Hidup adalah sebuah pencarian: kita, harus terus berjalan. Bergerak dan berbahagia, tetaplah membuka hati untuk saling memaafkan.

Dari FORDISTA dan JAKOFI: Membaca Borero, Mengenang M. Adnan Amal

Borero, Tulisan-tulisan yang tercecer: Karya M.Adnan Amal




Borero, to sonyinga ine fira| Kie gudu, gosa badan ma singsara| Gate ifa la to sone bato | biar to sone to sonyinga borero|



Penggalan lagu diatas mungkin tak asing lagi bagi sebagian masyarakat Maluku Utara. Lagu daerah yang berjudul Borero ini sudah kita kenali semenjak Sekolah Dasar, tepatnya pada mata pelajaran muatan lokal. Seingat saya, kami (murid, red) diwajibkan menghafal beberapa lagu daerah, salah satunya Borero sebagai prasyarat lulusnya mata pelajaran Mulok (muatan lokal/kesenian). Mau tak mau kami (harus) mempelajarinya. Bahkan sampai SMP dan SMA, menyanyikan lagu daerah adalah sebuah kewajiban jika ingin lulus Ujian Sekolah. Namun sangat disayangkan, pada waktu itu kami hanya sibuk mencatatkan kembali lirik lagunya yang telah dituliskan guru di papan tulis kapur tanpa menanyakan siapa pengarangnya.

Dan jujur, baru sabtu sore kemarin (6/10/18) saya mengetahui bahwa pencipta lagu Borero adalah Drs. Abdul Karim Syafar. Nama pencipta lagu Borero dengan sapaan Engku Doel ini saya ketahui langsung dari Taufik Adnan Amal pada acara Memorial Lecture, Mengenang Adnan Amal dan Karyanya yang digelar FORDISTA (Forum Diskusi Insan Cita) dan Jakofi (Janglaha Kofi). Bersamaan dengan ini diperkenalkan juga buku dengan judul Borero.

Almarhum M. Adnan Amal, suami dari Ny. Ida Djafaar ini telah menuliskan karya-karya termahsyur: Kepulauan Rempah-rempah (KPG, 2010), Tahun-tahun yang menentukan (2008), Cerita Rakyat Halmahera (2013), Orang Galela: Alam Pikiran Tradisi dan Budaya (2013), Sejarah Maluku Utara (2 Jilid 2003-2004), Kehadiran Spanyol dan Portugis di Maluku (2010). Pada acara Memorial Lecture ini, disuguhkan satu buah buku berjudul Borero (Tulisan-tulisan yang tercecer). Borero menjadi persembahan termanis yang dapat kami cicipi setahun setelah wafatnya Almarhum, Al-Fatihah.

FORDISTA dan Jakofi berinisiasi menggelar Memorial Lecture ini karena M. Adnan Amal merupakan tokoh besar Maluku Utara yang telah memberikan karya bagi kemajuan literasi daerah. Rahmi Husen, salah satu pendiri FORDISTA dalam pembukaan di teras Jakofi sabtu kemarin menuturkan bahwa Memorial Lecture diselenggarakan untuk mengenang M. Adnan Amal yang telah memberikan banyak sumbangsih karya bagi Maluku Utara. Tradisi ini pun dianggap penting sebagai pembelajaran bagi generasi muda.

Almarhum M. Adnan Amal, Bapak dari Taufik Adnan Amal, Chairunnisa Amal, Anastasia Raihana Amal, Marjorie S. Amal, Wardah Amelia Amal, Nukila Amal dan Miagina Amal ini lahir tanggal 03 Januari 1930 di Galela, Halmahera Utara dan menghembuskan napas terakhir di Ternate, 04 Oktober 2017. Setahun sudah kepergian Almarhum namun rasanya jiwa dan pemikirannya tetap hidup di seantero semesta. Almarhum mengawali karir sebagai Hakim di beberapa Pengadilan Tinggi di beberapa kota seperti Ambon, Manado, Bandung, Palu hingga balik lagi ke Makassar. Sarjana Hukum lulusan UNPAD Bandung mengakhiri karirnya sebagai Ketua Pengadilan Tinggi Maluku dan memilih aktif sebagai Dosen luar biasa Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata di Universitas Khairun Ternate sampai tahun 2017.

