Mural Perempuan |
Salam Kenal,
Salam Mewarnai!
Mural dan
grafiti mulanya hanya istilah asing bagi penulis. Saat hendak mencorat-coret
tentang ini, barulah saja penulis bergegas mencari: apa sebenarnya yang dimaksud dengan mural, grafiti bahkan sampai vandalisme.
Ini berawal dari ketertarikan penulis terkait “Perempuan Bicara Perempuan”, sebuah
pemberitaan tentang art project mural yang
digarap Komunitas Kampung Warna–ownernya
Kak Fadriah Syuaib (Malut Post). Mungkin karena penulis adalah perempuan sehingga
ketertarikan ini semakin menggila. “Ah tidak, mural dan grafitinya yang
menarik! “Ah tidak juga, kombinasi mural dan perempuannya-lah yang cukup
menjual”, Entahlah! Sederhana saja, penulis tertarik dan ingin (kebelet) menuliskan
tentang ini, itu saja! Informasi berikutnya penulis dapatkan dari Media Harian
Malut Post Tanggal 13 Januari 2018 “art
project mural merupakan kerjasama Komunitas Kampung Warna dengan Komjen
Amerika di Surabaya yang bertemakan perempuan” (Wow, fantastic!!)
Penelusuran
demi penelusuran secara perlahan-lahan dilakukan, tanpa disadari mural dan
grafiti sendiri merupakan “sesuatu yang asing
tapi tak asing”. Maksudnya lebih pada ketidaktahuan penulis akan defenisi
secara teori tetapi realitanya mural dan grafiti ini sering penulis jumpai. Bandung,
Jogja, Bali dan Surabaya merupakan kota-kota ber-mural. Jika sudah berkunjung
ke kota-kota besar diatas maka mungkin sudah pernah juga merasakan apa yang
penulis rasakan. “Sambil menunggu antrian lampu merah ke hijau, pengendara
biasanya disuguhi beragam keindahan mural dan grafiti. Indah dan sarat makna. Sebagian
mencerminkan kritik-kritik yang konstruktif. Satu pilihan kritik yang cukup
manis!” Spot-spot atau ruang publik tertentu di kota-kota besar biasanya dijadikan
ladang ber-mural. Seniman-seniman berbakat tak tanggung-tanggung mengotori
dinding-dinding tua dan jalan-jalan kenangan dengan keindahan. Dan sungguh, ini
digadang-gadang akan menjadi tawaran menarik untuk meningkatkan eksotisme kota.
Betapa tidak, zaman now yang identik
dengan instagramable akan menjadi
alasan mengapa mural dan grafiti sebagai karya seni layak untuk diperhitungkan.
So, mari jabat tangan dan salam mewarnai!
Mural Jogja |
[Flash back]
Leger menciutkan Nyali.
Mural dan
grafiti sebenarnya sering juga dijumpai oleh penulis di masa kecil. Tetapi
sejujurnya penulis melihatnya dengan perspektif sangat jauh berbeda jika
dibandingkan dengan masa kini. Sekarang, mural dan grafiti dibaca sebagai karya
seni sedangkan dulu lebih pada “sesuatu yang tidak beraturan, tidak jelas
bahkan sampai-sampai diidentikkan dengan tempat/sentra berkumpulnya geng motor
atau preman kampung”. Entahlah! Tetapi saat melewati leger-leger atau
lorong-lorong yang dinding-dindingnya ditumpangi tulisan-tulisan dengan gambar
yang tidak beraturan maka semakin menciutkan nyali. Bagi penulis, ada ketakutan
sendiri ketika melewati leger saat sunyi terlebih jika malam hari. Pengalaman
yang cukup menggelikan juga teramat subjektif. Sebenarnya pesan yang
disampaikan dalam gambar cukup bermakna, hanya saja sudah ter-stigma: monster
adalah monster. Monster bukan peri meskipun monster itu digambari dengan pita-pita
berbunga di kepala.
