Cukup tertatih menuliskan ini, mencoba merenungkan kembali tanggung jawab diri. Meski terasa sangat terlambat, tapi apalah arti hidup jika tidak memulai sama sekali.
Flash back Story
Masih terekam dengan jelas, ketika hari
pertama memasuki bangku SD. Diantarkan papa dan mama, ke sekolah yang jaraknya
tidak jauh dari rumah pada waktu itu membuat saya deg-degan tak terkendali tetapi saya cukup berbahagia.
Memasuki jenjang sekolah menengah
pertama yang jaraknya agak jauh dari rumah, yang mana harus menaiki oto mikrolet (red; mobil angkutan umum) pulang pergi
menjadikan tantangan tersendiri bagi anak lulusan SD zaman itu. Meskipun sangat
katro di zaman sekarang, tapi sungguh
bepergian tanpa orang tua merupakan tantangan tak terlupakan. Seiring
berjalannya waktu saya pun tetap berbahagia.
Bebas masuk ke Sekolah Menengah Atas yang merupakan salah satu Sekolah
Negeri favorit di kota kecil yang saya tempati melalui jalur Undangan, sungguh sangat
mengesankan. Jarak SMA dengan rumah saya yang tidak berjauhan membuat saya bahagia.
Meskipun di tahun kedua harus pindah rumah, alhasil jarak ke sekolah semakin
panjang. Namun tidak serta merta bisa melunturkan kebahagiaan saya. Saya tetap
merasa bahagia.
Gagal meraih mimpi menjadi dokter, mengurungkan
niat ke Kota Batu dengan berat hati kemudian berbalik haluan memilih jurusan
yang tak pernah terbayangkan merupakan tantangan yang membahagiakan. Endingnya saya sangat mencintai jurusan yang
saya pilih, jujur sangat menguntungkan dan membahagiakan.
Diberi kesempatan melanjutkan studi
di Kota Hujan cukup menghujani warna dalam hidup. Banyak pelajaran yang
menghantarkan pada perubahan. Kesyahduan alamnya mengoarkan semangat bergerak dan membawa hampir pada puncak
kebahagiaan.
Bukan hanya sekadar cerita tentang
peralihan dari massa ke massa tetapi pada tersiratnya on becoming a learner di usia yang tak remaja lagi.
Memahami Belajar
Belajar merupakan aktivitas keseharian
yang dilakukan oleh semua orang. Setiap orang pun memiliki hak untuk memilih
atau membuat pilihan (freedom to choose).
Kita bisa belajar dari maha guru (face to
face), dari buku-buku bacaan, dari pengalaman-pengalaman yang telah
terlewati, fenomena alam bahkan dari mimpi dalam tidur. Zaman dengan kemudahan akses
informasi seperti sekarang ini pun menjadikan ruang-ruang belajar menjadi lebih
luas terutama, bagi yang ingin memanfaatkannya.
Dengan belajar kita secara tidak
langsung bertindak untuk melawan lupa
dan belajar untuk bertanggung jawab terhadap diri.
Poin pertama, melawan lupa. Menurut Hamara Subakti (2014) dalam Tulisannya Melawan Lupa Sejarah dijelaskan bahwa sejarah adalah perjuangan melawan lupa dan melawan lupa itu sendiri merupakan bentuk perjuangan untuk sekadar mengingatkan. Namun saya ingin mengajak kita untuk bersepakat bahwa belajar merupakan perantaranya. Belajar adalah proses atau perantara melawan lupa.
Dengan
belajar berarti secara tidak langsung kita mengundang masa lalu atau masa sekarang agar terekam dalam memori kita. Bagi
pembelajar yang aktif, yang terekam ini
akan dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk melakukan tindak yang lebih persuasif. Analogi sederhananya, jika saya belajar melalui suatu bacaan (membaca) maka saya
akan merasa bahagia jika apa yang telah saya pelajari (dibaca) bisa tersampaikan kepada orang
lain. Entah melalui jalur diskusi atau menuliskannya kembali dalam Karya Tulis dan
membebaskan orang lain untuk menikmatinya. Saya pun teringat pada perkataan guru
saya yang sekarang menetap di Kendari:
Kebahagiaan akan kita dapatkan ketika kita sampai pada halaman terakhir buku yang kita baca, kemudian menceritakan kepada orang lain ataupun menuliskan dan membacakan isinya pada orang lain.
