sudarmo, aku menuliskan sesuatu di lembaran buku merah itu.

S_K_E_I R_S_T

Tahukah kau seberapa dalamnya keingin-tahu-an Camelia terhadap isi dari sungai Esmeralda?????

Tahukah kamu? Seberapa besar perjuangan Camelia untuk mendaki gunung dan melewati lembah sebagaimana pejuang-pejuang dulu bergerilya????

Tahukah kau seberapa kenikmatan yang dirasakan Camelia ketika melihat cahaya bersinar yang muncul di dalam gua-gua..

Kamu sekalian mungkin tak tahu, Hanya Camelia............dialah yang tahu .................

Hanyalah Camelia yang tahu seberapa jauh langkah kaki harus diayunkan untuk sampai pada puncak Gunung Fransderheid....

Hanyalah Camelia yang tahu, seberapa satuan ampere dan seberapa kuat arus listrik yang harus dimanfaatkan untuk bermigrasi, sebagaimana yang diperlukan proteios-proteios itu...

Camelia, … tak lelah melewati rintangan-rintangan yang mungkin lebih tepat diistilahkan sebagai mutan, agar dia bisa bertahan ..........

Agar dia bisa sampai pada tujuan....
.
Agar dia bisa menikmati keindahan Sungai Esmeralda, dimana di dalamnya terdapat lautan pertanyaan yang harus dipecahkan untuk memperoleh jawaban, meski hanya berbentuk sebuah perumpamaan... Dan
Biarkan camelia menikmati kenikmatan dari kesejukan, dari kesyahduan dengan cumbuan-cumbuan yang dia dapatkan dari Esmeralda yang terkesan hanya ada dalam Impian

Gunug Sari, 15 April 2015
Dwi Laksmini

 
Ini adalah puisi ketiga yang kutuliskan saat berada di desa dengan sejuta potensi. Gunung Sari selalu membantuku untuk menelurkan ribuan kata. Diantara rindu dan perjuangan aku semakin merasakan lelah, jelas sekali terasa. Tiba-tiba terdengar suara Mariana memanggil-manggil namaku. “Kak Laksmi, kak ini ada nasi megono buatan ibu….” Tak jauh dari itu terdengar teriakan Aghis, memanggil-manggil nama Mariana…

Ya, Cinta memang begitu..

**

Bulan ini aku diberi kesempatan menanam kedelai malika, kita menanam di dua Lokasi berbeda. Lokasi pertama di lahan pinggiran sawah sedangkan lokasi yang kedua berada diantara pepohonan jati. Ya semacam integrasi perkebunan dengan tanaman pangan. Aktivitas ku kali ini adalah berlebur dengan Kelompok Tani Agria Kencana. Pelakunya lebih didominasi ibu-ibu tani, selain bertani petani kedelai malika juga bekerja sampingan di Pabrik Sale Pisang milik Pak Haji Rumbia. Penghasilan per bulannya memang tidak terlalu besar, dua ratus ribu rupiah per bulannya. Meskipun begitu ibu-ibu yang tergabung dalam Agria Kencana tetap terlihat ceria sepanjang harinya.

Hari berganti hari, rentetan aktivitas Dwi Laksmini tak terasa mengantarkannya sampai di penghujung 2015. Pelatihan menjadi pendamping desa-tani ternak pun akan segera berakhir. Di ujung jalan sana terlihat pengerjaan proyek tol Gunung Sari-Jakarta pun hampir rampung. Pemandangannya terlihat benar-benar seperti di ibukota.

**

Gunung Sari, 23 Desember 2015

Aku merapikan berkas-berkas yang berhamburan di kamar ini. Hampir setahun aku menghabiskan malam-malam ku disini. Selain menulis laporan kegiatan per hari, kamar ini pun menjadi luapan segala rindu. Ya, rindu pada Bibi di desa Liang dan Bulahis, lelaki yang telah datang mewarnai ruang kosong dalam kehidupan. Sampai Desember 2015 ini, aku telah menuliskan 15 puisi, 10 Cerpen dan genap 96 Esai Lepas atau semacam Artikel tak beraturan yang merupakan hasil kontemplasi dari seabreg kegiatan pelatihan di desa Gunung Sari. Benar-benar aku merasa merdeka. Di Gunung Sari, aku merasa lebih hidup. Dengan menulis aku merasa seimbang, karena dengan bebas kutumpahkan segala kesal dan rasa kasih sayang.

