Senin, 15 Januari 2018

MURAL BUKAN VANDALISME !!

Mural Perempuan


Salam Kenal, Salam Mewarnai!

Mural dan grafiti mulanya hanya istilah asing bagi penulis. Saat hendak mencorat-coret tentang ini, barulah saja penulis bergegas mencari: apa sebenarnya yang dimaksud dengan mural, grafiti bahkan sampai vandalisme. Ini berawal dari ketertarikan penulis terkait “Perempuan Bicara Perempuan”, sebuah pemberitaan tentang art project mural yang digarap Komunitas Kampung Warna–ownernya Kak Fadriah Syuaib (Malut Post). Mungkin karena penulis adalah perempuan sehingga ketertarikan ini semakin menggila. “Ah tidak, mural dan grafitinya yang menarik! “Ah tidak juga, kombinasi mural dan perempuannya-lah yang cukup menjual”, Entahlah! Sederhana saja, penulis tertarik dan ingin (kebelet) menuliskan tentang ini, itu saja! Informasi berikutnya penulis dapatkan dari Media Harian Malut Post Tanggal 13 Januari 2018 “art project mural merupakan kerjasama Komunitas Kampung Warna dengan Komjen Amerika di Surabaya yang bertemakan perempuan” (Wow, fantastic!!)

Penelusuran demi penelusuran secara perlahan-lahan dilakukan, tanpa disadari mural dan grafiti sendiri merupakan “sesuatu yang asing tapi tak asing”. Maksudnya lebih pada ketidaktahuan penulis akan defenisi secara teori tetapi realitanya mural dan grafiti ini sering penulis jumpai. Bandung, Jogja, Bali dan Surabaya merupakan kota-kota ber-mural. Jika sudah berkunjung ke kota-kota besar diatas maka mungkin sudah pernah juga merasakan apa yang penulis rasakan. “Sambil menunggu antrian lampu merah ke hijau, pengendara biasanya disuguhi beragam keindahan mural dan grafiti. Indah dan sarat makna. Sebagian mencerminkan kritik-kritik yang konstruktif. Satu pilihan kritik yang cukup manis!” Spot-spot atau ruang publik tertentu di kota-kota besar biasanya dijadikan ladang ber-mural. Seniman-seniman berbakat tak tanggung-tanggung mengotori dinding-dinding tua dan jalan-jalan kenangan dengan keindahan. Dan sungguh, ini digadang-gadang akan menjadi tawaran menarik untuk meningkatkan eksotisme kota. Betapa tidak, zaman now yang identik dengan instagramable akan menjadi alasan mengapa mural dan grafiti sebagai karya seni layak untuk diperhitungkan. So, mari jabat tangan dan salam mewarnai!

Mural Jogja


[Flash back] Leger menciutkan Nyali.

Mural dan grafiti sebenarnya sering juga dijumpai oleh penulis di masa kecil. Tetapi sejujurnya penulis melihatnya dengan perspektif sangat jauh berbeda jika dibandingkan dengan masa kini. Sekarang, mural dan grafiti dibaca sebagai karya seni sedangkan dulu lebih pada “sesuatu yang tidak beraturan, tidak jelas bahkan sampai-sampai diidentikkan dengan tempat/sentra berkumpulnya geng motor atau preman kampung”. Entahlah! Tetapi saat melewati leger-leger atau lorong-lorong yang dinding-dindingnya ditumpangi tulisan-tulisan dengan gambar yang tidak beraturan maka semakin menciutkan nyali. Bagi penulis, ada ketakutan sendiri ketika melewati leger saat sunyi terlebih jika malam hari. Pengalaman yang cukup menggelikan juga teramat subjektif. Sebenarnya pesan yang disampaikan dalam gambar cukup bermakna, hanya saja sudah ter-stigma: monster adalah monster. Monster bukan peri meskipun monster itu digambari dengan pita-pita berbunga di kepala.

