Hidup adalah sebuah pencarian: kita, harus terus berjalan. Bergerak dan berbahagia, tetaplah membuka hati untuk saling memaafkan.

Wanita Clitoria ternatea



Clitoria ternatea



Di luar sana, suhu hampir 30 derajat Celsius.

Kandang panggung ukuran 8 x 4 meter ini terbuat dari potongan bambu. Sementara jam sudah menunjukkan pukul 15 lebih dua belas menit. Aku dan mbak Pur masih sibuk memberikan pakan ayam. Kami menyadari, keringat yang bercucuran sedari tadi membuat kegerahan ini semakin memuncak. Padahal aku hanya menggunakan kaos oblong tipis dengan jeans tua, mbak Purwanti juga hanya mengenakan rok diatas lulut dengan baju yang terlihat lebih tipis–hampir menerawang. Tetapi masih ada lima tempat pakan yang belum terisi.
*
Purwanti adalah salah satu fasilitator desa. Dikirimkan Kementerian desa ke dusun Cempakabulet untuk memberikan edukasi dan pendampingan dana dusun. Tahun lalu, DD yang dikucurkan mendekati 500 juta. Berdasarkan aturannya dana ini akan cair dalam tiga tahap: 30, 50 dan 20 persen. Tahun ini menjadi 800 juta rupiah.

Dusun Cempakabulet termasuk dusun yang kaya akan sumberdaya genetik ternak. Pengembangan sapi Pasundan diarahkan di dusun ini. Meski berada di sekitar pesisir pantai, sungguh tak menjadi penghalang bagi sapi tipe kecil ini untuk tetap produktif. Buktinya, berdasarkan hasil survei di lapangan, terdapat lima ekor sapi betina produktif yang umurnya hampir delapan tahun.

“Sing iki umure wulong taun” bahasa Jawa pak Suryadi kental sekali. Beliau mengatakan “sapi yang baru lewat itu umurnya delapan tahun” sambil tangan kanannya menunjuki sapi dengan gantungan kelenceng tua.
Selain sapi, masyarakat dusun Cempakabulet juga mengembangkan ternak ayam broiler. Bedanya sapi secara umum dikembangkan oleh kaum bapak-bapak. Sedangkan ayam broiler ditangani oleh Ibu-ibu KWT (Kelompok Wanita Tani).

Tidak hanya asal budidaya saja, KWT juga menerapkan suistainable agriculture untuk menjaga keseimbangan lingkungan.

“Bu Darsih, lamtoronya sudah siap dipanen” ujar ibu Andina yang tak lain adalah Ketua Kelompok Tani Wanita.

Jika sudah siap panen, ibu Andina dengan segera memberikan instruksi kepada bu Darsih untuk segera dikelola. Daun lamtoro dikeringkan sebagai bahan pakan ternak, biji-bijiannya yang telah mongering diolah menjadi bahan pigoran (hiasan rumah) sedangkan bijian yang masih muda kadang-kadang disulap menjadi tambahan pepes lamtoro. Bahannya parutan kelapa, bawang putih, bawang merah, cabe keriting dan rawit dan sedikit terasi.

*
Sudah enam bulan menjadi fasilitator desa tetapi kenyamanan dan cheimistry belum didapatkan disini. Purwanti masih sering galau–susah move on. Mbak Pur masih sempat menitihkan air mata ketika malam tiba.

Sebenarnya semua berawal seusai rapat kemarin. Rapat belum diakhiri dengan salam penutup, tetiba di luar forum ada teriakan dari bu Darsih “Sudah cukup, fasilitator seperti mba Purwanti ini tidak sepatutnya dipercaya. Dia hanya mengada-ada. Mana mungkin sampai tanggal begini uang upah kerja belum juga kami terima” ocehan bu Darsih menggelegar, sontak mengagetkan semua peserta rapat yang hening sedari tadi.

Bu Darsih tersulut kobaran kebencian. Berita hoaks yang muncul dari dusun tetangga tak bisa dibendungnya. Kabar burung berbicara, katanya mbak Purwanti  memiliki  beragam jurus untuk megelabui masyarakat dusun Cempakabuleud. Dia juga diklaim sebagai pelakor. Padahal sebenarnya hanya tampilan fisiknya saja yang mudah mengundang sejuta mata. Tapi jauh di dasar batin dia adalah perempuan baik-baik.

“Lihatlah penampilannya! Setiap hari dengan rok mini. Apakah kalian semua masih bisa percaya bahwa dia adalah kiriman Tuhan dari langit untuk menjaga jagad raya dan memperkaya desa kita yang tercinta?” bu Darsih menjelaskan dengan bahasa sastranya dengan nada tinggi.