Di sela-sela kesibukanku melipat kertas dan map-map yang berserakan di meja kamar, terdengar isak tangis Bu Ngatiyem, istri pak Sudarmo yang merupakan ibu Mariana.
“Benarkah dek Laksmi akan pergi meninggalkan desa Gunung Sari” Bu Ngatiyem berdiri di depan pintu kamarku yang sebenarnya tak memiliki daun pintu dengan tangan menyeka pipinya.
Segara aku menjawab dan berjalan mendekati Bu Ngatiyem “Tidak bu, Meskipun berada di tanah Maluku sejujurnya sulit untuk bisa melupakan desa indah ini. Disini saya banyak belajar”. Sambil memeluk Bu Ngatiyem saya melanjutkan pembicaraan.

“Ibu tidak perlu sedih, sekarang kita bisa dengan mudahnya berkomunikasi. Bukankah Kantor Desa juga melayani warganya untuk bisa mengakses segala informasi? Bukankah ibu tahu bahwa ada program baru dari kepala desa? Kemarin bu Fauziah bisa tersenyum bahagia karena dapat melihat langsung anaknya yang ada di Turki. Pemerintah memfasilitasi telepon video untuknya. Bayangkan bu, itu di Turki. Aku hanya berada di wilayah Indonesia, ibu bisa meminta pak Sudarmo agar mengantarkan ibu ke Balai desa setiap hari hanya untuk video call denganku” Aku memegang kedua pundak Bu Ngatiyem seraya meyakinkan padanya. Di matanya yang masih sembab terbaca kedalaman cinta yang cukup menenangkan. Sungguh interpretasi ini berbeda dengan kejadian dibawah pohon kelapa sore itu. “Ah sudalah..” aku bergumam lagi di dalam hati.

Sekarang sudah benar-benar larut, jam menunjukkan hampir pukul 12 malam. Aku menuntun Bu Ngatiyem kembali ke kamar. Di kamar tengah aku melihat Mariana tertidur lelap dengan setelan kuncirnya yang tetap terikat rapi.

Aku tersenyum.

“Oh Hyang Widhi, aku sungguh dilema. Satu sisi aku benar-benar sulit meninggalkan desa yang telah menjadi guru kehidupanku. Disini aku tak sekadar pelatihan menjadi pendamping desa. Jujur disini aku mengenal sejatinya keluarga, aku merasakan dengan benar kehangatan saudara perempuan. Disini aku melihat dengan nyata perjuangan petani dan peternak yang semakin mempertebal iman perjuanganku. Tetapi disisi lain aku pun punya tanggung jawab pada desa Liang, desa yang telah membesarkanku meskipun sebenarnya ari-ariku tak tertanam disana. Juga satu alasan yang mendasar, Cintaku pada Bulahis sudah semakin merekah semenjak jarak menjadi pemisah dalam ruang romantisme yang terlahir secara alamiah. Oh Hyang Widhi, aku menguatkan diri. Aku memang harus kembali ke desa Liang. Aku harus pulang mengembangkan tanah Maluku” aku terus saja berceloteh dengan diriku sendiri. Semacam berusaha mengajak diri untuk berdamai dengan keadaan.

Keesokan harinya..

Pagi-pagi benar, Bu Ngatiyem sudah berada tepat di sampingku membangunkanku. “Nak Laksmi, bangunlah nak. Pak Parjo Satpam Kantor Balai desa memberitahu bahwa ada utusan yang dikirimkan di desa Liang untuk menjemputmu. Dek Laksmi disuruh segera bersiap-siap untuk presentase hari ini”. Aku yang baru saja terbangun segera duduk dan berusaha mencerna pernyataan Bu Ngatiyem yang agak terbata-bata.
“Hmm, benarkah begitu bu?” ujarku dengan nada tak percaya sembari berharap presentase tidak perlu dilangsungkan hari ini
“Iya benar nak, ” ujar bu Ngatiyem.
Aku segera bergegas menuju kamar mandi. Kembenku hampir saja melorot, itu karena aku takut terlambat.
Air sumur menyegarkan jiwa dan raga, sepertinya aku semakin siap memberikan rekomendasi untuk Gunung sari dihadapan peserta seminar hari ini di Balai Desa.