Mural dan Grafiti sebuah Defenisi

Hasil penelaahan menjelaskan bahwa mural berasal dari bahasa Latin ‘murus’ yaitu dinding. Mural merupakan lukisan bentuk berukuran besar yang dibuat pada dinding baik interior maupun eksterior. Sedangkan grafiti merupakan tulisan/kalimat/huruf-huruf yang dibuat secara artistik pada dinding berukuran besar. Pegiat mural sesungguhnya tidak hanya menyajikan seni artistik berupa street art atau menghiasi indoor dengan keindahan tetapi juga menjadikan ruang publik sebagai sarana strategis menyampaikan kritik. Seperti Komunitas Djamur yang terhimpun dalam Bali Mural Art menorehkan gambar dan menyelipkan kritik terkait perdagangan anak (human traficking), kondisi sampah di Bali juga tentang perubahan masyarakat Bali yang semakin modern seiring tahun berganti. Komunitas Djamur menegaskan bahwa seni mural dapat menjadi alat untuk memperindah kota.
Happy underground” adalah tema yang digagas beberapa seniman mural di Jakarta. Menurut salah satu pelukis yang juga ikut serta menorehkan karyanya di parkiran Polimedia Jakarta menjelaskan bahwa mural ataupun grafiti merupakan teknik menggambar di media besar. Kebahagiaan tak terkira dirasakan salah satu perempuan seniman mural yang tergabung dalam Serikat Mural Surabaya, “Sangat bahagia ketika imaginasi dapat dituangkan di kanvas besar”. Tantangan seperti tembok yang tak rata, medan yang curam sampai ketinggian tembok yang harus menuntut mereka naik scaffolding mampu ditepis dengan semangat mewarnai kota. Kebanyakan seniman mural ingin bersinergi denga kota. Mereka meyakini bahwasanya tata kota akan lebih menarik dengan mural. Urban art is street art. And Woman in the street, why not??

Ingat, Mural ≠ Vandalisme !

Sedikit mengantarkan pada respon masyarakat tentang mural art. Ternyata tidak semua kalangan masyarakat menyetujui eksistensi mural di ruang publik. Sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa gambar-gambar yang ada di dinding-dinding hanya mengotori jalan. Namun penulis menyakini bahwa alasan tersebut mungkin datang karena masih kurangnya informasi positif terkait mural dan grafiti itu sendiri. Masyarakat masih menyamakan mural dengan vandalisme. Padahal vandalisme sendiri merupakan tindakan yang merusak fasilitas umum.

Menurut Digie Sigit, salah satu Seniman Mural Jogjakarta “Vandalisme yang dikaitkan dengan street art atau berkesenian di ruang publik, dipikir tidak berkorelasi. Dalam artian, kalau memang yang ingin dituju adalah anak-anak muda atau genk yang corat-coret di ruang publik secara brutal tidak lantas mengeneralkan atau menganggap aktivitas seni rupa di ruang publik juga vandalisme. Itu Konyol! Aksi corat-coret dari remaja itu tidak bisa dihilangkan. Namun yang menjadi pekerjaan rumah adalah kita harus memberi sangu (baca: bekal) atau membekali generasi muda kita dengan perspektif/konsep yang benar”
Ingat, mural berbeda dengan vandalisme! Mural bisa membawa pesan-pesan kebaikan. Kembali pada geliat Kampung Warna dalam mural art project yang dieksekusi di Kelurahan Tarau Kota Ternate di awal Januari 2018 kemarin, sesungguhnya patut diapresiasi. Setidaknya Kampung Warna telah memberikan warna baru di Kota Ternate diantara berjamurnya icon ruang publik seperti land mark (depan eks gubernur) dan tugu tulang ikan (di dufa-dufa).

Esensi perempuan yang disuguhkan oleh Kampung Warna juga patut diacungi jempol. Kampung Warna telah memberikan warna baru di ruang publik. Harapan agar publik menaruh perhatian lebih pada perempuan atas segala carut-marutnya dengan sebuah kritik yang santun dan indah dengan balutan warna-warni apik di dinding-dinding menurut penulis akan mendapatkan banyak respon positif. Dan sebagai perempuan kita pun harus pintar-pintar memilih: sekadar warna atau turut mewarnai? Just a colour or gives colour?


Salam Literasi. Salam Warna!

Linked_in Fadriah Syuaib


Tidak ada komentar:

Posting Komentar