Hidup adalah sebuah pencarian: kita, harus terus berjalan. Bergerak dan berbahagia, tetaplah membuka hati untuk saling memaafkan.

Pemuda, Bisnis dan Ketahanan Pangan


Sertifikat Lomba Generasi Millenial - Pemuda, Bisnis dan Ketahanan Pangan


Dewasa ini pemuda diperhadapkan dengan berbagai problematika ekonomi, sosial, politik dan budaya sampai pada agama serta etnisitas. Pemuda sebagai pelita harapan bangsa, dituntut memiliki kecakapan apik dalam mengatasi pelbagai permasalahan tersebut. Pemuda pun diharapkan dapat menjadi pemantik pembangunan bangsa. Hardskill dan softskill para pemuda menjadi ujung tombak pembangunan. Mahadaya pemuda ini diyakini dapat menggerakkan pembangunan dari akar-akar sampai pada sendi puncak tertinggi bangsa dan negara. Mengutip kata sakti founding father kita Soekarno “beri aku 10 pemuda, niscahya akan kuguncangkan dunia” cukup sarat makna. Pemuda dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang berarti orang muda laki-laki atau remaja[1] ini dikenal dengan potensi yang masih muda. Semangat muda, kecerdasan muda, idealisme dan daya saing serta cita-cita luhur yang masih muda sejatinya merupakan kekuatan bangsa.

[dokumentasi Pribadi: Centra Farm Chicken Ternate]

 Terlepas dari deskripsi berkoar-koarnya semangat pemuda, kita pun harus jelih melihat realitas sosial yang kini mendera bangsa. Tidak dapat dikibas habis kesemuanya, namun peran pemuda dalam ketahanan pangan menjadi perhatian tersendiri. Cukup menarik, sebagai negara agraris Indonesia pernah tercatat berhasil menembus pasar India dengan gebrakan revolusi hijau. Swasembada beras menjadikan Indonesia sebagai negara eksportir dan berjasa bagi negara-negara tetangganya di Asia Tenggara. Namun kini, ketahanan pangan di negara agraris seperti jauh panggang dari api. Pangan yang mana dalam pengertiannya mencakup segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan, peternakan, perairan dan air yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia[2] seperti hampir berada di ambang pintu ke-rawan-an.

[Ketahanan Pangan] Studi: Kota Ternate, Propinsi Maluku Utara


Sejak kerajaan Majapahit mencapai puncak kejayaannya, pedagang-pedagang Melayu dan Jawa telah tiba di Maluku untuk berniaga. Sejak berkuasanya Kolano Kamalu di Ternate, telah banyak berdatangan pedagang Jawa dan Melayu. Mereka menetap di Ternate, bahkan perempuan Melayu pun dinikahi Kolano Kamalu[3]. Ternate sejak dahulu kala sudah menyandang status sebagai kota dagang. Sampai saat ini, Ternate menjadi salah satu kota dengan penduduk yang cukup padat jika dibandingkan kabupaten lainnya yaitu Tidore Kepulauan, Kabupaten Halmahera Barat, Halmahera Timur, Halmahera Selatan, Halmahera Tengah, Pulau Morotai, Pulau Taliabu dan Kepulauan Sula Propinsi Maluku Utara. Pusat perdagangan, pendidikan dan pemerintahan (sebelum ibukota Maluku Utara pindah ke Sofifi) pun terpusat di kota dengan luas wilayah mencapai 547,736 km2 [4], apalagi kini reklamasi telah membuat kota ini semakin meluas.

