Hidup adalah sebuah pencarian: kita, harus terus berjalan. Bergerak dan berbahagia, tetaplah membuka hati untuk saling memaafkan.

CITRA CINTA MAHA GURU






Aku tak tahu, mengapa setiap tulisan yang kuciptakan seolah-olah mengantarkan ingatan ini padamu. Bait puisi yang ku rangkai seolah menceritakan luka dalam yang pernah kau goreskan padaku setelah secercah harapan manis kau hantarkan dalam diam. Alur cerita pendek yang kugoreskan dalam buku catatan ini pun seperti tak mau merelakan kau pergi. Terkadang, nama tokoh dalam cerita ku racik serupa dengan namamu, begitu pula klimaksnya, selalu ku akhiri dengan sad story. Seperti luka dan air mata yang mengucur terlalu deras di malam itu”

Kontemplasi Citra Cendani, 12 Desember 2014

**

Genap 3 tahun ini kau memilih pergi meninggalkan ku. Perempuan yang kau jadikan pilihan memang bukan perempuan biasa–dia telah memperjuangkanmu hampir se-windu. Seperti cerita-ceritamu padaku dia perempuan baik, merawatmu saat sakit, menemanimu dalam keadaan terpuruk, menyemangatimu dalam menulis. Hingga kini, karyamu telah mewarnai seantero nusantara, kau pun menegaskan–itu karena dia.
Menurutku Diwanti Sekar Ayu adalah sosok luar biasa, karakter ke-ibu-an yang dimiliki menambah nilai jualnya sebagai perempuan. Selain berparas jelita, Diwanti sampai sekarang masih terlihat awet muda. Berbeda enam tahun denganku tetapi kupikir jika berjalan bersamaan, orang-orang takkan mengenali dia sebagai encik1.
**

Sabtu Malam, April 2009

“Ibu bagaimana cara membaca ini?” Ungkap agis siswa yang dianggap Sekar cukup nakal
“Ikuti ibu yaa!” Sekar menatap Agis dengan tatapan dalam seraya merayunya untuk mengikuti kalimat yang akan di-eja-nya
“Bu-di per-gi ke- se-ko-lah” Sekar terlihat begitu berhati-hati…

“Buuu-di, per-gii ke-se-ko-lah” Agis terlihat terbata-bata mengeja kata demi kata

“Ya, anak yang pintar…., ibu yakin jika Agis lebih giat belajar, semua tulisan yang ada dihadapan Agis, akan dilahap! Seperti ketika Agis menyantap ayam goreng mama yang


menjadi bekal andalan ke sekolah!!” Sekar memeluk Agis dan memberikan senyum terbaiknya.
Sebelum benar-benar melepaskan pelukan itu, Sekar menambahkan “Ingatlah Agis belajar dapat menumbuhkan kepercayaan terhadap diri. Sesungguhnya tidak ada yang dapat kita percayai di dunia ini selain diri sendiri. Maka, belajarlah!”
“Sekar adalah perempuan baik, setiap pulang dari sekolah dia tak pernah alpa menjumpaiku di Sekretariat. Meskipun itu hanya untuk menceriterakan keriangan anak- anak didiknya. Selain Agis ada juga Yunita, Asraf dan masih banyak yang lain”
“Tahukah kau Cendani?!”

Anak-anak bahkan pernah rela bolos sekolah karena tahu Sekar sedang sakit. Mereka berbondong-bondong menjenguknya. Tak lupa juga membawakan donat keju kesukaannya. Sedekat itu Sekar dengan anak-anak didiknya.
“Aku tahu Cendani, Sekar selalu menggunakan hati. Mengajar dengan hati bahkanpun merawatku dengan hati dan kasih sayangnya–tulus”
Mendengar cerita-cerita mas Pram tentang Sekar, semakin membuatku geram. Kecemburuan ini membara, pahit sekali seperti kopi yang sedang ku aduk. Meski begitu aku berusaha tetap seimbang.
“Minum dulu kopinya bang!” aku melepaskan senyuman

“Hmmm, pahit sekali Cendani, kau kurangi takaran gulanya?” “Tidak bang!” sahutku dengan mata melotot
“Tambahkan lagi ya, satu sendok saja!” tuturnya sambil menyodorkan gelas itu padaku. “Baiklah!!” aku mengangguk, sementara tangan kanan terbuka menerima gelas
Hampir sebulan ini mas Pram menjadi guru menulis ku. Selain mengajarkan bagaimana menulis kritis, beliaupun tak tanggung-tanggung mengajariku menjadi perempuan sejati. Mulai merayuku untuk tidak mengenakan rok mini dan mengajakku pada banyak hal baik lainnya. Namun entah mengapa, perjumpaan yang terlalu sering membuatku menganggapnya tak sekadar guru–lebih dari itu.
**