**

Sesampainya di Balai desa aku bersalaman dengan semua perangkat desa juga utusan dari desa Liang. Aku tidak mengenal baik ibu yang mengenakan jilbab hijau tosca ini. “Kenalkan namaku Bu Sarinah” sambil memperkenalkan namanya dan dengan santainya Bu Sarinah menjulurkan tangan. Aku segera menyambut dengan salaman dan basa-basi meski sekadar menanyakan kabar kepala desa Liang.

Setelah pembukaan acara oleh kepala desa Gunung Sari dan Ketua Lembaga Pengabdian Masyarakat desa yang kebetulan diwakilkan oleh Mba Asriyani. Aku diminta maju ke podium oleh moderator untuk menyampaikan rekapan sebagai pertanggung jawaban selama setahun belajar di desa ini. Aku berkoar-koar menjelaskan pengalamanku menjadi pengembala sapi, petani kedelai malika dan hal-hal lain yang berkaitan dengan pengembangan desa. Di akhir penyampaian tak lupa kuberikan rekomendasi pada desa yang menjadi Sokoh Guru dalam kehidupanku. Sebelum mengucapkan salam penutup. Aku mengakhiri dengan sebuah pernyataan yang spontan muncul saat pertengahan aku presentase.

“Seandainya hari ini malaikat betanya kepadaku, tempat mana yang akan kau pilih untuk mengakhiri hidupmu Dwi Laksmini?” Maka aku akan menjawab “Aku akan memilih mati di desa Gunung Sari, hidup bahkan matiku akan kucurahkan untuk desa Gunung Sari yang tercinta ini”

“Om Swastiastu…”

Tepuk tangan gemuruh memenuhi ruang Balai Desa, terlihat disudut sana Mariana, Bu Ngatiyem dan Pak Winarno tertawa terpingkal-pingkal. Wajar mereka adalah keluarga keduaku setelah Bibi. Mereka juga mahfum bahwa aku ratu gombal. Dari kejauhan aku memberikan senyuman manis pada mereka.

Seremoni penutupan berakhir, di kursi bagian belakang aku duduk sambil memijat-mijat betisku sendiri. Sungguh aku benar-benar kelelahan. Rok jeans ¾ yang kugunakan semakin kunaikkan. Sungguh lututku pun terasa remuk sekali.

Bu Sarinah melambaikan tangannya, memberikan kode agar aku menemuinya di meja depan. Dengan terpincang-pincang aku bergegas menuju tempat dimana Bu Sarinah berdiri.

“Mba Laksmi, tanggal 28 Desember saya akan kembali ke desa Liang. Amanah dari Kepala desa, Mba Laksmi bisa ikut pulang bersama saya. Kita akan menaiki pesawat, langsung dari Jakarta ke Kota Ambon, itupun jika Mba Laksmi tidak berkeberatan” ungkap Bu Sarinah

“Bu, bisakah diperpanjang sampai akhir Januari?” Tanyaku pada Bu Sarinah sembari berharap pintaku dituruti. Wajar saja saya ingin menikmati berada di desa Gunung Sari lebih lama. Ya setidaknya bisa keliling menelusuri rumah warga satu per satu untuk berpamitan.

“Sebenarnya saya hanya mengikuti perintah atasan, jika dipikir-pikir itu adalah hak Mba Laksmi” Lanjut bu Sarinah

“Hmm” aku terdiam, jujur aku segan untuk menolak, aku memang belum begitu akrab dengan Bu Sarinah. Bu Sarinah adalah pegawai desa yang baru dipindahkan dari Sulawesi. Sebagai istri Babinsa dia pun harus merelakan pindah-pindah tempat kerja karena kewajiban mengikuti suami.

“Bagaimana mba Laksmi? Sebenarnya saya juga ingin berlama-lama di Kota Kembang, sudah 20 tahun saya baru menginjakkan kota ini tetapi di tanggal 30 Desember seluruh perangkat desa diwajibkan hadir ke pernikahan ponakan Bendahara desa. Ada hajatan besar disana”

“Siapa yang akan menikah Bu Sarinah, maaf saya lancang”

 Aku tak sabar untuk mendapatkan jawaban, “Siti Purwanti kah yang akan melapas masa lajangnya?” sambil tersenyum dengan mata berbinar-binar pertanyaan kembali ku lontarkan pada Bu Sarinah.

