Hidup adalah sebuah pencarian: kita, harus terus berjalan. Bergerak dan berbahagia, tetaplah membuka hati untuk saling memaafkan.

Bangun Daerah 3T lewat Potensi Lokal untuk Masyarakat Berkelanjutan

Peta Sebaran daerah Tertinggal di Indonesia

Mengenali Daerah 3T

Dari Sabang sampai Merauke, Berjajar pulau-pulau. Penggalan lirik lagu ini mendeskripsikan Indonesia sebagai archipelago state terdiri dari ribuan gugus pulau yang terbentang dari sabang sampai merauke. 

Sejak tahun 1945 atau genap 73 tahun merdeka tidak serta merta membuat semua gugus pulau di Indonesia lantas menjadi sejahtera. Buktinya masih banyak wilayah di Indonesia yang belum merasakan nikmatnya penerangan, pendidikan yang layak hingga kemajuan ilmu pengetahuan teknologi.

Tahun 2015 pemerintah menetapkan daerah 3T atau daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 131/2015 tentang Penetapan Daerah Tertinggal Tahun 2015 – 2019. Dijelaskan bahwa daerah tertinggal merupakan daerah kabupaten yang wilayah serta masyarakatnya kurang berkembang dibandingkan dengan daerah lain.

Adapun penetapan daerah 3T  dilihat berdasarkan beberapa aspek diantaranya: perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, sarana dan prasarana, kemampuan keuangan daerah, aksesibilitas dan karakteristik daerah.

Dalam Perpres No. 131/2015 terdapat 23 propinsi yang didalamnya mencakup 122 kabupaten yang masuk dalam daftar daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal.

Tabel wilayah 3T berdasarkan Perpres No. 131/2015:

Propinsi
Kabupaten
Aceh, Singkil
Nias, Nias Selatan, Nias Utara, Nias Barat
Mentawai, Solok Selatan, Pasaman Barat
Musi Rawas, Musi Rawas Utara
Seluma
Lampung Barat, Pesisir Barat
Bondowoso, Situbondo, Bangkalan, Sampang
Pandeglang, Lebak
Lombok Barat, Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu, Bima, Sumbawa Barat, Lombok Utara
Sumba Barat, Sumba Timur, Kupang,
Timor Tengah Selatan, Timor Tengah Utara
Belu, Alor, Lembata, Ende, Manggarai,
Rote Ndao, Manggarai Barat, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya, Nagekeo
Manggarai Timur, Sabu Raijua, Malaka
Sambas, Bengkayang, Landak, Ketapang
Sintang, Kapuas Hulu, Melawi, Kayong Utara
Seruyan
Hulu Sungai Utara
Nunukan, Mahakam Ulu
Banggai Kepulauan, Donggala, Toli-toli
Buol, Parigi Moutong, Tojo Una-Una
Sigi, Banggai Laut, Morowali Utara
Janeponto
Konawe, Bombana, Konawe Kepulauan
Boalemo, Pohuwato, Gorontalo Utara
Polewali Mandar, Mamuju Tengah
Maluku Tenggara Barat, Maluku Tengah
Buru, Kepulauan Aru, Seram Bagian Barat
Seram Bagian Timur, Seram Bagian Timur
Maluku Barat Daya, Buru Selatan
Halmahera Barat, Kepulauan Sula,
Halmahera Selatan, Halmahera Timur,
Pulau Morotai, Pulau Taliabu
Teluk Wondama, Teluk Bintuni, Sorong Selatan, Sorong, Raja Ampat, Tembrauw, Maybrat
Merauke, Jayawijaya, Nabire, Kepulauan Yapen, Biak Numfor, Paniai, Puncak Jaya, Boven Digoel, Mappi, Asmat, Yahukimo
Pegunungan Bintang, Tolikara, Sarmi, Keerom, Waropen, Supiori, Memberamo Raya, Ndunga, Lanny Jaya, Memberamo tengah, Yalimo, Dogiyai, Intan jaya, Deiyai

Membangun Daerah 3T Lewat Potensi Lokal

Setelah penetapannya tahun 2015, pemerintah cukup bergeliat membangun daerah 3T. Komitmen tersebut juga tertuang dalam nawacita pemerintah yang telah direalisasikan dalam bentuk kerja konkrit selama 2015 hingga 2019.