Mas Pram merupakan pendiri LSM Tani Mandiri. Sampai saat aku mengenalnya, tak kurang 15 Judul buku telah diterbitkan. Kekagumanku pada karya-karyanya mengantarkan pertemuan dan rayuan di Sore itu. Aku adalah salah satu muridnya di Sekolah Alam dan Lingkungan yang dibentuk oleh beberapa aktivis lingkungan. SAL singkatan bagi sekolah alam ini merupakan sekolah dengan tipe non formal.
“Mas pram, jika tidak berkeberatan maukah kau mengajariku menulis?” Pintaku sembari berharap akan di-iya-kan olehnya.


“Tentu saja Cendani. Aku senang jika sebagian yang kumiliki dapat di sharing dengan orang lain. Apalah arti ilmu jika tidak diamalkan, bukankah begitu?” tutur Mas Pram dengan tegas.
“Terima kasih mas. Bolehkah kuajak 2 temanku, Satria dan Haikal. Kupikir, mereka akan tertarik untuk mengikuti kelas menulis ini”
“Baiklah, kabarkan segera waktu dan tempatnya Cendani!”

Sebelumnya mas Pram memang sering diundang untuk mengisi kelas menulis di Komunitas Literasi yang dibentuk oleh teman-teman BEM Fakultas kami. Namun tidak terlalu aktif, antusias teman-teman minim sekali. Terkadang kelas menulis diadakan tiga bulan sekali bahkan pun sampai enam bulan. Kelas menulis yang kugagas diharapkan dapat membuahkan hasil maksimal, lagi pula mas Pram kelihatan tidak berkeberatan. Paling tidak kelas ini akan membantuku untuk memahat peradaban.
**

Sabtu Malam, di Penghujung Tahun 2009

Kelas menulis berlanjut. Dalam sebulan hampir 5 kali pertemuan. Akupun sampai hafal berapa takaran gula untuk secangkir kopi–selera mas Pram. Menyemangatinya dengan kacang pilus karena memang beliau tidak suka merokok, menyiapkan beberapa botol air mineral di meja hingga hal remeh temeh lainnya.
Berbeda dengan Satria dan Haikal, semangat mereka kembang kempis. Seperti malam ini mereka  memilih absen. Ketidakhadiran mereka di kelas menulis tidak membuat semangatku surut. Semangat ini tetap menyala. Lagi pula akupun sungkan untuk alpa karena dari awal, akulah yang meminta mas Pram untuk menjadi mentor. Jika harus meniru Satria dan Haikal maka apa kata dunia?
*

Semenjak bulan Juni kelas menulis diadakan di kontrakanku. Selain punya satu kamar tidur besar, juga tersedia satu ruang tamu berukuran 2 x 3,5 dengan sofa empuk dengan ukuran lumayan lebar. Sekiranya kontrakanku pantas untuk dijadikan ruang belajar.
“Sampai dimana materi kita kemarin Cendani?” Tanya mas Pram padaku “10 jenis Ending dalam Novel!” sahutku dengan lantang
“Bisakah kau jelaskan lagi Cendani?” tutur mas Pram perlahan

“Ada 10 jenis ending dalam Novel diantaranya; the circular ending, the moral ending, the surprise ending, the capturing emotion ending, the reflection ending, the cliff-hanger ending, the humour ending, the question ending, the image ending dan the dialogue ending” aku menjelaskan dengan semangat berapi-api sambil mematah-matahkan jemari.
Mas Pram tersenyum, mungkin dia merasa sukses dalam mentransferkan ilmunya. Aku membalas dengan senyuman hingga mata ini hampir tak kelihatan.