Luasan wilayah dan kepadatan penduduk kota Ternate berimplikasi pada peningkatan kebutuhan pangan khususnya pangan berbasis protein hewani. Peningkatan kualitas pendidikan masyarakatnya berpengaruh pada kesadaran akan pangan ASUH (aman, sehat, utuh dan halal). Menjamurnya bisnis kuliner berbahan dasar pangan hewani (daging, telur dan susu) pun menjadi faktor peningkatan permintahan kebutuhan pangan (hewani). Hal ini diperparah jika berbenturan dengan moment hari raya besar keagamaan. Sontak jika kondisi cuaca dan iklim laut tidak bersahabat maka stok pangan berkurang bahkan sampai pada titik kritis “kosong stok” yang juga berdampak semakin merangkak naik harga bahan pangan di pasaran. Wajar saja, stok pangan kota kecil ini lebih dominan dipasok dari kabupaten lain ataupun diimpor dari Pulau Sulawesi (Bitung, Gorontalo dan Manado, Sulawesi Utara) dan Pulau Jawa.

Menjelang hari raya idul fitri misalnya harga daging ayam segar bisa mencapai 50 ribuan per/ekor. Untuk masyarakat kelas menengah harga ini mungkin masih bisa dijangkau namun bagaimana jika kita melihat masyarakat kelas bawah. Lima puluh ribu rupiah merupakan nominal yang sulit untuk didapatkan, tidak mudah. Bergeser dari mahalnya harga daging ayam segar. Ibu-ibu rumah tangga pun sering mengeluh karena ketersediaan bahan pangan hampir punah, stok di pasaran terkadang kosong tak terlihat. Banyak menduga hal tersebut merupakan hal biasa, yang menjadi bagian dari permainan pasar. Tengkulak atau penjual menimbun bahan pangan pada moment tertentu dan kemudian mengeluarkannya ketika permintaan tinggi dan daya beli masyarakat cenderung kuat. Meskipun pemerintah telah melakukan kebijakan dan upaya dalam mengantisipasi kerawanan bahan pangan menjelang hari-hari besar keagaaman, tetap saja permainan pasar ini menjadi hal lumrah di pasaran.


Pemuda dan Bisnis CFC (Centra Farm Chicken)

Bertolak dari sekelumit permasalahan pasar dan kondisi lapangan yang cenderung menjadi biang kerok keamanan pangan. Penulis berinisiasi membuka suatu bisnis yang bergerak dalam budidaya dan pengembangan ayam baik ayam ras maupun buras (ayam kampung). Terhitung 4 Juli 2016 usaha Centra Farm Chicken (CFC) ini dibuka dengan modal seadanya dengan lokasi di Kelurahan Sasa Puncak Kota Ternate Selatan Propinsi Maluku Utara.

[dokumentasi Pribadi: Lokasi sekitar kandang CFC Ternate)

Jika harus buka-bukaan pergerakan dalam dunia agriculture (peternakan) cukup mencekik leher, modal yang dibutuhkan dalam pengembangan cukup besar. Belum lagi mahalnya pakan komersil dan bibit yang harus diimpor dari kota Makassar atau Manado. Tetapi sebagai pemuda yang memiliki semangat tinggi untuk membantu ketahanan pangan kotanya sendiri menjadikan hal tersebut sebagai motivasi untuk terus bekerja maksimal dan produktif. Harga DOC (day old chicken) sebutan ayam umur sehari dari pabrikan mencapai 8000 rupiah, pakan komersil per/kg nya yang mencapai 10 ribu rupiah, belum lagi obat-obatan dan biaya maintanece kandang. Pemeliharaan ayam ras ini cukup singkat (28 sampai 30 hari) tetapi modal yang dibutuhkan tidaklah murah. Meskipun demikian kebahagian selalu datang menutupi kekurangan. Sebagai pemuda, penulis pun cukup berbahagia bisa ikut andil dalam menjaga ketahanan pangan kota.

   Tak hanya sekadar membuka bisnis dengan alih-alih meraup untung besar semata, penulis pun berinisiasi menjadikan CFC Ternate sebagai sentra riset untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kedepannya dapat membantu menjaga keamanan pangan kota. Dalam waktu dekat ini misalnya, penulis ingin meng-eksplore kebermanfaatan daun-daun leguminosa khususnya kelor sebagai bahan pakan yang dapat ditambahkan kedalam pakan komersil, tujuannya sederhana untuk menekan biaya pakan yang teramat mencekik.