Membaca Borero, Tulisan-Tulisan Yang Tercecer

Borero, tulisan-tulisan yang tercecer (2018) merupakan kumpulan tulisan almarhum M. Adnan Amal. Buku yang direvisi secara tematis ini didalamnya terdapat delapan bagian, diantaranya: Moloku Kie Raha, Maluku Utara, Ternate, Galela, Bangunan Bersejarah, Hukum, Tokoh, Pengantar dan Tinjauan Buku.

Beberapa judul yang sempat penulis baca diantaranya yaitu pada sub bahasan tentang Tokoh. M. Adnan Amal memotret sosok Chasan Boesoirie sebagai single fighter. Sosok kelahiran Semarang 13 Agustus 1910 disematkan menjadi nama Rumah Sakit Umum Daerah di Maluku Utara saat ini, RSUD Chasan Boesoirie. Memiiki profesi sebagai seorang dokter namun CB sapaannya juga aktif dalam berbagai kegiatan politik dan sosial. Dalam catatan perjalanannya Chasan Boesoirie merupakan salah satu pendiri partai politik pro-Republik “Persatuan Indonesia” dan surat kabar Menara Merdeka yang merupakan corong RI di Indonesia Timur. Kerja keras CB dan teman-temannya pada masa itu telah menjadikan Maluku Utara sebagai daerah Republiken pertama di Indonesia Timur.

Tuan adalah seorang militer, saya seorang dokter. Tuan harus membunuh banyak musuh sedangkan saya harus menyelamatkan banyak jiwa”, sekilas pernyataan CB saat diinterogasi kalangan militer NICA di Morotai. Pernyataan ini sekaligus menyiratkan betapa bertanggungjawab CB terhadap masyarakat pun juga kecintaannya terhadap profesi dokter.  Kepekaannya terhadap lingkungan pun mendorongnya untuk mendirikan cabang kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Kemudian selanjutnya bergegas bersama para remaja mendirikan cabang organisasi Muhammadiyah beserta Madrasahnya.

Sub Bahasan tentang Moloku Kie Raha merupakan bagian yang paling menarik, terdapat beberapa tulisan yang telah penulis cicipi terkait: Kapan Agama Islam Masuk ke Maluku Utara, Masyarakat Tionghoa di Maluku Utara dan Sejarah Pendidikan Maluku Utara.

Kepulauan Maluku dikenal dunia pada zama Dinasti Tang (618-906). Kawasan yang disebut dengan Mi-Li-Ki atau Mi-Li-Ku merupakan gugus pulau-pulau penghasil cengkih dunia, yaitu Ternate, Tidore, Moti, Makian dan Bacan. Ini termuatkan dalam tambo Dinasti yang menyatakan bahwa terdapat sebuah kawasan yang terletak di kawasan barat daya sebagai penentu arah Ho-Ling. Orang-orang Tionghoa bertandang ke Maluku untuk berdagang rempah-rempah: cengkih ke wilayah India, Srilangka hingga ke pantai Timur Afrika. Namun dikarenakan harga cengkih yang cukup mahal. Pada abad ke-16, satu pon cengkih di Ternate bisa melambung hingga 32 ribu persen jika dijual ke Eropa. Hal ini juga membuat orang-orang Tionghoa tidak menyebarluaskan keberadaan wilayah rempah-rempah ini. Namun pada abad ke 13, para pedagang Jawa, Melayu, Arab dan Gujarat mulai mengetahui daerah rempah-rempah ini hingga berakhir pada 1607 dimana VOC hadir dan mulai memonopoli rempah-rempah di Maluku. Meskipun demikian orang-orang Tionghoa turut memberikan kontribusi berupa pembauran di bidang bahasa yaitu penggunaan sapaan ci untuk kakak perempuan dan ko untuk saudara laki-laki yang lebih tua.