Sungguh membahagiakan
bukan?
Poin kedua, bertanggung jawab terhadap diri. Poin ini cukup
menarik, mengutip Harefa Andrias (2000) bahwa manusia dilahirkan untuk
menjalankan the three tasks,
responsibility and humanity calling. Penjabarannya (kesimpulan sementara) bahwa manusia dilahirkan dengan tiga tugas pokok yaitu pertama, menjadi manusia pembelajar
yang belajar terus menerus di ‘sekolah besar’ kehidupan nyata untuk memanusiawikan
dirinya; kedua, menjadi pemimpin sejati dengan cara mengambil prakarsa dan
menerima tanggungjawab untuk menciptakan masa depan bagi dirinya,
lingkungannya, perusahaan atau organisasi dimana dia bekerja; dan ketiga, bertumbuh
menjadi guru bagi bangsanya, dan bagi umat manusia di ‘sekolah
besar kehidupan’.
Dengan belajar berarti kita telah
bertanggung jawab terhadap diri. Bukankah manusia dituntut eksis? Belajar
merupakan cara sederhana untuk menunjukkan eksistensi sebagai
manusia, yaitu menjadi pembelajar (being
human). Menurut HA (2000) bahwa singkatnya manusia adalah satu-satunya
makhluk yang berpotensi untuk pertama-tama belajar
tentang dirinya, kemudian berusaha belajar
menjadi dirinya itu dengan cara belajar mengekspresikan potensinya ke
dunia luar (inside out).
Kita
Belajar tentang atau Belajar (melakukan) ataukah belajar menjadi??
Konsep menjadi pembelajar yang digagas oleh Harefa Andrias
(2000) merupakan sebuah penyadaran akan eksistensi menjadi pembelajar sejati
atau manusia pembelajar. Dijelaskan kembali bahwasanya manusia sebagai
pembelajar membelalakkan kita tentang keunikan manusia yang berbeda dengan
mahkluk Tuhan lainnya. Dan disimpulkan bahwa manusia adalah salah satu makhluk
ciptaan yang dibekali kemampuan untuk belajar tentang (pengajaran) agar ia dapat belajar menjadi (pembelajaran) dengan cara belajar (pelatihan). Ia adalah subjek sekaligus objek bagi dirinya
sendiri.
Jika berbalik pada judul kecil
diatas apakah kita sedang belajar tentang
atau belajar (melakukan) ataukah belajar menjadi tidaklah penting. Yang terpenting adalah kita tetap belajar
setiap hari, menjadi pembelajar sejati dan mejadikan, masyarakat pembelajar.
Tak penting sekecil apapun skalanya, dimana pun tempatnya tapi yang terpenting adalah kapannya, bahwa kita harus memulai dari sekarang, Ya sekarang
juga!! Lebih tepatnya kita harus Memulai – On
becoming a learner.
Ending
Sampai pada akhirnya saya mencoba menyimpulkan
bahwa proses pembelajaran dapat menjadikan hidup bahagia, yang tidak berdaya
menjadi sumber daya dan membiasakan hati untuk bersih dari berbagai prasangka (prejudice) dan penghakiman dini (early judgment). Proses belajar juga
mengajarkan kita, tentang pentingnya berterimakasih kepada siapa saja yang baik
hatinya, khususnya pada mama dan papa yang sangat saya cintai juga maha guru
yang luar biasa dedikasinya. Sungguh, saya mencintai kalian.
Untuk mengakhrinya, kita perlu melihat
beberapa kutipan:
Rosalyn S. Yallow;
Kesenangan belajar memisahkan kaum muda dengan kaum tua. Sepanjang anda bersedia belajar, anda tidak pernah menjadi tua.
H. Owens;
Bukannya profit dan produk tidak lagi penting, namun tanpa pembelajaran berkelanjutan, keduanya tak lagi dimungkinkan.
Dan yang terakhir adalah kutipan
dari penulis yang sudah cukup lama saya bangga-banggakan, Andrias Harefa,
lelaki juga sosok ayah yang sangat bersyukur tidak pernah menyelesaikan pendidikannya
di Fakultas Hukum UGM hanya demi mempertahankan sebuah prinsip.
Pembelajar mengolah kata, pemimpin menyusun kalimat dan guru merangkai makna.
0 komentar:
Posting Komentar