Bukan tanpa alasan di tahun 2012 penulis pernah melakukan riset dengan tiga daun leguminosa diantaranya, lamtoro (Leuchaena leucocephala), kelor (Moringa oleifera) dan gamal (Gliricida sepium) sebagai tambahan pakan ternak ayam ras atau broiler. Hasilnya penambahan 5% tepung daun kelor memberikan pengaruh nyata terhadap produktivitas atau pertumbuhan ayam broiler[5]. Kini, nostalgia riset akan diulang kembali dengan mencoba-coba memberikan penambahan 6% hingga 7% tepung daun kelor kedalam pakan ayam ras atau broiler. Diharapkan penambahan tepung daun tersebut dapat memberikan pengaruh positif pada pertumbuhan ayam sehingga kedepannya hasil riset ini dapat diimplementasikan ke ruang bisnis CFC Ternate.
[sumber]


Ini yang menjadi impian penulis, ingin menghadirkan bisnis yang lagi nge-hits (sesuai dengan problem) namun pun meramunya menjadi sentra pengembangan IPTEK sebagai solusi ketahanan bangsa. Penulis berharap semoga Centra Farm Chicken ini tidak sekadar bisnis yang sifatnya hanya meraih profit (keuntungan) semata tapi juga dapat memberikan benefit-benefit (kebermanfaatan) untuk khalayak banyak. Semoga CFC bisa menjadi solusi ketahanan pangan kota dan dapat ikut andil dalam pembangunan bangsa khususnya di sektor pertanian.


Penutup

Di akhir pembahasan, mungkin kita bisa merujuk pada Rhenald Khasali dalam Syarif As’ad bahwa bangsa yang hebat adalah a driver nation[6]. Jumlah penduduk yang besar tidak menjadi indikator besarnya sebuah bangsa melainkan pemahaman “berdikari” atau sikap mandiri dan kemampuan menjadi inspirasi masyarakat dan ikut andil “menjadi solusi bangsa” adalah pilihan yang tepat untuk pemuda.  Ataupun meminjam konsepnya Syarif As’ad yang mana pemuda Indonesia harus melakukan tiga hal, (1) drive your self, atau kemampuan men-drive dirinya sendiri (2) drive your people, atau kemampuan men-drive orang lain dan (3) drive your nation yaitu kemampuan men-drive bangsa. Semoga kita tergolong pemuda petarung yang dapat hadir sebagai solusi (penyelamat) di tengah-tengah problematika masyarakat yang semakin hari kian carut marut. Marilah bergerak generasi muda Indonesia. Bergerak, berbahagia!
[sumber]

Daftar Pustaka

  1. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) [ http://kbbi.web.id/ ]
  2. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan (diunduh: https://luk.staff.ugm.ac.id/atur/UU18-2012Pangan.pdf)
  3. M. Adnan Amal. 2010. Kepulauan Rempah-Rempah [Perjalanan Sejarah Maluku Utara 1250 – 1950]. KPG. Jakarta.
  4. [Badan Pusat Statistik] BPS. Ternate dalam Angka tahun 2013. BPS Maluku Utara. (diunduh: http://bappeda.kota-ternate.go.id/kota-ternate-dalam-angka/#)
  5. Sulasmi. 2013. Pengaruh Pemberian Tepung Daun Leguminosa terhadap PBB, Konsumsi dan Konveris Ransum Ayam Broiler. Universitas Khairun-Maluku Utara. (bisa dilihat: http://kumpulantugas466.blogspot.co.id/2013/)
  6. Syarif As’ad. Pemuda dan Tantangan Pengembangan Kepemimpinan (diunduh: http://repository.umy.ac.id/ )
Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Esai Generasi Milenial - Tema Tantangan dan Peluang Pemuda Abad 21 Mewakili Lembaga Mitra Peternakan - Indonesia Maluku Utara

#Edconex Essay Competition 2017
#LombaMenulis #Esai #Generasi Milineal




0 komentar:

Posting Komentar