Di bidang bahasa, kata-kata engkong untuk kakek, ko untuk saudara laki-laki yang lebih tua dan ci untuk kakak perempuan, sudah menjadi istilah khas Ternate khas pembauran.

Sejarah Pendidikan di Maluku Utara, dimulai dengan didirikannya sebuah sekolah seminari dengan pengantar bahasa portugis oleh Galvao, Gubernur ke-7 yang ditempatkan Spayol dan Portugis di Ternate. Sekolah ini sejenis dengan sekolah yang didirikan kerjaan Sriwijaya pada zaman Hindu di Palembang. Masa jabatan Galvao bermula dari tahun 1537 sampai 1540 dan dinyatakan telah memberikan kesejahteraan bagi rakyat Ternate baik di bidang pendidikan, ekonomi, pemerintahan dan sosial budaya.

Pada tahun 1602, VOC diinstruksikan Perlemen Belanda  untuk mendirikan sekolah dengan menggunakan bahasa Belanda sebagai pengantarnya disamping menyebarluaskan agama Kristen Protestan. Sekolah berada di kawasan pemukiman Belanda, Willemstad. Sekolah ini mengajarkan cara berhitung, baca tulis, bahasa Belanda pada 12 murid pribumi dan anak-anak pegawai VOC.

Sampai pada tahun 1695 kondisi pendidikan Maluku Utara masih sangat terbatas. Di Ternate, jumlah sekolah dan guru masing-masing adalah dua buah; lima orang dengan jumlah murid sebanyak 54 orang. Sementara di Makian dan Bacan jumlah sekolah masing-masing hanya satu sekolah dengan guru masing-masing satu orang. Sedangkan murid hanya berjumlah 12 orang di masing-masing sekolah. Pada masa pemerintahan Belanda didirikannya HIS untuk anak-anak pribumi dan sebuah ELS untuk anak bangsawan dan anak-anak orang Belanda. HIS berlokasi di Kenari Tinggi sedangkan ELS di jalan Chasan Boesoeirie. Saat pendudukan Jepang, sekolah ini dilikuidasi dan bekas murid HIS dan ELS ditampung di Sekolah Rakyat (volkschool).

Selanjutnya sekolah UZT (Utrechste Zending Vereniging) beroperasi di Galela, sekolah ini berjumlah dua buah dan masing-masing satu buah di wilayah perkampungan Kristen di Tobelo, Loloda, Jailolo, Kao, Sao dan Buli. Untuk menyuplai guru yang kompeten didirikanlah sekolah guru di Tobelo. Pada masa Neterland Indie selanjutnya didirikan SR di setiap kecamatan meskipun hanya sampai kelas 3. Kemudian dibuat lagi  sekolah lanjutan dengan lama pendidikan tiga tahunan untuk kelas 4, 5 dan 6 di Ternate dan Tidore dengan nama Vervolg school (VS). Lanjutan VS adalah MULO (Middlebar school) setara dengan SMP saat ini yang pada masa itu hanya terdapat di kota Ambon dan Manado. Setelah perang dunia ke-2 usai barulah dibuat Algemene Middlebar School (AMS) yang setara dengan SMA, terdapat di Ambon.

Pada masa pergerakan, di Ternate didirikanlah beberapa sekolah. Tokoh-tokoh pergerakan seperti M.S Djahir dan Suryadi mendirikan Taman Siswa. Sedangkan pada tahun 1936 Al- Ahmad Syechan Bachmid membangun Islamiyah School, sekolah dasar dengan pengantar bahasa Indonesia. Pergerakan Muhammadiyah juga mendirikan sekolah-sekolah agama masing-masing di Galela, Tobelo, Ternate dan Weda. Ustad Bahsoan juga mendirikan Madrasah dengan pengantar bahasa Indonesia dan Pendidikan Islam di Sanana. Selanjutnya Sekolah Guru (SGB) dan sebuah sekolah lanjutan tingkat SMA dan SMP dibangun Pemerintah RI pada dekade 1950-an.