Mural dan Grafiti sebuah Defenisi
Hasil
penelaahan menjelaskan bahwa mural berasal dari bahasa Latin ‘murus’ yaitu dinding. Mural merupakan
lukisan bentuk berukuran besar yang dibuat pada dinding baik interior maupun eksterior. Sedangkan grafiti merupakan tulisan/kalimat/huruf-huruf
yang dibuat secara artistik pada dinding berukuran besar. Pegiat mural
sesungguhnya tidak hanya menyajikan seni artistik berupa street art atau menghiasi indoor
dengan keindahan tetapi juga menjadikan ruang publik sebagai sarana strategis
menyampaikan kritik. Seperti Komunitas Djamur yang terhimpun dalam Bali Mural Art menorehkan gambar dan
menyelipkan kritik terkait perdagangan anak (human traficking), kondisi sampah di Bali juga tentang perubahan
masyarakat Bali yang semakin modern seiring tahun berganti. Komunitas Djamur menegaskan
bahwa seni mural dapat menjadi alat untuk memperindah kota.
“Happy underground” adalah tema yang
digagas beberapa seniman mural di Jakarta. Menurut salah satu pelukis yang juga
ikut serta menorehkan karyanya di parkiran Polimedia Jakarta menjelaskan bahwa
mural ataupun grafiti merupakan teknik menggambar di media besar. Kebahagiaan
tak terkira dirasakan salah satu perempuan seniman mural yang tergabung dalam
Serikat Mural Surabaya, “Sangat bahagia ketika imaginasi dapat dituangkan di
kanvas besar”. Tantangan seperti tembok yang tak rata, medan yang curam sampai ketinggian
tembok yang harus menuntut mereka naik scaffolding
mampu ditepis dengan semangat mewarnai kota. Kebanyakan seniman mural ingin
bersinergi denga kota. Mereka meyakini bahwasanya tata kota akan lebih menarik
dengan mural. Urban art is street art. And
Woman in the street, why not??
Ingat, Mural ≠ Vandalisme !
Sedikit
mengantarkan pada respon masyarakat tentang mural
art. Ternyata tidak semua kalangan masyarakat menyetujui eksistensi mural
di ruang publik. Sebagian masyarakat masih beranggapan bahwa gambar-gambar yang
ada di dinding-dinding hanya mengotori jalan. Namun penulis menyakini bahwa alasan
tersebut mungkin datang karena masih kurangnya informasi positif terkait mural
dan grafiti itu sendiri. Masyarakat masih menyamakan mural dengan vandalisme. Padahal
vandalisme sendiri merupakan tindakan yang merusak fasilitas umum.
Menurut Digie
Sigit, salah satu Seniman Mural Jogjakarta “Vandalisme yang dikaitkan dengan street art atau berkesenian di ruang
publik, dipikir tidak berkorelasi. Dalam artian, kalau memang yang ingin dituju
adalah anak-anak muda atau genk yang corat-coret di ruang publik secara brutal
tidak lantas mengeneralkan atau menganggap aktivitas seni rupa di ruang publik
juga vandalisme. Itu Konyol! Aksi corat-coret dari remaja itu tidak bisa
dihilangkan. Namun yang menjadi pekerjaan rumah adalah kita harus memberi sangu (baca: bekal) atau membekali
generasi muda kita dengan perspektif/konsep yang benar”
Ingat, mural
berbeda dengan vandalisme! Mural bisa membawa pesan-pesan kebaikan. Kembali
pada geliat Kampung Warna dalam mural art
project yang dieksekusi di Kelurahan Tarau Kota Ternate di awal Januari
2018 kemarin, sesungguhnya patut diapresiasi. Setidaknya Kampung Warna telah
memberikan warna baru di Kota Ternate diantara berjamurnya icon ruang publik
seperti land mark (depan eks
gubernur) dan tugu tulang ikan (di
dufa-dufa).
Esensi perempuan
yang disuguhkan oleh Kampung Warna juga patut diacungi jempol. Kampung Warna telah
memberikan warna baru di ruang publik. Harapan agar publik menaruh perhatian
lebih pada perempuan atas segala carut-marutnya dengan sebuah kritik yang
santun dan indah dengan balutan warna-warni apik di dinding-dinding menurut
penulis akan mendapatkan banyak respon positif. Dan sebagai perempuan kita pun
harus pintar-pintar memilih: sekadar warna atau turut mewarnai? Just a colour
or gives colour?
Salam Literasi. Salam
Warna!
Linked_in Fadriah Syuaib |
0 komentar:
Posting Komentar