Di sudut berbeda, terlihat air muka mbak Purwanti berubah dari biasa menjadi merah. Tentunya ini bukan merah merona karena tersipu malu. Tetapi mungkin karena malu yang tak bisa dibendungnya. Pak Camat juga Kepala Dusun memandangi bu Darsih dengan tatapan kebingungan.

*
Banyak sekali permasalahan yang dialami oleh ibu-ibu di dusun ini, mulai dari harga bapok (bahan pokok) yang kian meninggi hingga bermuara pada hutang di koperasi dengan pilihan setoran lima sampai 10 ribu rupiah perhari. Belum lagi jika musim paceklik tiba: mengarit, mengangon sapi hingga berjualan roti harus dilakukan sampai berdarah-darah.

Ada beberapa tawaran solutif yang disampaikan oleh mbak Purwanti di balai dusun. Tetapi semuanya seperti isapan jempol, tak ada satupun ibu-ibu yang menanggapi dengan baik. Mereka sudah tersulut emosi. Kabar burung tentang penyelewengan dana dusun menyebabkan kepercayaan terhadap Purwanti hilang begitu saja. Sebenarnya Purwanti mengetahui siapa biang kerok dibalik kejadian yang menimpanya ini. Tapi karena tak ingin terlihat tidak dewasa dan sok benar, Purwanti hanya bisa diam dan memaklumi. 

*
Saban hari dia mengharapkan ada perubahan dari ibu-ibu dusun Cempakabulet. Tetapi harap berpeluh harap bagaikan pucuk merindukan bulan. Kesemuanya hanya menjadi angan-angan.

Sementara, ibu-ibu dusun sebelah sampai saat ini masih beranggapan bahwa Purwanti adalah perempuan yang agai–kasihan sekali! Baginya hidup adalah soal memahami. Mungkin ibu-ibu itu belum mengenal siapa sebenarnya Purwanti. Atau mungkin, berlaku petuah ini ‘karena tak kenal maka kita tak sayang’?
“Mengamati hal-hal yang biasa dianggap tiada berguna, hanya membuang waktu saja ”

Disisi lain dia tetap memaklumi bahwa gonjang-ganjing kehidupan adalah hal lumrah-tak bisa dihindari. Memang begitu adanya harus bisa ditelan dalam-dalam. Harus bisa menerima segala sesuatu dengan kalis. Tak ingin bersusah payah menjelaskan ke seantero dunia ‘siapa dirinya’. Dia hanya menyakini bahwa kita, sesama wanita, tentunya bisa saling membaca mata.

Tetapi namanya jatuh, tetap akan terasa sakit juga. Beberapa konsep yang ditawarkan untuk pengembangan desa seperti taka da gunanya. Ketulusan untuk membangkitkan semangat ibu-ibu dusun ini untuk bergerak dan berkarya pun pupus sudah.

Hari ini dia memutuskan untuk memilih pergi.

Setelah mengemasi pakainan di kopernya dan membereskan barang-barang di kamar kostnya: jam dinding, bingkai photo dan cermin dipikir tak perlu dibawa pulang. Lagipula itu akan membuat dia menderita ketika harus berpindah alih dari bus yang satu ke bus yang lainnya.

“Bu, Purwanti izin pamit. Sepertinya kondisi dusun ini teramat sulit untuk dinetralisir. Berita yang beredar di luar sana juga sudah tidak mengenakkan hati. Purwanti menyerah” Kalimat perpisahan itu terucap dengan nada terisak-isak.

“Mengapa tidak bertahan saja satu atau dua bulan lagi nak. Kobaran kebencian itu mungkin akan padam dengan sendirinya, ibupun tak mengerti mengapa nasibmu tidak seperti Riana di dusun sebelah”. Ibu berusaha menenangkan Purwanti.

Padahal jika dipikir-pikir tawaran program dari Purwanti di desa ini cukup banyak. Dan semua memiliki prospek yang menjanjikan. Sementara Riana sampai memasuki bulan ketujuh ini tak terlihat ada sesuatu yang ‘terbangun’ dari dusun sebelah. Gumam Bu Camat dengan mulut komat-kamit.

“Dalam minggu ini akan ada surat dari Kemendes terkait pergantian fasilitator dusun. Semoga kelak yang menggantikan Purwanti sesuai dengan harapan masyarakat dusun ini” Purwanti mengungkapkan dan berusaha tenang. 

Purwanti menyerahkan kunci kamarnya pada Bu Camat dan menarik koper pinknya dengan pelan-pelan.
Di balik pintu terlihat Nurmila, gadis dusun yang sepaham dengan Purwanti. Tangisnya tak bisa ditahan. Mereka berpelukan sembari saling menguatkan.