Tanpa disadari, dengan secepatnya seekor kecoak melompat di lengan bajuku. Akupun kaget bukan kepalang aku berusaha mengibas-ngibaskan kecoak busuk itu agar segera pergi tetapi entah mengapa semakin dekat–mendekati leherku dan dengan spontannya aku berlari ke arah meja mas Pram. Belum lagi ditambah teriakan histerisku yang melengking. Gelas berisikan kopi jatuh, pecah. Kakiku menginjak belingnya. Dalam hitungan detik darah pun mengucur deras–keluar di sela-sela jari jempol dan telunjuk kaki kiri. Perih sekali.
“Astaga Cendani lihatlah darahnya mengalir begitu deras!! “Mana kotak P3Knya?” Tanya mas Pram dengan mimik panik.
Karena di kontrakan ini tidak menyediakan kotak P3K, dengan secepat kilat mas Pram merobek kaos oblong yang dipakainya untuk menutupi luka dan menghentikan aliran darah sementara.
Karena pobia darah, saat Mas Pram mulai membersihkan luka di kakiku, tetiba aku merangkulnya, menggenggam lengan kirinya erat sembari mencipitkan mataku yang sebenarnya hampir mendekati sipit. “Aku takut darah” gerutuku dalam hati.
Luka itu sudah dibersihkan, diikat kencang dengan kaos yang disobek-sobek mirip ukuran perban. Di sela-sela keseriusannya menjadi mantri dadakan, sebenarnya Mas Pram menyadari eratnya genggamanku sedari tadi. Hening. Tak ada satu kata yang terucap. Di saat pobiaku mulai menurun dan kembali seimbang, kami saling bersitatap. Aku melihat kelembutan di mata cokelatnya malam itu. Hujan yang tetiba turun diluar sana pun seperti memahami kita sedang saling menakar rasa. Hening. Sambil saling menatap lebih dalam, aku seperti diantarkan ke khayangan.
Saat terbangun aku tak menyangka sudah jam 03.00 malam. Setelah mengambil selimut bercorak bunga mawar merah dari kamar, aku berjalan kearah meja untuk membersihkan pecahan gelas semalam. Dari ujung meja, sungguh mas Pram terlihat benar-benar terjaga.
Pagi-pagi benar mas Pram beranjak. Menyalakan motor tua yang jadi warisan keluarga, melambaikan tangannya. Ini pertanda dia segera kembali.
“Terima kasih Cendani” ungkapnya dengan sedikit mengeraskan suara

Aku tetap memandangnya sampai di penghujung jalan. Bunyi motor buntutnya pun sudah tak terdengar. Aku kembali membersihkan kamar yang berantakan.
*

Pukul 08.00, setiap minggu pagi memang menjadi rutinitas petani-petani di Sekretariat. Biasanya mereka berkumpul untuk berdiskusi atau mengadakan pelatihan-pelatihan kecil. Bahkan beberapa kali setiap minggu pagi dimanfaatkan untuk pelatihan pembuatan pupuk cair dan lain sebagainya. BEM Fakultas kami sering diikut-libatkan pada agenda Sekretariat di minggu pagi. Itu pula yang menjadi alasan mengapa Mas Pram terlihat sangat tergesa-gesa. Perjalanan dari tempatku memang membutuhkan waktu setengah jam.
**


Semenjak kejadian malam itu, perhatian mas Pram terlihat berbeda. Terkadang sebelum memulai kelas dia menawarkan minum kopi bersama. Kadang-kadang dia membawakan cokelat kesukaanku, dia mengerti aku bukan penyuka keju. Hari-hari belajar semakin menyenangkan. Meskipun terkadang cerita- ceritanya tentang Sekar sering memanaskan telinga. Meski begitu aku tetap saja acuh tak menghiraukan. Aku tetap belajar melipat origami.
“Beginikah hasilnya mas?” bertanya sambil menunjukkan burung kertas hasil lipatanku.

Aku tak tahu mengapa rasa bahagia ini semakin bermekaran. Ketika akan berjumpa dengannya jantungku berdegup kencang. “Apa yang terjadi padamu Cendani?” aku bertanya pada diri sendiri.
Terkadang aku merasa sangat kecewa jika kelas menulis dibatalkan begitu saja dengan alasan pertemuan mendadak di sekretariat. Padahal kopi, kacang pilus dan air mineral telah kusiapkan. Aku mengakui bahwa aku terjebak. Dan amarah yang terkumpul tanpa sebab menjadi penanda, aku benar-benar jatuh cinta.
**

