Perempuan Membaca: Manusia Bebas, karangan Suwarsih
Djojopuspito Penerbit Djambatan Cet. I tahun 1975 |
Mengenal Suwarsih, penulis Manusia Bebas
Buiten het Gareel atau Di Luar Jalur atau yang diterjemahkan
menjadi Manusia Bebas adalah Novel
yang dikarang oleh Suwarsih Djojopuspito, seorang perempuan kelahiran Cibatok
Bogor, 20 April 1912. Jika saat ini penulisnya masih diberikan kesempatan hidup
di bumi, tiga hari lalu mungkin keluarga dan sanak saudaranya akan berbondong-bondong
memberikan ucapan: selamat ulang tahun yang ke-80. Sayangnya, Suwarsih berpulang 24 Agustus 1977.
Tetapi
tak mengapa, sampai 2019 ini karya-karyanya akan menjadikan Suwarsih tetap
hidup dalam hati para pembacanya. Bukan hanya Manusia bebas yang ditulis pada tahun 1939 saja tentunya, Adapula: Empat
Serangkai (1954), Riwayat Hidup Nabi Muhammad SAW (1960) dan Hati Wanita
(1964).
Dilansir
dalam historia.id, Suwarsih merupakan istri dari Sugondo Djojopuspito yang
merupakan sekretaris Kongres Pemuda 1928. Keduanya saling membantu dalam
perjuangan kemerdekaan. Teman-teman Suwarsih Djojopuspito, sastrawan HB Jassin
dan sejarawan Sartono Kartodirdjo ikut mendorong Buiten Het Gareel untuk
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dan Inggris.
Memang
pada awalnya Naskah Buiten Het Gareel
ditulis dalam bahasa Sunda dan dikirim ke Penerbit Balai Pustaka namun naskah
ini ditolak karena dianggap bermuatan politik dan kurang berguna juga kurang
berisi pengajaran.
Naskah
tersebut selanjutnya ditulis kembali kedalam bahasa Belanda atas saran Eddy Du Peron,
redaktur Kritiek en Opbouw. Berkat
kegigihannya, walhasil tahun 1940 Buiten Het Gareel terbit dan kembali dicetak
pada 1946.
Cerita
tentang Sulastri dalam Manusia Bebas
Manusia
bebas mengisahkan tentang jaman pergerakan, dimana nasionalisme begitu
mengobarkan semangat bibit-bibit bangsa. Settingan waktu tahun 30-an mengantarkan kisah sepasang suami isteri,
lingkungan perguruan serta permasalahan pelik yang dihadapi kaum pendidik
idealis.
Sudarmo
dan Sulastri merupakan pemeran utama pasangan suami istri yang memilih profesi
sebagai guru di sekolah kaum pergerakan. Pada masa itu, para kaum pergerakan
seperti Sudarmo dan kawan yang lainnya menjadi intaian PID dan Pemerintah Gupernemen.
Pasang
surut dialami dalam penyelenggaraan sekolah tersebut, mulai dari masalah
pendidikan, kehidupan sosial para guru dan kesulitan keuangan. Mungkin tak ada
asap jika tak ada api. Bayangkan saja, para murid di sekolah tersebut merupakan
rakyat jelata: hidup susah terlebih beban uang sekolah menjadi tekanan bagi
orang tua para murid-murid tersebut.
Sulastri
cukup kritis dan memiliki hasrat besar untuk berjuang bersama-sama dengan
suaminya. Sampai pada klimaksnya, Sudarmo menerima onderwijsverbod yang artinya Sudarmo tidak boleh lagi mengajar. Hal
iniliah yang menjadikan nasib Sulastri dan Sudarmo terombang-ambing.
Manusia
Bebas dalam berbagai Pandangan
Skripsi
yang ditulis Syarifah Aliya tahun 2010, mengungkapkan bahwa Novel Manusia Bebas
menggambarkan tentang perjuangan kaum intelektual yang setara dengan bangsa
Belanda untuk mendirikan sekolah partikelir bagi kaum pribumi. Aliya melihat Manusia
Bebas mengandung nasionalisme.