Laporan Empat tahun pemerintahan Jokowi-JK mendeskripsikan bahwa telah ada kemajuan di wilayah 3T. Hal ini diperkuat dengan kucuran dana desa. 

Dalam catatan pembangunan infrastruktur terlihat bahwa pemerintah telah membangun: (1) infrastruktur konektivitas berupa jalan dan jembatan, kereta api, bandara udara dan pelabuhan; (2) infrastruktur pendukung ketahanan pangan yaitu pembangunan bendungan dan embung serta (3) pembangunan infrastruktur telekomunikasi (Lihat: 4 Tahun Jokowi JK Catatan pembangunan Infrastruktur)



Pembangunan yang telah dicapai bukanlah sesuatu yang final. Pembangunan daerah 3T perlu digalakkan dengan pendekatan pemanfaatan potensi lokal. Mengapa demikian? Karena masyarakat yang berada di wilayah 3T secara turun temurun telah bergelut dengan potensi lokal yang ada. Pengetahuan untuk mengelola dan memanfaatkan potensi lokal ini diharapkan dapat membantu meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. 

Yang menjadi permasalahan dasar daerah 3T adalah tingkat ketersediaan infrastruktur sarana dan prasarana dasar publik. Jika pemerintah sudah dapat menyediakannya maka langkah selanjutnya adalah pemanfaatan atau pengelolaan sumber daya lokal untuk pengembangan perekonomian daerah tertinggal.

Misalkan jika di salah satu daerah 3T tersebut memiliki potensi kelapa maka itulah yang harus dikembangkan dengan cara introduksi teknologi dan  pengetahuan serta inovasi untuk memperbaiki kelemahan yang ada pada fase sebelumnya. Begitupun pengembangan pada sektor pariwisata, kemaritiman dan lainnya harus tetap mempertimbangkan potensi lokal dan kecakapan masyarakat setempat sebagai leader atau pengelola.

Pengabaian terhadap potensi lokal yang dimiliki oleh masing-masing wilayah 3T seperti mempersulit masyarakat setempat untuk meraih kesejahteraan. Sehingga pemetaan potensi lokal Daerah 3T menjadi kunci utama sebelum mengambil kebijakan dalam pembangunan lebih lanjut. Kemudian selanjutnya adalah mengeratkan simpul sinergitas berupa penguatan koordinasi dan sinkronisasi dalam rangka pelaksanaan kebijakan percepatan pembangunan daerah tertinggal. 

Hal ini diperkuat oleh Soetomo (2014) bahwa terdapat tiga hal yang dapat dilakukan untuk menjembatani antara potensi, sumberdaya dan peluang di satu pihak dengan kebutuhan masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan di lain pihak, diantaranya (1)  identifikasi kebutuhan masyarakat; (2) identifikasi potensi sumberdaya dan peluang dan (3) proses dan upaya untuk mencari cara yang lebih menguntungkan dalam memanfaatkan potensi dan sumberdaya yang ada. 

Bersama Korindo, Wujudkan Masyarakat yang Berkelanjutan?

Korindo atau Grup KORINDO  merupakan grup perusahaan lokal dengan tim manajemen multinasional, didirikan pada tahun 1969. Sebagai pemimpin di berbagai industri di pasar Asia Tenggara, Grup KORINDO mengkompromikan lebih dari 30 perusahaan terafiliasi yang bergerak dalam bisnis sumber daya alam, pabrik kertas, industri berat, pembiayaan, real estat, bahan kimia, dan logistik.

Bagaimana Korindo dapat mewujudkan masyarajat yang berkelanjutan?