Pendirian Universitas Khairun menjadi klimaks penceritaan tentang Sejarah Pendidikan di Maluku Utara oleh M. Adnan Amal. Unkhair di Ternate menjadi satu-satunya perguruan tinggi swasta yang lahir di Indonesia bagian timur. Adapun tujuan didirikannya Unkhair adalah untuk mencetak para sarjana dan memback-up perjuangan Maluku Utara dalam memperoleh status propinsi.

Begitu sekiranya potret tentang Chasan Boesoirie, seorang Dokter Pejuang. Dan juga penceritaan tentang Warga Tionghoa di Ternate yang telah memberikan representasi kekayaan dan kejayaan bumi Moloku Kie Raha. Negeri penghasil rempah-rempah yang menjadi primadona bagi bangsa penjajah. Begitupun sajian pohon masa lalu yang pada ranting-rantingnya bisa ditemukan dengan jelas darimana pendidikan di Maluku Utara bermula. Sungguh penuturan yang dikemas begitu mendalam oleh sosok M. Adnan Amal menghentakkan kita pada heroisme masa silam. Tanpa mengenal batasan-batasan para pejuang mampu berdiri kokoh di garda depan untuk memajukan daerah bahkan bangsa dan negara tercinta.

Memorial Lecture sebuah Apresiasi Karya

Apresiasi terhadap M. Adnan Amal dimulai dengan penyampaian Dr. Syaiful Bahri Ruray. Generasi milenial tidak memiliki rujukan apa-apa tentang kesejarahan seperti tentang Borero, Cala Ibi, Naro Oti sehingga karya-karya Almarhum M. Adnan Amal patut diapresiasi. Sekapur sirih yang dituliskan Dr. Syaiful Bahri Ruray dalam Borero bahwasanya Almarhum M. Adnan Amal merupakan Sosok Aksetis Pencipta Ilmu. M. Adnan Amal dalam berbagai karyanya, seakan memberi jalan pulang sekaligus perspektif futuristik bagi kita generasi masa kini agar membangkitkan kesadaran sosiokultural.

Hal terpenting yang diwariskan oleh M. Adnan Amal adalah spirit akademis. Dijelaskan oleh beliau bahwa “Spirit Akademis oleh M. Adnan Amal menjadi warisan mutiara yang sangat berarti untuk Maluku Utara ke depan”.Karya-karya M. Adnan Amal menjadi representasi dari spirit yang dimaksud. Ketika berada di Jakarta beliau pun hanya menghabiskan waktu di Perpustakaan Nasional. “Salemba menjadi tempat nongkrong almarhum ketika berada di Jakarta”, tutur anggota DPR RI ini. Bahkan dari Perpusnas beliau menemukan informasi terkait naskah tentang Maluku Utara yang telah berbentuk microfilm, mengingat naskah aslinya sudah tidak dapat disentuh karena telah uzur.

Beberapa catatan penting dunia, banyak yang mengutip Maha Karya M. Adnan Amal, Kepulauan Rempah-rempah. Selanjutnya ditegaskan bahwa kehadiran Borero, Tulisan-tulisan yang Tercecer akan menjadi pesan bagi kita generasi muda untuk tidak melupakan sejarah. Sebagaimana Borero adalah pesan atau komitmen, maka orang yang melanggar borero adalah orang yang melupakan komitmen kebangsaan atau kesejarahan. Demikian tutupnya.

Sementara Sultan Tidore menuturkan bahwa sosok M. Adnan Amal telah menuntun generasi masa kini bergerak ke masa lalu serta telah menguatkan identitas masyarakat Maluku Utara.

“Om Nan menuntun saya ke masa lalu. Tidak banyak orang di Maluku Utara yang bisa menuntun kita untuk bertemu dengan para leluhur kita. Om Nan telah mempertegas jati diri saya, sehingga saya tidak malu menjadi atau meyakini telah menjadi orang Tidore, Ternate, Moti dan lain sebagainya”


Sebagai ungkapan rasa syukur  dan terima kasih Jou Sultan memandu semua yang hadir di beranda Jakofi yang bersebelahan dengan Jakofi printing sore itu untuk membaca surat Al-Fatihah.