“Tetaplah menjadi wanita tegar mbak Purwanti” Nurmila berusaha berbisik dengan semakin mengeratkan pelukan.
“kutitipkan dusun ini padamu Mila” sahut Purwanti. Dia menepuk bahu Mila sebagai tanda perpisahan,
*
Dalam perjalanan menuju kampungnya di ujung timur Pulau Jawa, dia mencoba mencari informasi dana hibah, beasiswa atau dana-dana tak terpakai lainnya. Mana tahu saja ada yang bisa dikelolanya untuk mengisi kelonggaran waktu.

Ternyata benar petuah lama “patah satu, tumbuh seribu”, yang penting ada kemauan pasti ada jalan Senyum terpancar dan air mukanya berubah menjadi bahagia.

“Dia segera mengirimkan email permohonan sebagai salah satu calon penerima hibah bina desa untuk pengembangan kembang telang”
Subjek : Permohonan Calon Penerima Program HIbah Bina Desa

Lampirkan File:
Surat Permohonan

Dengan semangat berapi-api. Jari telunjuk tangan kanan dengan cepatnya menekan enter penanda ‘kirim’ atau sending yang artinya berkas permohonan menjadi calon penerima dana hibah segera dikirimkan.
*
Sebelum meninggal bapaknya adalah konsumen aktif kembang telang. Penglihatan bapak memang sudah terganggu semenjak umur 30 tahun. Khasiat kembang telang itu sendiri menurut beberapa literature sangat bermanfaat: dapat mengobati gangguan penglihatan, mengobati sakit telinga, mengobati bisul (abses), untuk mencuci darah, mengobati bronchitis, sebagai pelengkap dalam persembahyangan, sebagai bahan pewarna makanan serta untuk detoksifikasi.

Selain keunggulannya, ada satu hal yang membuat semangat ini begitu menyala-nyala. Daerah asal Clitoria ternatea ini terdapat di kota terkecil di sekitar pulau Halmahera. Selain beajar, Purwanti bisa sekalian travelling dan hunting. Ritus yang ingin kembali dilakoni untuk mengusir penat selepas beragam tudingan datang silih berganti menghujani hidup.
*
Tiga hari semenjak berada di rumah tetiba ada pemberitahuan dari googlemail, tak lain tak bukan adalah email balasan dari kementerian pertanian yang berisi lampiran surat taken kontrak kerja kepada Penerima Hibah Bina Desa.
Ada nama Purwanti, tepat di urutan ke 35. Bahagia bukan kepayang. Dia bergegas menyiapkan materi untuk presentasi di gedung kementerian dua hari yang akan datang
*
Bapak-bapak itu mengernyit, mereka tidak percaya bahwa Clitoria ternate adalah kembang yang punya beragam manfaat. Akhiran ternatea menegaskan bahwa kembang ini memang berasal dari Ternate meskipun kebanyakan orang mengenalnya dengan nama kembang telang. Kembang yang berwarna dominan ungu muda ini biasa disebut bunga klitoris–benar, bentuknya serupa klitoris.
Sorak gemuruh tepuk tangan seusai mempresentasikan kebermanfaatan bunga klitoris cukup menyejukkan hati. Meski di awal sempat pengap karena keringat yang tak henti menetes. Seperti usai mengintari gua–sudah gelap pun teramat panas.

Seusai presentasi. Aku mengambil handphone dan menghubungi salah satu pegawai di Laboratorium uji dengan predikat ISO 17025:2005.
Mbak,
Berapa harga analisisnya fisik dan kimia Clitoria ternatea mbak?
Jika lengkap fisik dan kimia, kira-kira sekitar sejutaan mba. Tapi itu hanya untuk 5 sampel! Mba yang tidak diketahui Purwanti sebagai pekerja administrasi atau laboran di Laboratorium itu berusaha menjelaskan
Baiklah, kapan hasilnya bisa saya terima, jika besok saya mengirimkan sampel siap uji?
Mungkin, seminggu lagi. Akan kami kabari jika sampel masuk meja kerja. Mbak yang berasa di ujung telepon mengakhiri pembicaraanya.

Di sela-sela menuggu panggilan berikutnya, aku bermimpi berada di pulau Gapi. Disambut dengan tarian soya-soya saat menuruni pesawat terbang, dipakaikan mahkota bak putri-putri. Dan sebenarnya dalam mimpi yang singkat itu aku telah menjadi Putri. Tapi anehnya meski sebagai Putria aku dipanggil dengan sebutan “Wanita Clitoria ternatea”. Kini giliran aku yang mengernyitkan dahi.

***





1 komentar: