Dokumentasi Pribadi: Jembatan di Pantai Sasa Ternate (Latar Gunung Tidore) |
Era digitalisasi ditandai dengan menjamurnya media sosial. Media sosial tak hanya berimplikasi apik tetapi juga menyisahkan banyak tragedi. Paulinus Yan Olla MSF dalam tulisannya ‘Pengandaian-pengandaian demokrasi’ menyatakan bahwa media sosial tengah menjadi buah bibir nasional dan internasional. Selanjutnya dijelaskan bahwa akhir 2016 menjadi saksi, implikasi dari penyebaran hoax yang tak bisa ditikung. Bangsa ini seakan digiring mengotakkan diri menurut agama, suku dan entitas kebudayaan.
Hoax
(baca: berita bohong) semakin menggeliat mewarnai pengembangan era digital masa
kini. Hoax merupakan kumpulan informasi yang tidak didukung fakta dari sumber
terpercaya. Penyebaran hoax memberikan dampak kurang sehat bagi sebagian masyarakat.
Namun, masyarakat sebagian telah tenggelam dan bahkan terlibat sendiri dalam
perseteruan virtual akibat hoax. Dan sangat disayangkan, kebanyakan masyarakat
yang disebutkan adalah masyarakat kalangan menengah yang kenyang literasi,
terbiasa berpikir jernih dan dapat mengendalikan diri (baca; mengutamakan rasio
daripada emosi).
Problematika
bangsa akhir tahun 2016, terkait dugaan penistaan agama menjadi catatan penting
sekaligus tantangan bagi pemerintah dan semua kalangan untuk bergerak lebih
proaktif. Menjamurnya berita-berita hoax dikhawatirkan berimplikasi pada ketahanan
nasional. Sebagaimana dilansir Kompas 03/01/2017 bahwa Indeks Ketahanan
Nasional (IKN) mencakup aspek toleransi, solidaritas sosial dan persatuan
bangsa (skala indeks 1–5) tahun 2016 semakin melemah ke angka 2.60. IKN yang
semakin mendekati angka 1 mengindikasikan bahwa kondisi ketahanan bangsa
semakin rawan.
Dokumentasi Pribadi : 'Melawan Hoax' di Timbunan Pantai Akerica Ternate |
Melawan
hoax sangat dibutuhkan sebagai salah satu upaya untuk meluruskan isu-isu yang berkembang
akhir-akhir ini. Wacana pelbagai media yang acap kali mengangkat waspada virus
hoax seharusnya dijadikan cambuk oleh seluruh kalangan masyarakat dalam
memeranginya. Sebagai warga negara yang mengakui ke-bhineka-an sepatutnya lebih
cerdas dalam menyikapi segala informasi yang berseliweran. Cross check pada berbagai sumber terpercaya, sejatinya akan lebih
baik daripada hanya langsung menerima informasi yang cenderung hoax.
Beberapa
pihak yang memiliki otoritas dan kapasitas melakukan represi digital
diantaranya pemerintah maupun pemilik pengetahuan. Kesemuanya diharapkan terus
semangat menggalakkan gerakan ‘Melawan Hoax’ atau turn back hoax. Pemerintah punya kekuasaan sedangkan pemilik
pengetahuan punya kapasitas atau otoritas mengendalikan kebenaran informasi.
Pendidikan Keluarga Melawan Hoax
Pendidikan
keluarga yang transparan dan akuntabel diharapkan dapat menjadi jawaban untuk
memerangi hoax di lingkungan keluarga. Setiap anggota keluarga semestinya
dibiasakan untuk memberikan informasi yang dapat dipertanggungjawabkan
kebenarannya.
Sebagai
anggota keluarga misalnya, kita harusnya dipaksakan untuk memiliki sikap
proaktif terhadap sentimen intoleran. Karena dikhawatirkan sikap intoleran akan
membentuk kerenggangan kerukunan di lingkungan keluarga dan ditakutkan menjelma
membentuk karakter manusia.
Mahasiswa
Melawan Hoax
Sebagai
mahasiswa misalnya, yang merupakan cikal bakal
perubahan, dituntut untuk tidak mudah percaya pada setiap informasi baik yang
tersebar langsung di media sosial maupun di lingkungan masyarakat. Mahasiswa
diharapkan dapat cakap dalam memfilterisasi dan mencari berbagai fakta
pendukung untuk memperjelas kebenaran dari suatu informasi.
Keterangan: http://regional.liputan6.com/ |
Mahasiswa
juga diimpikan dapat menjadi pelopor
sekaligus penggerak turn back hoax
sebagai salah satu bentuk simpati terhadap ketahanan bangsa dan negara. Membuat
narasi-narasi balik untuk melawan hoax akan lebih baik daripada hanya sekadar
percaya terhadap hoax.
Pemerintah Melawan Hoax
Pemerintah
sebagai pemilik kekuasaan sejatinya mendorong terciptanya atmosfer yang
kondusif dalam lingkungan berbangsa dan bernegara. Salah satu pendekatan yang
dapat dilakukan adalah dengan merekahkan kembali peraturan perundang-undangan.
Merekahkan kembali Pasal
310-321 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang dapat dijadikan dasar bagi
mereka yang menyebarkan ujaran kebencian, fitnah dan pencemaran dan Pasal 27-28
UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Pemerintah diharapkan tidak
memberikan kesan pembiaran (omission)
pada hoax atau foke news.
Meskipun
penyebar Hoax berprinsip pada filosofi bahwa
kebohongan yang dilakukan secara masif akan menjadi sebuah kebenaran. Narasi balik
merupakan alternatif solusi yang dapat dipilih untuk me-redam hoax. Komitmen
sebagai bentuk tanggungjawab berbagai pihak untuk meluruskan isue (baca: berita Hoax) sejatinya dapat
menjadikan kondisi bangsa dan negara adem-ayem sehingga akan dapat meningkatkan
ketahanan nasional bangsa dan negara Indonesia.
Jika
semua khalayak tidak ingin kebebasan di dunia maya diamputasi yang berdampak pada ter-abaikan-nya kebebasan
berpendapat serta jika tidak ingin media masa dibredel maka bijaksanalah
menuliskan dan menyebarkan informasi. Semoga dengan merekahnya kembali
informasi yang bermartabat akan semakin memperkokoh kesatuan NKRI.
Dokumentasi pribadi: 'om telolet om' bersama anak-anak pesisir di Jembatan Sasa Ternate |
Seperti juga mereka anak-anak pesisir yang mengiinginkan keamanan negara yang tercinta ini agar nyaman bermain dan belajar. Seperti wawancara singkat penulis kepada mereka, "Yang torang inginkan hanya "om telolet om" bukan hanya sekedar 'telolet' sebenarnya, tapi pada pemaknaan yang tersirat bahwasanya negara seharusnya hadir memberikan kedamaian bagi mereka, agar mereka damai, bisa ''tertawa riang gembira", juga punya kebebasan yang bebas-sebebas-bebasnya namun tetap bertanggung jawab. Pada akhir perjumpaan mereka berjanji akan MELAWAN HOAX.
0 komentar:
Posting Komentar