Gelas
berisikan kopi dan sedikit gula berjejeran di atas meja. Di samping toples gula
ada satu toples lagi yang berisikan bubuk kopi asli. Warung Kopi milik Mbah
Narti memang tak sepi dari pembeli. Siang dan malam hari warung kopi selalu
terlihat ramai silih berganti, seliweran orang-orang bak penumpang Commutter
Line Jabodetabek yang hilir mudik di stasiun. Kereta mungkin tak akan
mengerti mengapa setiap orang sibuk kesana kemari, begitu juga Mbah Narti yang
bingung dengan muda-mudi yang masuk ke warung setiap hari duduk dan
mengahabiskan segelas kopi ditemani tiga, empat, lima bahkan enam batang rokok
secara sambung-menyambung, dan yang pasti selalu saja begini setiap pagi.
Qona’ah, lelaki
dengan stelan jeans sobek di lututnya seperti sudah lama tak mandi, dia kusam
sekali, Mbah Narti yang setiap pagi hampir bosan dengan kehadiran Qona’ah
sekarang semakin tak peduli, karena percuma saja nasihat yang sering diberikan
oleh Mbah Narti tak pernah ditanggapi. “Eedan tenan arek zaman saiiki”
ujar Mbah Narti yang jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti, memang
gila anak zaman sekarang, menggerutu sambil menggoyang-goyangkan kaki di
kursi kasir yang terbuat dari rotan Jawa itu.
Di samping kiri dari
tempat kasir itu terlihat Aziz, berbeda dengan Qona’ah, Aziz terlihat lebih
rapi, meskipun kemeja hitam bergaris-hijau itu setiap hari Mbah Narti
perhatikan tak pernah dicuci. Dia tidak suka menghisap nikotin yang dibungkus
dengan kertas itu, dia lebih menyukai kopi yang pahitnya bisa disamakan dengan
obat Malaria berwarna hijau. Dia penggila kopi. Kopi yang diminumnya setiap
pagi, kentalnya tak terkendali.
Selain sibuk
menyeduh kopi, Mbah Narti, wanita paruh baya kelahiran 8 Maret, enam puluh tahun lalu ini tak henti untuk mengamati rutinitas Mahasiswa yang
rata-rata maha-daya, punya semangat tinggi untuk menjadi pemimpin di kemudian
hari.
Kadang mereka diam
sendiri-sendiri membaca buku. Kadang dalam satu meja sudah penuh dikerumuni
orang yang menurut Mbah Narti sedang diskusi. Yah, begitulah aktifitas
mahasiswa di sekitar warung Mbah Narti. Keramaian ini tak menjadi sesuatu yang
tidak beralasan, warung Mbah Narti berada tepat di
depan Kampus dengan logo hijau kuning itu.
“Kopi penyatu
pluralitas”,
“Kopi pemberi
inspirasi”
“Kopi mama dari
anaknya ide dan gagasan”
“Kopi Mbah Narti,
saya mau tambah lagi..” cerutu Qona’ah
disusul dengan tawa lepasnya, “hahaha..”
Wajar saja, rayuan
gombal ini biasa dilemparkan Qona’ah karena memang lelaki semester 8 Fakultas Hukum
ini rajin dalam menulis buku dosanya. Buku hutangnya ini hampir penuh, karena
kebiasaannya mentraktir teman-teman se-ruangannya.
Tak hanya
aktivis pemula dan aktivis kelas kakap saja yang menjadi
penikmat kopi dengan campuran bubuk jahe ini. Dosen, bahkan pejabat tinggi di
Kampus ini pun sering bertandang di Warung Kopi berukuran 4 x 4 meter milik Mbah
Narti, apalagi jika musim penghujan datang, meminum seteguk Kopi Mbah Narti
dapat menghangatkan badan meski tanpa pelukan hehehe.... dan banyak juga yang bilang Kopi Mbah Narti seperti
Jamu, karena dengan menyeruputnya bisa mengurangi batuk atau radang tenggorokan. Wajar, karena Jahe
yang dicampuri di dalam bubuk kopi itu adalah jahe asli yang
diracik Mbah Narti sendiri.
Kopi dan Jahe | dok: http://resep.jalalaba.com |
Menghabiskan waktu
satu atau dua jam atau bahkan seperdua hari di warung Kopi Mbah Narti menjadi
pilihan yang pasti. Qonaa’ah lebih suka disini daripada harus masuk mata kuliah
dengan Dosen monoton yang kerjaannya hanya berdiri di hadapan mahasiwa dan mahasiswi,
sibuk kesana kemari tanpa membekaskan sesuatu yang berarti sampai jam kuliah
terhenti. Menurut qonaa’ah kopi bisa membantunya mencerna setiap
tinta yang berbetuk tulisan dalam secarik, dua atau tiga carik kertas dalam
buku yang dipegangnya. Ya, laiknya seperti Bakteri E. Coli .
Aziz yang
biasa disapa para juniornya dengan sebutan abang itu
mengartikan kopi sebagai perubah peradaban, buktinya, ya.. dirinya sendiri.
Perubahan dirinya, serta merta ia rasakan ketika ia mulai coba-coba dengan kopi.
Kopi yang di semester awal di minumnya hanya sebagai suplement untuk
melototkan mata, kini menjadi teman sejati di kala Aziz harus berkelut
dengan Reinveinting Government juga teori implementasinya
Edward III setiap malam menjelang pagi. Ya Aziz ábang nya
mahasiswa prodi Administrasi.
The magic of power kopi
semakin menjadi pilihan sejati. Apalagi jika mereka yang berlabel maha ini harus
terjun ke lapangan mengambil data, merekonstruksi pemikiran dan
menggabung-gabungkan kata dalam rangkaian tulisan untuk dijadikan skripsi.
Begitu seterusnya....
Setiap harinya Mbah Narti tak henti-henti mengamati.
“Kopi laiknya teman
sejati. Anak muda yang banyak prestasi, anak muda yang nanti
mugkin ahli di segala lini, dapat berdedikasi dan yang tentunya tetap menjunjung tinggi harga
diri,” ungkap Mbah Narti di dalam hati.
Semakin sering
mengamati rutinitas sehari-hari yang ada di warung kopinya sendiri, membuat Mbah Narti mengerti bahwa sisa-sisa hidupnya akan diabadikan untuk
meracik kopi. Racikan kopi yang mungkin punya estetika, punya
pengharapan-pengharapan. Racikan kopi yang diharapnya dapat melahirkan
pemikiran-pemikiran baru, serta dapat menjadi alat pemersatu. Racikan kopi yang
diharapkannya dapat memberikan manfaat secara medis. Racikan kopi yang dapat
membuat semua mengerti tentang kehidupan.
Ya begitulah Mbah
Narti, .........
Sepuluh tahun
kemudian, di toko-toko kelontongan, Swalayan-swalayan, sudah tersebar nama “Mbah Narti”. Nama Mbah Narti di
label kopi. Ya, itu bubuk kopi racikan Mbah Narti. Warisan berharga, sampai kini.(*)
Catatan
:
Tulisan
April Tahun 2013, Pernah dipublikasikan di Kompasiana, 4 Juni 2014.
http://www.kompasiana.com/sulasmikisman/filosofi-ko-pi-mbah-narti_54f71c93a33311212f8b4787
http://www.kompasiana.com/sulasmikisman/filosofi-ko-pi-mbah-narti_54f71c93a33311212f8b4787
(dengan sedikit revisi)
0 komentar:
Posting Komentar