Apresiasi karya juga diberikan oleh Dr. Kasman Hi. Ahmad. Menurut mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Maluku Utara ini ada dua hal yang tidak dapat dilupakan dari Almarhum M. Adnan Amal, yakni: pergerakan kemuhammadiyaan di Maluku Utara dan tradisi akademiknya. M. Adnan Amal merupakan pimpinan Muhammadiyah pertama. Pada tahun 1924 beliau mengumpulkan pemuka-pemuka adat membentuk acara formal dan membahas tentang kemuhammadiyaan.

Sementara tradisi akademik/intelektual yang diwariskan oleh generasi muda saat ini sepatutnya digunakan di setiap kampus. Sudah banyak karya yang dilahirkan dari tangan beliau. Membaca, mengumpulkan referensi dan menulis adalah tradisi yang tak terlepas dari kehidupan M. Adnan Amal. Bahkan sampai menjelang tutup usia, masih tetap menulis.

Dr. Kasman Hi Ahmad juga menyampaikan asa untuk membangun Adnan Amal Institut sebagai bentuk pemeliharaan terhadap pemikiran-pemikiran Almarhum M. Adnan Amal. Beliau pun melanjutkan ingin membuat perpustakaan dengan salah satu sudutnya berisi buku-buku almarhum M. Adnan Amal. Mengingat sebelum berpulang, buku-buku milik Almarhum dititipkan kepada beliau.

Dr. Muamil Sun’an mengungkapkan bahwa almarhum adalah sosok yang tenang dan tidak banyak bicara. Bahkan jika berkunjung ke rumah, Almarhum hanya berbicara seperlunya saja. Almarhum lebih menghargai nilai-nilai intelektual, ungkap cucu M. Adnan Amal ini. Pendidikan adalah hal yang harus diutamakan di dalam keluarga. Sikap yang ditunjukkan M. Adnan Amal semasa hidup menjadi pembelajaran bagi keluarga.

Meskipun tidak dinasehati secara langsung kami bisa membaca apa yang diinginkan beliau. Hal ini terkait bagaimana memposisikan diri dan bercita-cita. Pengajaran beliau tanpa nasihat, tanpa kata-kata. Almarhum mengajarkan kami agar menjadi orang terbaik dan menjadi panutan masyarakat serta terus meningkatkan tradisi literasi
, tutup dosen Fakultas Ekonomi Unkhair ini.

Di penghujung Memorial Lecturer apresiasi karya diberikan oleh Dr. Darsies Huma, yang tak lain adalah mahasiswa Almarhum di Fakultas Hukum Universitas Khairun. M. Adnan Amal adalah sosok yang tenang dan bersahaja, arif dan bijaksana. Sebagai dosen, almarhum termasuk pribadi yang sangat bertanggung jawab terhadap mahasiswanya. Almarhum M. Adnan Amal ingin agar mahasiswanya tuntas dalam menyerap ilmu.

Almarhum mengajar Hukum Acara Perdata dan Bahasa Belanda. Referensi yang digunakan di saat mengajar pun berkelas. Sebagai mahasiswa, banyak teladan yang bisa diambil dari beliau, Ungkap Dr. Darsies Huma. Beliau pun menceritakan ketika Almarhum mengajar tentang materi waris, ada pesan yang sempat disampaikan yaitu menjadikan ilmu sebagai nomor wahid.

Kita kalau meninggal sebaiknya membekali anak-anak dengan ilmu saja, jika harta maka dikhawatirkan akan menjadi sengketa, pesan Almarhum kepada mahasiswa saat itu.

Meskipun Almarhum merupakan tipe serius, tetapi masih memiliki jiwa humoris. Hal ini terbukti pada saat mengajar, almarhum masih menyempatkan memberikan analogi sederhana, studi kasus sesuai dengan kondisi keseharian dan menyelipkan hal-hal lucu sehingga serta-merta mengundang tawa mahasiswa-mahasiswanya. Sekarang Dr. Darsies menyadari bahwa penyederhanaan dan unsur humoris yang diselipkan almarhum saat mengajar tak lain adalah untuk melekatkan materi dalam ingatan.

