Hidup adalah sebuah pencarian: kita, harus terus berjalan. Bergerak dan berbahagia, tetaplah membuka hati untuk saling memaafkan.

Jangan Menghapus Tapak: recommend sebuah Ruang Publik [Catatan Nonton Teater & Film Dokumenter Dodoku]


[Dokpri] Pembukaan Pementasan Teater dan Film Dokumenter Dodoku: Jangan Menghapus Tapak



Tuan datang urusan pun selesai | Tuan pulang membawa tanda tangan | Tuan datang untuk kepentingan pribadi | Tuan lupa, ini bukan untuk tuan | Ado mama e, ado papa e Laut so ilang | Biar anak cucu tau, mereka dilahirkan diatas sejarah | Jang Lupa | Jangan menghapus tapak-tapak kaki leluhur | Ado papa e, ado mama e, ado tete, nene e | Adat Moloku Kie Raha | Moloku Kie Raha, Moloku Kie Raha, Moloku Kie Raha”. Syair ini disuguhkan di tengah teatrikal Dodoku. Teguran halus, sarat makna.

Sabtu Malam tepat tanggal 28 April 2018, tak jauh dari kedaton kesultanan Ternate digelar Nonton Bareng Mini Teater dan film dokumenter Dodoku. Teatrikal dengan tema Jangan Menghapus Jejakku berlangsung dengan hikmat. Pagelaran ini merupakan inisiasi Fadriah Syuaib, seniman asal Ternate yang aktif dalam Komunitas Kampung Warna dan Rumah Sabua (yang pada kesempatan ini) bekerjasama dengan Sanggar Timur Jauh dan Folakatu Art Tidore.

Karya Dodoku: Jangan Menghapus Tapak mendapat founding dari Yayasan Kelola melalui hibah Cipta Perdamaian tahun 2018. Yayasan kelola merupakan NGO yang konsen di bidang seni dan budaya dan bermitra dengan Embassy of Denmark. Hibah untuk perdamaian sendiri sudah dikucurkan sejak tahun 2017. Pada tahun 2018 terdapat 10 seniman yang lolos menjadi penerima hibah diantaranya Abdul Hair (NTB); Abidin Wakur (Sulsel), Fadriah Syuaib (Maluku Utara); Ferdiansyah (NTB); Manuel Alberto Maia (NTT), Maria Dian Andriana (NTT); Nurabdiansyah (Sulsel); Paparisa Ambon Bergerak (Maluku); Reny Suci (NTB) dan Rifky Husain (Maluku).

Instagram @Yayasankelola

Maha karya mini teater dikemas menarik dengan konsep outdoor. Meskipun cukup sederhana tetapi mampu menyita perhatian berpuluh pasangan mata. Pengunjung semacam di hantarkan menuju Dodoku pada masa lampau (sebelum reklamasi). Karya ini sebenarnya merupakan respon terhadap konflik situs bersejarah Dodoku Ali yang direklamasi oleh pemerintah kota Ternate.

Teatrikal sarat makna yang disutradarai oleh Isa Tidore (Alumni Magang Nusantara, Yayasan Kelola) ini menceritakan tentang kondisi masyarakat di sekitar Dodoku Ali yang kehilangan ruang publik akibat manajemen tata kelola pemerintah yang belum optimal.

Warga tidak diizinkan untuk mengambil tanah dan beraktifitas di tanah Dodoku. Pihak-pihak yang berkepentingan datang alih-alih sebagai pahlawan. Disisi lain masyarakat sudah menyadari bahwa mereka kehilangan ruang. Di mana ruang itu? Di mana ruang itu? Masyarakat sudah tidak mendapatkan ruang di Dodoku Ali. Pihak-pihak yang berkepentingan mengatur siasat. Mereka bersekongkol untuk membangun proyek di sana (red. Dodoku). Membangun proyek di tanah yang menjadi wilayah di mana mereka dibesarkan. Padahal menurut masyarakat sekitar tempat ini akan lebih menyenangkan jika semuanya berkumpul bersama-sama. Ini (red. Dodoku), bukan untuk satu atau dua orang saja. Ini untuk siapa saja. Untuk saya ! Untuk anda! Untuk kita semua di tempat ini, jangan dikotak-kotakkan! Jangan!!! Biar anak kita tahu, biar anak cucu kita tahu ada kisah yang tidak bisa dilupakan. Ini masih tetap ada. Jangan menghapus tapak, jangan menghapus tapak-tapak kaki leluhur adat Kie Raha. Jangan menghapus jejak adat leluhur Moloku Kie Raha” penggalan-penggalan dialog dalam mini teater: Jangan hapus tapak.

Di pertengahan acara pengunjung pun disuguhi alunan musik yang energik dari Seniman asal Tidore. Ini tentang rasa. "Yang kita peduli mengapa pantai dibangun swering" sedikit penggalan syair lagunya. Di akhir acara pengunjung pun diajak menjejaki dodoku dengan film dokumenter bertajuk Dodoku: Dulu, Kini dan Sekarang.





 “Dodoku adalah jembatan. Dulu masyarakat lebih mengenal Dodoku Mari yang merupakan tumpukan batu menuju laut; tempat dimana para tamu kesultanan datang menuju kedaton kesultanan. Pada tahun 1999 Dodoku Ali dibangun, penambahan Ali merupakan penghormatan terhadap Kapita Laut kesultanan yang banyak berjasa. Semenjak di reklamasi lokasi dodoku ini tampak tidak terurus. Kini nasib Dodoku Ali serupa dengan Dodoku mari. Keduanya merupakan situs bersejarah bernilai historis tinggi yang masih diabaikan” sepenggal cerita film dokumenter dari Rumah Sabua ini juga merepresentasikan betapa pentingnya memelihara situs bersejarah terlebih penekanannya yaitu pemanfaatan Dodoku sebagai ruang publik. Disini (red. Dodoku) bisa menjadi ruang publik; tempat anak-anak bermain dan juga sebagai pusat berkesenian.

Sebagaimana ungkapan kak ia, sapaan Fadriah Syuaib di sesi diskusi bahwa Karya ini hendak mewacanakan pada publik taman Dodoku Ali yang dulu sebelum reklamasi sering digunakan sebagai tempat kegiatan komunitas, dapat difungsikan kembali menjadi ruang publik yang terbuka bagi kegiatan masyarakat. Hal ini juga diiyakan oleh pihak kedaton Kesultanan yang turut hadir dalam acara “Dodoku Ali sudah lama tidak ditata. Tetapi kini Dodoku Ali harus ditata kembali seperti membuat open space untuk anak-anak. Dodoku Ali harus menjadi ruang terbuka untuk kita semua” tutupnya.

Sabtu malam yang mendidik. Mungkin benar apa yang dicetuskan Augusto Boal (Penulis dan Politisi) bahwa teater juga dapat mengambil peran dalam gerakan pendidikan kerakyatan. Tak melulu yang oppressive juga kan?

Rintik hujan yang turun di penghujung acara sebenarnya menegaskan kita (red. pengunjung) untuk segera pulang. Namun tak berarti untuk melupakan Dodoku dengan segala kenangannya. Hujan di malam minggu sesungguhnya bukan untuk menghapus tapak. Ditegaskan MC "semoga hujan menjadi penanda bahwa Dodoku Ali akan segera dibenahi". Tentunya, untuk sebuah ruang publik.

Semoga**



0 komentar:

Posting Komentar