Hampir dua tahun kepergian Sekar. Dan selama dua tahun itu aku merasa menjadi penggantinya. Mas Pram pun tidak malu-malu terkadang dia memintaku untuk memasak makanan kesukaannya. Sayur bening jagung dan udang saus asam manis. Pernah sesekali aku menyuapinya, merayu dia untuk banyak makan. Jika sedang demam tinggi, maunya pasti semakin menjadi-jadi. Meski seperti menghadapi bocah umur lima tahunan, berada disampingnya membuatku bahagia.
Sekar melanjutkan studinya di salah satu perguruan tinggi Jerman, Bonn University. Beasiswa studi lanjut didapatkannya sebagai hadiah atas penghargaan guru sains teladan. Tepatnya tahun 2007 dia berangkat dan menetap di sudut kota Nordrgein-Westfalen. Sekar memang perempuan yang luar biasa. Tidak hanya enak dipandang. Sekar pun jago untuk beradu stratak. Seperti cerita Mas Pram padaku, “Sekar adalah jelmaan perempuan mahabarata. Dia bisa saja terlihat anggun dan gemulai, tetapi jika dibutuhkan dia bisa mencengkram tanpa menyisakkan sedikit luka di tubuh lawan. Guru yang patut diwaspada. Aku mengerti. Dia pun ibarat perahu yang akan mengantarkan Mas Pram mencapai kesuksesan gemilang, meskipun sejatinya sekarang sudah bisa dilihat terang-terang. Sebagai penulis, Mas Pram cukup berkarakter. Dia memiliki warna–berbeda.
*

Kabar kembalinya Sekar sudah kudengar seminggu lalu. Suatu pagi setelah membangunkan mas Pram, tanpa sengaja aku membaca direct message dari Sekar. DM itu secara tidak langsung membuat pikiranku berkecamuk. Aku mengalami insomnia. Meskipun kopi yang telah kubagi dengan mas Pram telah  kulahap dengan sempurnah, tetap saja tidak membuat mata ini dapat terpejam. Beberapa minggu ini mas Pram memang menyisahkan waktu denganku. Dia memilih menetap di kontrakan dengan alasan butuh ketenangan dalam menyelesaikan Laporan Tahunan. Deadline pekerjaan yang menumpuk  membuat selera kopinya berubah. Setengah sendok untuk kopi berukuran 600 ml. Mas Pram sejujurnya lebih suka meminumnya dikala hangat-hangat kuku. Jika sudah terlalu dingin maka sisa kopinya diberikan padaku. Seperti malam ini, dia membangunkanku untuk menghabiskan sisa kopinya, kurang lebih 150 ml lagi.


Di malam yang berbeda. Kecamuk dalam pikiran semakin menjadi. Ketakutan akan kehilangan mas Pram semakin memuncak. Meskipun sudah terbilang dekat dengan lelaki hitam manis ini, hati kecilku tetap berkata bahwa dia lebih menginginkan Diwanti Sekar Ayu. Malam ini aku susah tidur. Sesungguhnya bukan karena meminum kopi itu lagi. Karena malam ini, Mas Pram tidak disampingku.
*

Dan tepat tiga hari setelahnya Mas Pram menemuiku. Pukul 22.00, kudengar ketokan pintu, khas darinya.

Tanpa duduk dan minum kopi, mas Pram langsung membuka pembicaraan

“Cendani, tiga hari lagi Sekar akan kembali. Kupikir tak ada lagi alasan untuk berlama-lama disini. Terimakasih atas kebaikannya. Kau adalah perempuan yang paling mengerti aku setelah Sekar. Aku menyayangimu tapi kekuatan cinta Sekar seperti arus magnet, terus menarikku untuk kembali. Getaran itu kupastikan akan terasa semakin menjadi ketika Sekar berada disini” Mas Pram mencium keningku pertanda perpisahan
“Mas, benarkah Sekar takkan terganti?” aku bertanya dengan sedikit terisak

“Benar, Cendani. Aku harap kamu bisa memahami” tegas mas Pram kemudian bergerak kearah pintu.
Bersama dengan dentuman kata-kata perpisahan ini, mataku tak henti mengalirkan air. Air mata. “Mas Pram dan mama membuatku benar-benar tersayat di tahun ini. Tahun 2010 adalah tahun perpisahan. Namun aku tak habis-habisnya berpikir, adakah di dunia ini yang takkan tergantikan? Entahlah.
Air mata ini mengucur lagi meskipun kanalpot motor tua mas Pram sudah hilang di penghujung jalan.
**

Awal Tahun 2012

Menghabiskan malam bersama burung-burung kertas ini sontak menghadirkan bayang-bayang tentangmu. Di saat yang sama aku merasakan hati ini benar-benar tersayat. Cinta ini menggantung.”Entah mengapa berpisah saat mulai menjalin” gumamku. Aku kencangkan volume DVD tentang cinta. Inipun adalah hadiah dari mama sebelum kepergian kekalnya. Dia memahami aku begitu mengagumi 3 Diva.
Suara hati seorang kekasih | bagai, nyanyian surgawi || takkan berdusta | walau ketamakan merajai diri yang penuh emosi | jauh di dasar hatiku | tetap kumau, kau sebagai kasihku||
Sembari bernyanyi kecil dan menghembuskan napas dengan sangat terpaksa aku mengambil notebook
dan membebaskan jemari ku untuk menuliskan puisi tentang kepergianmu, Lelaki di penghujung malam.


