http://www.imgrum.net |
MENENGADAHKAN tangan di sepertiga malam, mungin itu yang biasa Sitti lakukan setelah hampir setahun meninggalkan Bulahis yang ada di Pulau Kalayaran. Bulahis yang radikalis ternyata memiliki romansa ala Pemain Jazz, seperti itu Sitti menganggap lelaki yang ingin seperti Bung Hatta.
Meski 2 x melewati Lebaran tanpa sosok yang begitu mengaggumi kota Madrid, Sitti tetap saja bertahan. Meski jiwa Sitti terasa sunyi bak langit yang ditinggalkan senja sesudah adzan magrib mulai menampakkan keagungannya.
“Duhai malam, saat rindu meratap dalam lara seorang anak manusia, jika tetap kau izinkan duhai malam, demi sang pencipta alam... Biarkan tangan ini sampai dalam keheningan malam untuk sejenak menutup matanya yang mungkin sekarang berusaha untuk terpejam” ungkap Sitti.
Secarik kertas diolesi tinta biru, tak lama basah ditetesi hujan rintik dari mata Sitti yang hitam kecokelat-cokelatan.
Sitti adalah pecinta, dia mencintai Bulahis ala kadarnya, dia menyayangi seperti mama pada anaknya, Sitti tetap menemani Bulahis seperti senja yang setia pada ufuk barat.., begitulah Sitti setiap malam setelah selesai memeluk malam di sepertiga malam.
***
4 tahun lalu, Sitti adalah gadis periang, pecanda untuk hal-hal yang mungkin tidak karuan, tetapi setelah dekat dengan Bulahis kemegahan kehidupan, seperti tertelan oleh zaman. Sitti lebih mengerti kehidupan, Sitti tahu bahwa perempuan tetaplah perempuan, tak penting soal Emansipasi, yang pasti Sitti lebih mengerti; kerinduan pada Tuhan adalah hal hakiki yang tak boleh dicampuradukkan dengan berkembangnya peradaban. Dan sadar tak sadar, cinta dan kasih sayang juga diajarkan Bulahis secara gamblang kepada Sitti yang mungkin lugu dengan cumbuan.
Sitti yang kini ada di Kota Hujan semakin merindu. Semakin dekat dengan rindu itu, apalagi saat air alam harus turun di tengah malam sampai pagi menyambut, terasa sekali.... terasa kalau rindu memang begitu.
Tapi, kerinduan tetap hanya kerinduan.
Pulau-pulau yang terbentang memisahkan barat dan timur mungkin menjadi alasan, rindunya yang semakin menjadi.
***
Namun, Sitti harus tenang, karena disana.....
Di bawah pohon ketapang, setiap malam Bulahis pun tak tenang, gelisah tak karuan, selalu terkenang olehnya canda-tawa Sitti, gadis cantik yang telah dikaguminya semasa kecil, gadis yang sering marah jika Bulahis mulai sengaja pegang-pegang.
“Oh Sitti, jika saja Tuhan ingin marah, biarkan saja dia marah. Marah saja pada diriku, yang terkadang lupa dengan waktu sepertiga malam, hanya karena waktu ini tersita dan terhabiskan untuk mengenang segala kerinduan”, tutur Bulahis.
Tapi Bulahis kadang terbelalak matanya, dia ber-Istigfar, seharusnya kerinduannya diobati dengan menjamah malam dengan Sujud Malam.
***
Sitti begitu, Bulahis juga demikian. Mereka mampu mengimbangi kerinduan. Rindu mereka tak menghalangi niat untuk selalu sujud malam, karena Bulahis dan Sitti tahu, mereka mengerti bahwasanya “Tuhan, sang Pencipta sebelum Shubuh datang, tetap akan mengabulkan, bagi siapa yang meminta, memohon, bahkan mengharap ampunan”, begitulah cara mereka mengobati rindu.
***
Perpisahan yang mengisahkan banyak makna dalam kehidupan, membuat Sitti dan Bulahis tegar. Mereka percaya, rencana Tuhan takkan lari jauh dari pengaharapan yang penuh dengan ke-khusu’an. Sitti percaya, dia adalah wanita baik-baik yang harus mendapatkan kehidupan yang baik, dan yang pasti jodoh yang baik pula.
***
Empat tahun, empat bulan, empat hari, tepat tanggal 4 April 2004, Sitti kembali ke tanah Kelahiran, mengenakan Jas Putih dan membawa se-kantung Jarum Suntik di Rangselnya. Ya... Rangsel merah kesayangannya yang tak lain adalah hadiah dari Bulahis di hari jadinya yang ke-17.
Sekarang Sitti ada nama tambahan, Dokter Sitti sekarang, Sitti yang lucu dulu, kini lebih tenang, dia lebih keibuan, tetapi di hatinya tetap memandang Bulahis sebagai Lelaki Pemenang. Pemenang untuk sebuah kesetiaan.
***
Di kampong seberang, ternyata sedang diadakan hajatan, keluarga Bulahis sedang membuat tahlilan, ada pak Imam yang sengaja diundang untuk melantunkan puja-puji kepada Tuhan, karena Bulahis, pemuda radikalis yang baru seminggu memakai Toga, tiga hari lalu telah diterima lamarannya di salah satu Koran Lokal, senangnya bukan kepayang.
Bulahis kini jadi wartawan, yaa... mungkin itu jawaban Tuhan, dari dulu Bulahis memang berteman dengan pena. Menulis berita, opini ataupun tulisan-tulisan yang penuh imaji piawai ia lakoni. Ya... lagi-lagi, mungkin ini hadiah Tuhan.
Tuhan memenuhi janjinya. Janji bagi para Hamba yang menyempatkan waktu di sepertiga malam... tak pernah keliru, begitulah alur kehidupan.
***
Bulahis kini adalah Kuli Tinta, begitu sapaan baginya dan Sitti sang Dokter Muda. Bulahis dan Sitti para pekerja di Sepertiga Malam tak lama lagi akan dipersatukan.
Sitti akan dipinang....
Begitulah Sepertiga malam menunjukkan keagungannya, semoga selamanya Sepertiga Malam akan selalu di-agung-kan.(*)
Tulisan : Akhir Agustus Tahun 2014
0 komentar:
Posting Komentar