Teori-teori hukum yang cukup sulit mampu disederhanakan oleh beliau. Konsep yang sulit menjadi mudah. aku Dr. Darsies.

M. Adnan Amal membentuk Keluarga Literasi

Keluarga M. Adnan Amal menjadi potret keluarga literasi masa kini. Betapa tidak, penggarapan Borero tulisan yang tercecer tidak terlepas dari kepiawaian anak-anak cucu almarhum M. Adnan Amal. Seperti dikutip dalam catatan editor Borero: yang mengetikkan naskah tulisan tangan Almarhum untuk manuskrip buku ataupun kertas kerja dan artikel adalah Wardah Amelia Amal. Berbagai naskah dan tulisan yang berceceran dihimpun ke dalam file berbentuk komputer. Rembug gagasan juga kerap dilakukan dalam penyusunan buku ini terutama dengan ibunda Ida Djafaar dan anak-anak almarhum yang lainnya, Chairunnisa Amal, Anastasia R. Amal dan Majorie S. Amal lewat diskusi seru di grup keluarga. Sampaipun cicit almarhum, Khalid Syaefullah turut menyumbangkan karya fotografinya untuk sampul depan buku.

Launching buku Borero menjadi suatu kejadian yang tidak biasa. Budaya membagikan buku Yasin bertepatan dengan setahun kepergian orang yang kita cintai mungkin tidak diharapkan almarhum. Bahkan pun tidak ada budaya tahlilan dalam pelepasan kepergian almarhum. Maka dari itu untuk mengenangnya keluarga berinisiasi membuat sebuah buku kumpulan tulisan-tulisan menjelang setahun kepergiannya.

Pemilihan judul buku ini diawali diskusi di grup WA keluarga. Ada dua tawaran yaitu Kapita Selecta dan Borero. Walhasil dipilihlah Borero sebagai judul buku ini: Borero (Tulisan-tulisan yang tercecer). Hal ini dilatarbelakangi oleh makna yang tersirat dari kata borero serta apresiasi terhadap Drs. Abdul Karim Syafar atau Engku Doel sebagai pencipta lagu borero.

Lagu borero merupakan lagu daerah yang cukup popular, bahkan sempat direkam di Singapura pada masanya. Namun sangat disayangkan belum banyak yang mengetahui siapa pengarangnya. Bahkan jika di cari pada mesin pencarian google, maka yang muncul adalah Borero, NN atau No Name. Artinya pencipta lagu borero tidak diketahui secara jelas. Meskipun sudah menghafal lirik lagu Borero semenjak SD, sejujurnya sampai sekarang saya tidak mengetahui pengarang atau pencipta lagu ini. Beruntunglah dengan membaca Borero saya mendapatkan informasi terkait dengan pengarang lagu ini.

Almarhum M. Adnan Amal dalam sebuah tulisan tentang AK. Syafar mengungkapkan bahwa sampai pada tutup usia baik pemerintah kota, Universitas Khairun tidak memberikan apresiasi apa-apa kepada AK. Syafar. Padahal beberapa lagu daerah seperti Naro Oti, Rosaselli, Una Kapita hingga Hymne Universitas Khairun juga diciptakan oleh pria kelahiran Tidore ini.  

Banyak teladan yang dapat diambil dari almarhum M. Adnan Amal. Semoga sebagai generasi penerus bangsa kita dapat mengambil sedikit dari apa yang telah dicontohi beliau semasa hidupnya. Salah satunya dedikasi dan komitmen almarhum tuntuk menuliskan tentang negerinya. Sebagaimana kandungan buku Borero, agar kita generasi muda Maluku Utara (pada khususnya) untuk senantiasa menghargai, tidak melupakan sejarah negeri sendiri dan agar senantiasa merawat ingatan bersama akan akar dan asal-muasal kita. Gate ifa la to sone bato | biar to sone to sonyinga borero. Biarpun maut menjemput ragaku, tetapi komitmenku akan tetap kukenang. AL-FATIHAH!
Tulisan dipublikasikan pada Kompasiana






0 komentar:

Posting Komentar