Merasa diri sebagai petani karena terlahir dari keluarga petani bukan sesuatu hal yang biasa. Sejatinya, menanggung beban “sarat”, karena petani-petani Indonesia masih “begini” adanya.
Terkadang merasa sedih ataupun sangat sakit hati, karena melihat realita kehidupan petani yang menurut saya masih berada dibawah garis kesejahteraan, meski di era iphone-7 seperti sekarang ini.
Orang tua saya, dapat dibilang petani yang beruntung karena bisa dengan mudah mendapatkan hak atas tanah. Sesungguhnya mereka memiliki “modal” dengan mencari dari “pintu-pintu” yang lain.
sebut saja papa saya diberi kesempatan bekerja di Dinas Pertanian, dan mama saya yang sangat saya cintai bekerja di bidang hilir pertanian (baca;bidang pengolahan pangan) dengan membuka warung makan kecil-kecilan di area kampus. Mengumpulkan pundi-pundi rupiah secara perlahan-lahan untuk membeli tanah.
Hal ini tidak bisa saya bayangkan jika “pintu-pintu” yang lain itu tidak ada. Apakah tetap bisa orang tua saya mendapatkan kepemilikan atas tanah-tanah pertanian yang sejatinya pada zaman sekarang membutuhkan modal besar?
Bagaimana jika orang tua saya hanya mengandalkan 100% (pure) dari hasil pertanian??? Apakah mimipi saya bersekolah di kampus-kampus pertanian bisa tercapai seperti sekarang?. Saya tidak bisa menjawabnya karena sejatinya mayoritas petani-petani Indonesia masih “begini” adanya. Kemungkinan besar, cita-cita hanyalah impian yang tidak akan tersampaikan.
Mengulas sedikit tentang histori keluarga sejatinya bukan tidak mengagungkan sektor pertanian sebagai salah satu ujung tombak yang bisa merubah dunia, tetapi benar dunia sekarang menuntut kepemilikan modal yang besar pada siapa saja yang ingin menguasai apa saja yang ingin dia kuasai.
Ingatkah kita pada Panca Usaha Tani?? Pertanian membutuhkan pertama, penggunaan bibit unggul, kedua pengolahan tanah yang baik, ketiga pemupukan yang tepat, keempat pengendalian hama dan penyakit dan kelima pengairan atau irigasi. Bagaimana jika petani tidak memiliki modal besar ataupun pemerintah tidak berpihak pada petani serta banyak melahirkan kebijakan pertanian yang unsupport pada petani. Jawabannya janganlah bermimpi mendapatkan hasil-hasil pertanian yang maksimal dan terunggulkan.
Lalu mau dikemanakan pertanian Indonesia, pada siapa lagi kita akan berharap?
Mungkin hanya dengan menilik sejarah kita akan tergugah untuk tetap berada di garis depan menemani petani-petani, untuk tetap memperjuangkan hak-hak petani, untuk menyadarkan semua orang bahwa pertanian merupakan ujung tombak kemajuan bangsa.
Mari kita menilik sejarah :
Tanggal 24 September ditetapkan sebagai hari tani nasional,melalui keputusan Presiden Soekarno tanggal 26 Agustus 1963 (No 169/1963), mengingat pada tanggal tersebut juga pada tahun 1960, Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dan disahkan oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA 1960).
Mengutip Arifin S (2016) bahwa hari tani menjadi hari kemenangan kaum tani, karena dikeluarkannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dan menjadi landasan untuk membebaskan kaum tani dari bentuk-bentuk penghisapan feodal dan musim tanam merupakan upaya untuk meningkatkan produksi dalam negeri.
Hal tersebut juga dikutip Arifin S (2016) dari dua alasan mendasar yang menjadi pertimbangan diterbitkannya Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 169 tentang Hari Tani yaitu :
bahwa tanggal 24 September, hari lahirnja Undang-undang Pokok Agraria, merupakan hari kemenangan bagi Rakjat Tani Indonesia, dengan diletakannja dasar-dasar bagi penjelenggaraan Landreform untuk mengikis habis sisa-sisa feodalisme dalam lapangan pertanahan, agar Rakjat tani dapat membebaskan diri dari matjam bentuk penghisapan manusia atas manusia dengan alat tanah, sehingga melempangkan djalan menudju kearah masjarakat adil dan makmur.”