“Iya benar Mba Laksmi, pengantin perempuannya bernama Siti Purwanti” Bu Sarinah menjawab sambil mengangguk-anggukan kepala.

“Oh Hyang Widhi, sungguh ini berita yang cukup membahagiakan” Sahabat kecil yang menjadi tempat tertumpahnya segala isi hati dalam waktu dekat akan menjadi puteri sehari.
“Baiklah Bu, aku akan ikut pulang bersama ibu” Aku menjawab dengan penuh keyakinan.

**

28 Desember 2015, Bandara Soeta Jakarta – Indonesia

Sambil menunggu check in saya dan Bu Sarinah bercakap-cakap tentang banyak hal. Saya dengan lancarnya menceritakan suka-duka selama pelatihan di desa Gunung Sari. Bu Sarinah terpingkal-pingkal saat mendengar cerita pak Sudarmo yang selalu saja punya jurus jitu untuk mempekerjakan saya layaknya babu. Saya dengan gampangnya disuruh mengarit bahkan sampai membersihkan kotoran sapi di kandang yang sudah berbulan-bulan tidak dibersihkan.

Setengah jam lagi kita akan duduk manis di badan Merpati.

Tiba-tiba saya terpikirkan untuk menanyakan sesuatu pada Bu Sarinah,

“Bu, maafkan jika saya lancang”, Saya memulai percakapan lagi dengan meminta izin terlebih dahulu.

“Siapa kira-kira lelaki yang akan menjadikan Siti Purwanti sebagai istri?”

“Siti Purwanti akan dinikahi oleh lelaki berbakat di desa Liang mba Laksmi, sepertinya kamu mengenalnya” ungkap Bu Sarinah

Dengan senyuman kegirangan aku melanjutkan pertanyaan “Siapa nama lelaki itu bu?”

“B – U – L – A – H – I - S” jawab bu Sarinah

Aku terperangah mendengar jawaban Bu Sarinah, tangan dan kakiku serasa kaku tak bergerak. Rohku semacam terbang menjemput Dewa di Langit Antah Berantah. Oh Hyang Widhi, mampukah aku berdamai dengan keadaan? Tanyaku di dalam hati. Tak mampu menahan isak, di hadapan Bu Sarinah Air mata ini membanjiri kepulangaku ke desa Liang.

Berjalan menyusuri Merpati dengan kaki yang tak terasa menginjak lantai.

Semilir angin yang syahdu di sore itu, buku berukuran 15 x 21 cm, kenangan saat mencuri pandang di sela-sela jendela kamar pada sosok nelayan muda yang menjadi idaman semua perempuan desa kini hanya menjadi fatamorgana. “Jika saja kutahu begini akhirnya, aku aku memilih menolak dikirimkan ke Gunung Sari, ah tidak, ataukah dari awal aku harus jelaskan bahwa sebagai perempuan aku punya banyak mimpi yang sejatinya harus direalisasi. Harusnya aku mempertegas bahwa aku bukan sekadar perempuan konco wingking….sehingga, pelukan mesra di sore itu tak perlu terjadi. Oh Hyang Widhi kali ini aku tidak bisa berdamai dengan diri sendiri” Ribuan Tanya dan jawaban kuciptakan sendiri alih-alih untuk memutar waktu kembali meskipun sesungguhnya itu tak sanggup ku lakukan.

**

Desa Liang, 29 Desember 2015 Pukul 22.00 WIT

Aku tiba di rumah bibi. Tak banyak yang tahu bahwa aku sudah kembali dari tanah Jawa. Kubuka kembali jendela kamar, Di buku merah itu kutumpahkan segala kesal bahkan amarah yang menyala-nyala karena sebuah pengkhiyanatan atas nama Cinta. Linangan air mata terus mengucur, aku pun bergegas membakar dupa.


**

Cerpen diikut-sertakan dalam Sayembara Goresan Pena Merayakan Bulan Bahasa Jendela Sastra Indonesia didukung oleh Gerakan Menulis Buku Indonesia





Tidak ada komentar:

Posting Komentar