Hidup adalah sebuah pencarian: kita, harus terus berjalan. Bergerak dan berbahagia, tetaplah membuka hati untuk saling memaafkan.

Peran Keluarga, Entaskan Adiksi Gawai pada Anak-anak

Anak-anak sibuk bermaik gawai


Pendidikan menjadi kunci utama pergerakan dan perkembangan bangsa-bangsa. Maju atau tidaknya suatu bangsa dapat diukur dari kemajuan pendidikannya. Di Indonesia berlaku wajib belajar 9 tahun, ini dimulai sejak anak usia dini.

Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menunjukkan bahwa tahun ajaran 2016/2017, total 4.605.809 anak-anak menjadi siswa-siswi taman kanak-kanak di seluruh Indonesia. Sementara Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2017 mengestimasi jumlah anak usia prasekolah adalah sebanyak 9.647.997 anak. Angka ini mengindikasikan bahwa masih terdapat banyak anak-anak usia prasekolah yang tidak mengikuti jalur pendidikan formal PAUD (Appletreebsd, 2019).

Era disrupsi menjadi tantangan tersendiri dalam pendidikan anak usia dini. Kini anak-anak bahkan anak usia dini sudah dimanjakan dengan kemajuan teknologi. Sebagian besar anak-anak begitu aktif menggunakan gawai dan piawai dalam mengakses internet. Namun sayangnya penggunaan gawai/internet oleh anak-anak menyisakan berbagai persoalan.

Sejumlah kasus kecanduan gawai dan internet tercatat: 7 April 2016, di Sleman DI Yogyakarta, tiga remaja SMP membobol dan mencuri barang berharga di sekolah taman kanak-kanak untuk biaya bermain gim daring. Pada 31 Maret, 2017 di Bireuen, Aceh seorang bocah usia 10 tahun rela mengemis di pasar dan jalan raya agar memperoleh uang untuk ke warnet. 2 Juni 2017 di Samarinda, Kalimantan Timur Seorang remaja nekat mencuri motor dan menjual komponen hasil curian untuk biaya bermain gim daring.

Tak selesai sampai disitu saja, 11 Januari 2018 di Bondowoso, Jawa Timur dua pelajar pecandu gawai dirawat di RS Bondowoso karena mengalami gangguan jiwa. Sementara pada 25 Januari 2018 di Mojokerto, Jawa Timur seorang siswa SMP usia 15 tahun didiagnosis menderita hipertensi primer akibat terlalu sering bermain gim. Hingga 28 Februari 2018 di Probolinggo, Jawa Timur, pelajar kelas II MTs nekat mencuri uang Rp. 1,7 juta dan ponsel di rumah warga untuk bermain gim (Kompas, Juli 2018).

Adiksi atau kecanduan gawai dan internet pada anak-anak menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak (PPPA) Yohana Susana Yembise (24/7/2018) dapat memberikan dampak negatif: kecanduan pornografi, pengaruh pada kesehatan, kesulitan berkonsentrasi, hingga penurunan prestasi belajar. Sehingga pembatasan gawai pada anak sangat penting.

Anak usia dini merupakan usia emas, yang mana harus diisi dengan pendidikan yang sehat dan ramah anak. Kecakapan literasi digital anak akan terwujud jika orang tua atau keluarga juga memiliki kecakapan literasi digital yang mumpuni.

Cakap literasi digital tidak sekadar terampil secara teknis mengakses internet tetapi juga mampu memfilter beragam informasi dan hiburan di internet. Melindungi anak dari internet bisa dilakukan melalui beberapa cara, misalnya mengarahkan anak untuk lebih baik menggunakan Kiddle sebagai mesin pencari laman web. Dalam kiddle.co, konten yang disajikan dipastikan aman dan layak diterima anak.



Selain mengarahkan dalam pengaksesan internet dan penggunaan gawai yang baik. Keluarga pun dapat mencari alternatif permainan yang edukatif pada anak, misalkan dengan metode pop up book atau baby garden.

Untuk pop up book sendiri, anak-anak dapat diajak bersama-sama untuk membuatnya. Pop up book berupa buku yang berisi gambar 3D, kontennya bisa tentang animal atau tumbuh-tumbuhan. Bahan pembuatannya dapat berasal dari kertas-kertas bekas. Ini sekaligus mengajarkan anak untuk cerdas dalam penggunaan kertas: zero wate, hidup tanpa sampah. Dengan ini anak-anak akan terangsang untuk menjadi kreatif dan inovatif.

Sementara konsep baby garden menjadi trik agar anak-anak mencintai lingkungan sejak dini. Mengapa? Baby garden atau kelas berkebun ini mengajak anak-anak untuk menanam: mulai dari mengisi tanah di polybag, meletakkan benih/bibit tanaman, menyiram hingga mengamati tumbuh-kembang tanaman. Konsep ini digadang-gadang dapat membuat anak-anak mencintai lingkungan sejak usia dini.

Fenomena kecanduan gawai pada anak-anak saat ini menjadi perhatian. Pembatasan penggunaan gawai pada anak, termasuk membatasi konten dan informasi yang tidak layak bagi anak, merupakan salah satu langkah yang perlu dimasifkan oleh pemerintah  bekerja sama dengan keluarga untuk melindungi anak dari adiksi atau kecanduan terhadap  gawai.


Tetapi lagi-lagi, kesemuanya adalah bermula dari peran keluarga. Keluarga merupakan pranata sosial pertama yang menjadi penopang tumbuh kembang anak. Keluarga harus dijadikan basis untuk pendidikan anak usia dini sehingga kemajuan teknologi akan selaras dalam mendukung perkembangan anak yang lebih baik.  Mencari konsep baru untuk mengalihkan kencederungan anak terhadap gawai/internet adalah solusi untuk merawat tunas baru bangsa ini. 

Tulisan ini diikutsertakan pada Lomba Apple tree Pre-School BSD



0 komentar:

Posting Komentar