Terlihat jelas perjuangan Sulastri, Sudarmo dan teman-temannya dalam mendirikan
sekolah untuk kaum pribumi yang terus diperhadapkan dengan kesulitan-kesulitan
seperti penyitaan dan penangkapan oleh pemerintah Belanda.
Manusia Bebas Judul Bahasa Belanda Buiten het Gareel |
Manusia
Bebas merupakan dokumen sejarah berharga bagi Arif Sugiharto (2015) karena
Suwarsih mampu mendeskripsikan seorang Inggit Garnasih dari cara pandang
seorang perempuan. Dalam Manusia bebas kita
bisa menemukan tokoh Inggit Garnasih, yang sesungguhnya jarang ditemukan pada
tulisan-tulisan lain, terlebih dari
sudut pandang perempuan.
“Ia mengucapkan perkataan”sayang” itu dengan suara mengelus dan ia memandang Sulastri dari samping. Biarpun sekenes itu, Nampak pada raut mukanya yang halus itu kesan pada seorang ibu, yang penuh kasih sayang. Paras ini masih kelihatan cantik, walaupun Zus karno usianya ssudah agak lanjut. Bentuk wajahnya yang lonjong, rautan halus dari hidung ke dagu dan sanggul yang berisi pada lehernya yang masih kekar dan ramping memberikan kepada dia kesan seorang wanita muda biarpun agak bertentangan dengan dengan garis-garis dan kerut-kerut disana-sini dan pandangan matanya yang agak suram. Badan ramping dan gerak-geriknya yang hidup dari kejauhan memberi kesan, bahwa dia seorang gadis belaka. Ia menggairahkan dalam percakapanya dan caranya ia menghadapi seseorang; seseorang wanita, yang mencari kebahagiaan dalam mnyenangkan orang lain dan apalagi suaminya. Selanjutnya ia bercakap dengan halus penuh irama dengan mengindahkan tekanan pada kata-kata serta gerak tanganyya dalam bahasa sunda yang luwes. Bahasa sundanya ini memberikan kesan pada gerakan seorang penari yang dengan gerak tangan halus melintas pada pandangan mata dan sulastri mendengarkan dengan perasaan kagusm: alangkah luwes dan halus perempuan cantik ini”(p.51)
Goenawan
Muhammad dalam Esainya: Perempuan dalam
Garis yang Lurus begitu mengakui kepiawaian Suwasih Djojopuspito. Goenawan
menjelaskan bahwa tulisan Suwarsih juga berkutat seputar catatan harapan dan
kepedihan perempuan Indonesia yang melawan dan terjepit. Dia bukan Kartini
meskipun pada beberapa referensi mencantumkan kelahirannya tanggal 21 April,
pun adapula yang 20 April. Suwarsih dalam penuturannya lebih kompleks, lebih
intim, lebih terbuka dan dengan latar yang lebih luas jika dibandingkan dengan
surat-surat Habis Gelap Terbitlah Terang.
Goenawan
melihat bahwa Manusia Bebas telah membuktikan bahwa kesusastraan bukanlah
bangunan ide yang mengarah. Kesusastraan adalah imajinasi yang berangkat dari dan di dalam pengalaman antar
manusia.
Pernyataan
tokoh Sulastri di bagian akhir Manusia Bebas mengisyaratkan bahwa ide itu,
betapapun pentingnya tak bisa menenggelamkan hidup sehari-hari yang tak
istimewa meskipun beratri. Nadanya mengusik: “Apakah...pergerakan wanita akan
mengizinkannya kalau aku sekarang membuat kue untuk Rustini?”
Menjadi Manusia Bebas |
Catatan:
Manusia Bebas merupakan salah satu buku favorit penulis. Disini penulis menemukan
perempuan-perempuan hebat. Baik itu Suwarsih dan yang dikisahkannya: Sulastri
menjadi pendorong bagi penulis untuk terus belajar dan belajar. Pemaparan
Aquarini Priyatna, UNPAD dari Youtube Salihara menjadi pemicu untuk
mencari Manusia Bebas. Alhamdulillah, 03 Mei 2015, penulis menemukan buku
aslinya di pasar Buku Palasari Bandung, secara kebetulan.
0 komentar:
Posting Komentar