“bahwa tiap achir bulan September matahari melintasi garis chatulistiwa kearah selatan, musim labuh (turun kesawah) hampir datang waktunja, rakjat tani perlu bergembira dan bersjukur kepada Tuhan karena akan menerima rachmat-NJA jang berupa hudjan, perlu pula digerakkan agar daya kerdja dan daya tjiptanja berkembang untuk mentjapai produksi jang berlimpah-limpah, sebagai sjarat mutlak mentjapai masjarakat adil dan makmur.”
Yaa, perlu digaris bawahi bahwa kehadiran UUPA setidaknya sedikit memberikan kemerdekaan pada kaum tani pada masa itu. Setidaknya UUPA lahir sebagai kebijakan hukum yang mengarah pada bidang agraria dalam usaha mengurus dan membagi tanah dan sumber daya alam yang terkandung didalamnya untuk kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Setidaknya pula kelahiran UUPA pada masa itu telah merangkul sebagian isi teks UUD 1945 dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Sebagaimana mengutip pidato pengantar Mr Sadjarwo (Menteri Agraria) dalam sidang DPR-GR 12 September 1960, bahwa :
“perjuangan perombakan hukum agraria nasional berjalan erat dengan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk melepaskan diri dari cengkraman, pengaruh dan sisa-sisa penjajahan; khususnya perjuangan rakyat tani untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan sistem feodal atas tanah dan pemerasan kaum modal asing”
Paling tidak UUPA telah hadir untuk menghapus sedikit sistem perampokan atas sumberdaya alam baik alat produksi dan hasil bumi oleh penguasa kolonial yang juga merangkap sebagai pengusaha. Serta merupakan usaha rekonstruksi yang baik atas sistem pertanahan.
Setidaknya pemahaman terhadap sejarah akan memberikan sedikit kesadaran tentang pentingnya suatu kejadian atau peristiwa. Tentunya bagi yang mau belajar dari sejarah. Jangan pernah melupakan sejarah, Lahirnya UUPA yang telah mewujudkan kemerdekaan petani (di masa itu) perlu terus diperjuangkan.
Namun setelah lelah dan jauh menilik sejarah. Hal yang terpenting dan sederhana yang perlu diingat dalam hidup bahwa pertanian adalah sektor penting juga dalam pembangunan. Karena pertanian adalah berbicara soal pangan. Sebagaimana Bung Karno mengatakan bahwa “Pangan adalah soal hidup dan mati”. Karena sejatinya sebagai manusia yang masih hidup harus tentu memperjuangkan sesuatu yang sebenarnya menjadi alasan mengapa dia bisa hidup dan bisa bertahan hidup. Mempertahankan hak-hak petani adalah harga mati.
Tetapi jika Mungkin sulit dan “mulai lelah” pula untuk mengevaluasi lebih jauh tentang support atau unsupport pemerintah kita terhadap pertanian dan kaum tani marilah kita memulai saja dengan hal-hal yang sederhana.
Mencintai lingkungan, bersikap ramah serta santun terhadap tanah dan segala yang ‘ada’ diatasnya, Membeli produk-produk pertanian dari petani-petani nasional dan juga Menghargai makanan yang kita makan sembari berkontemplasi bahwa sesungguhnya “itu ada” atas jerih payah petani.
Selamat hari Tani,
Selamat berjaya petaniku
Diatas semangatmu aku kuat berdiri meskipun sesungguhnya maafkanlah aku jika keberadaanku belum bisa merubah nasibmu apalagi sampai membahagiakanmu.
Pustaka
http://indoprogress.com/2016/09/ibrahim-hari-tani-dan-hkti/ (Harian Indoprogress tanggal 23 september 2016)
Butuh berbagai alat pertanian seperti
BalasHapusarit cangkul dll, hubungi kami