Rindu saya mencuat pada
Kompasiana, semenjak 2014 membuat akun, terhitung hampir tidak pernah sama
sekali menulis kembali. Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan kembali membaca
artikel-artikel di Kompasiana. Ada beberapa tulisan yang mengulas postingan
tugas mahasiswa, dan ini menyita perhatian saya. Bagaimana tidak, sebagai
mantan mahasiswa dan pernah pula punya semangat yang tinggi untuk belajar
menulis dan punya impian menjadi penulis menjadikan saya harus terus mencinta khususnya pada pekerjaan
menulis dan mungkin pada guru menulis-nya hehehe ;)
Menulis (dalam hemat saya) merupakan pekerjaan yang tidak mudah, butuh jam
terbang tinggi untuk bisa menjadikan tulisan kita diterima dan dinikmati khalayak
umum. Adanya petuah tentang menulis, bahwasanya “semua penulis pasti gemar membaca,
tetapi tidak semua yang gemar membaca bisa menulis”, ‘Bisa’ yang dimaksudkan
disini adalah sebagaimana pada kalimat sebelumnya yaitu “untuk bisa merangkai kata dan menjadikan
tulisan kita diterima dan bisa dinikmati semua pembaca”. Sederhana-nya
kesemuanya itu membutuhkan proses, tidak instan bro and sista.
Meski tidak semudah membalikkan
telapak tangan, Menulis tetap menjadi pekerjaan yang cukup menyenangkan dan
meng-untung-kan (colek pemenang-pemenang lomba menulis hehehe J).
Mohamad Kurniawan dalam artikelnya “Menulislah, maka Dirimu akan
Sehat Jiwa dan Raga” menjelaskan bahwa Menulis bisa dijadikan terapi penyakit psikosomatik malignant, sebuah penyakit
yang timbul akibat stress, kuatir dan kecemasan yang berlebihan. Konon penyakit
ini pernah diderita Pak Habibie setelah ditinggal pergi oleh ibu Ainun sampai
pada level akut.
Tak hanya sekadar penegasan
tentang pentingnya menulis. Ragam postingan tugas kuliah mahasiswa di laman
Kompasiana pun berimplikasi pada Tulisan yang menjadi semacam wasit atau penengah. Tulisan yang mengajak semua
kalangan khususnya tenaga pendidik ataupun dosen untuk menjadi Kompasianer
aktif, bukan hanya sekadar punya akun lantas kemudian jarang diisi. Jika harus
jujur, maka dengan ini saya pun mengakui bahwa Tulisan Syifa Ann tentang “Yang Perlu
Dipahami Dosen Sebelum Meminta Mahasiswa Menulis di Kompasiana” telah
membelalakkan mata bahwa betapa pentingnya Menjadi
Contoh dan bukan hanya sekadar bisa
Memberi Contoh.
Mungkin gerakan Cinta Menulis dan Mencintai Guru Menulis bisa Menjadi
Contoh yang paling sederhana.
Cinta Menulis
Gerakan cinta menulis sepertinya harus ditanamkan oleh siapa saja, pelajar,
mahasiswa, dosen ataupun tenaga pendidik serupa. Gerakan ini akan menjadikan
semangat untuk belajar dan belajar. Menulis bisa dimulai kapan saja, tidak
terbatas. Era digital saat ini memungkinkan siapa saja untuk bisa menulis
bahkan pun menjadi penulis. Namun yang perlu diingat adalah berusahalah untuk
berkalaborasi dengan diri (Syifa Ann, 2017). Selanjutnya mengutip Syifa Ann dalam
tulisannya ‘Tulisanmu: Jarimu, Pikiranmu, Mulutmu’ bahwa tulisan kita bagaikan Merpati, disaat di
lepaskan kepada pembaca maka cepat atau lambat akan mendapat umpan balik-nya. Umpan
balik itu bisa saja serupa es krim ataupun kerak
hangus, kesemuanya tergantung jari, pikiran dan mulutmu. Tetaplah menulis
dengan jujur, bijak dan memilih kata-kata yang baik.
Mari mulai dengan menuliskan
hal-hal baik dengan sederhana. Karena Verba
volent srcipta manent bahwa apa yang dikatakan akan lenyap namun apa yang
tertulis akan terkenang dalam keabadian.
Mencintai Guru
Menulis
Sejatinya Menulis dan
pekerjaaan-pekerjaan lain menuntut latihan yang kontinue dan mendesak kita untuk berguru.
Guru yang dimaksudkan tidak
harus si fulan bisa juga buku-buku
bacaan, komunitas bahkan pun pengalaman. Meskipun di era digital seperti
sekarang guru digital pun bisa kita dapatkan. Sejatinya gerakan mencintai guru menulis akan menjadikan kita untuk akuntabel dan tetap menulis. Kehadiran
guru menulis akan menjadi barometer tulisan yang kita ciptakan. Sehingga keberadaan
guru menulis bisa menjadi motivator eksternal.
Menurut Graves (1978) dalam Adel
(2015), seseorang enggan menulis karena tidak tahu untuk apa dia menulis,
merasa tidak berbakat menulis dan merasa tidak tahu bagaimana harus menulis.
ketidaksukaan tidak lepas dari pengaruh lingkungan keluarga dan masyarakat
serta pengalaman pembelajaran menulis atau mengarang di sekolah yang kurang motivasi
dan merangsang minat.
Dalam permasalahan semacam ini,
dibutuhkan motivasi baik internal dan eksternal. Jika motivasi internal yang
merupakan dorongan dari diri seseorang atau individu terasa sulit untuk
dieksekusi, mungkin pun perlu adanya motivasi eksternal. Guru menulis bisa
menjadi motivator yang berperan memberikan motivasi eksternal. Banyangkan saja
jika Guru menulisnya adalah si fulan yang ketampanannya menyamai Leonardo DiCaprio ataupun kecantikannya
bak Kate Winslet, mungkin kita akan mencintai guru menulis dan semangat
terus menulis yaa sista hehehe. Mencintai guru menulis bisa menjadi pemicu
semangat menulis, upps asal jangan salah mengartikannya hehehe J.
Punya impian menjadi penulis, Mari
gerakkan Cinta.
Ya, Cinta Menulis dengan memulai menuliskan hal-hal baik dengan
sederhana dan Mencintai Guru Menulis dengan
cara terus belajar dari penulis-penulis terkemuka (membaca bahkan pun langsung
berdiskusi dengan penulisnya), terlibat menjadi penggiat dalam komunitas
menulis ataupun duduk diam di kamar dan berguru pada guru menulis yang digital
hehehe :)
Untuk mengakhiri kesemuanya, terus
bangun kesadaran untuk menulis mulai dari diri sendiri dan sekarang juga.
Ingatlah tidak ada kesuksesan tanpa kerja keras. Belajar dan terus Latihan
adalah ikhtiar. Kalau bukan kita siapa lagi, kalau bukan sekarang kapan lagi.
Enjoy. Yuk Menulis J
0 komentar:
Posting Komentar