Pengeratan simpul sinergitas sebagaimana disebutkan diatas perlu ditingkatkan sebagai solusi yaitu dengan menghubungkan peran pemerintah, swasta, perbankan, akademisi dan masyarakat. Semua stakeholder perlu duduk satu meja untuk merumuskan strategi pembangunan daerah 3T lewat potensi lokal untuk mewujudkan masyarakat berkelanjutan. 

Masyarakat berkelanjutan berkaitan dengan kaidah lama dan kaidah baru dalam Ernest Callenbach, "Kaidah" Ekologis Masyarakat Berkelanjutan. Konsep ini harus menjadi pijakan dalam membangun daerah 3T kedepan. 

Ernest Callenbach memberikan ilustrasi terhadap kaidah lama dan baru. Kaidah lama: pada masa kemakmuran, tahun 1960-an hingga 1970-an, disusunlah sebuah etika mengenai pemborosan. Sebagai contoh, orang semakin memikirkan hidup dari sudut pandang ekonomi semata dan merasa bahwa membeli kertas tisu dan membuangnya kedalam tempat sampah lebih murah dan lebih mudah untuk dilakukan daripada menggunakan sapu tangan dari kain yang dapat dicuci dan digunakan lagi (Ternyata mereka keliru dalam hal biaya). 

Sementara Kaidah baru: karena dalam kenyataannya tidak ada yang "dibuang", yang membuat sesuatu bisa dibuang di bumi ini, kita harus belajar berpikir sesuai siklus, meniru proses yang dijalani alam itu sendiri. Seluruh "limbah" dan bahan-bahan lain termasuk aspal atau beton juga gelas, plastik dan metal harus didaur ulang. 

Selain itu, energi yang digunakan untuk mendaur ulang harus diminimalisasi. Rencana "penghapusan emisi atau gas buangan," limbah dari setiap industri harus menjadi bahan mentah untuk keperluan lainnya. Karena itu, kaidah baru berbunyi: jangan boros; berhasil mendaur ulang seratus persen. 

Pendekatan kaidah baru lebih menekankan pada manajamen zero waste atau pengelolaan dengan nol sampah. Artinya semua limbah yang dihasilkan dari proses produksi dalam pembangunan harus bisa didaur ulang. Setiap derap langkah dalam proses pembangunan dituntut untuk berwawasan ekologis. 

Pembangunan yang diperankan oleh pihak swasta seperti Korindo yang merupakan salah satu perusahaan yang mengembangkan beberapa daerah 3T pun dituntut untuk menerapkan konsep wawasan ekologis guna mewujudkan masyarakat yang berkelanjutan. 

Visi Korindo yaitu membangun hubungan yang harmonis antara kegiatan bisnis perusahaan dengan publik serta pemangku kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat. Dan misinya yaitu (1) secara aktif meningkatkan meningkatkan kualitas hidup melalui program pembangunan sosial yang sistematis dan berkelanjutan, (2) Membangun kesadaran, pengetahuan dan kapasitas, serta mendorong partisipasi masyarakat setempat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan hidup mereka dan (3) Mendorong sinergi dalam bentuk koordinasi, integrasi serta (4) Kolaborasi program pembangunan sosial dengan berbagai pemangku kepentingan.



Sebagai salah satu perusahaan yang geliat dalam pembangunan khususnya pembangunan di wilayah 3T diharapkan konsistensi dan komitmennya untuk tetap mewujudkan pembangunan yang berasas pada pengembangan masyarakat berkelanjutan sebagaimana taglinenya green tommorow. Sinergitas semua stakeholder terutama pelaku usaha menjadi kunci untuk dapat memberikan ruang kesejahteraan bagi masyarakat di daerah Terdepan, Terluar dan tertinggal sehingga dapat membawa #Perubahan Untuk Indonesia Yang Lebih Baik. Sehingga kebahagiaan dapat dirasakan oleh masyarakat di sepanjang-jajaran pulau-pulau di Indonesia.

Tulisan diikutsertakan pada Lomba Blog Korindo: 




0 komentar:

Posting Komentar