LELAKI DI PENGHUJUNG MALAM


Di sebuah malam saat langit terlihat remang-remang Aku perempuan berdiri disampingmu menawarkan segelas kopi pertemuan Menyaksikan kepiawaianmu menggoreskan kata dengan tinta kesucian
Seperti menarik rembulan untuk menari denganku bersama dentuman irama yang lantang

Menjejaki dirimu seperti mengantarkan raga ini mengenal Tuhan Kau mengajarkan aku membaca aksara, menuntunku menuliskan segala kegelisahan Yang kemudian semakin menguatkan kakiku untuk menentang segala macam penindasan
Pelan-pelan kau mengajakku mengenal kesyahduan dan kebahagiaan saat hujan kala langit semakin
remang-remang

Namun ketika kita sama-sama terasa lengkap, di saat yang sama akupun merasa cukup singkat
Kau mengantarkanku pada sebuah pintu bernama perpisahan Kau menunjukkan perahu yang siap dijadikan wahana berlayar
Kau mengajakku perlahan-lahan ke ruang kedamaian, berusaha menetralkan jiwaku untuk berdamai dengan segala impian dan harapan yang telah kugantungkan ke awan-awan yang menjulang

Kini kau hanya ada di seberang ingatan, kau hanya fatamorgana yang tak sudi memancarkan cemerlang Bersama burung-burung kertas yang menemaniku setiap malam, aku berusaha seimbang Mengikhlaskan dan meleburkan diriku dalam sajak-sajak kesendirian
Hingga terasa semakin tertusuk, teramat dalam Karena kau hanyalah lelaki di penghujung malam

Citra Cendani, 2012

**

Penghujung Tahun 2012

Kini telah tiba di penghujung 2012, dimana semua cerita-cerita menuntut penyelesaiaan. Begitu pun aku yang mencoba sekuat hati untuk merelakan kepergiannya dalam sajak-sajak yang tak karuan.

Aku lelah, letih. Tak mau lagi menggantungkan nasibku pada awan-awan yang menjulang. Aku merintih, lirih. Kini aku ingin kembali. Mensucikan diri, menggapai fitrah sejati. Aku ingin kembali pada-Mu.

Meskipun kesadaran ini terbesit timbul-tenggelam untuk menata lagi. Setiap cerita yang ku diktekan di secarik kertas ini semacam tak merelakan kepergianmu. Rintihan di malam itu menjadi cambuk untuk terus menulis. Sebagai guru kamu cukup berhasil.

Sambil membuka lagi e-mail dari Jendela Wahana Sastra. Aku mulai menyusun konstruksi cerita. Dalam rangka menyambut bulan bahasa JWS mengadakan sayembara menulis Cerpen. Setelah menelaah syarat penulisannya dengan saksama aku pun mulai merangkaikan kata demi kata.

Cerpen: Pelarian Cinta dalam Secangkir Kopi


Iya, judulnya: Pelarian Cinta dalam Secangkir Kopi, tak jauh berbeda dengan cerpen dan puisi-puisi sebelumnya”. Kali ini konsepnya tak lari jauh dari cinta dan pengkhianatan. Tetapi endingnya selalu saja


kupilih dengan sad story. “Pelarian Cinta dalam Secangkir Kopi: Karya Citra Cendani” gumamku sambil membentuk senyuman kecil.
**

PEREMPUAN DAN DOA-DOA DI PERSIMPANGAN JALAN


Telah lama aku berada di persimpangan jalan Telah lama aku terjerambab dalam lubang kenistaan
Saat itu keegoan, nyata-merajai diri, mengintariku dengan bayang-bayang keindahan

Cukup sulit menerka setiap kejadian yang datang berseliweran Terasa sulit menjejaki kebenaran dalam kehampaan hati yang berdecak tak karuan
Terkadang aku merintih, Benarkah ini nestapa? Aku menyudut, menepi seperti menegaskan diri ini untuk mati
Tapi jalan ini dengan gamblang mengantarkan ke arah dimana doa-doa harus dikirimkan

Dengan teramat perlahan, Aku mulai menengadah. Aku lelah mengantarkan memori dalam kesalahan-kesalahan silam yang
mengakibatkan banyak air mata bertumpah ruah Aku perempuan. Aku mahfum, hati yang menyelinap semasa itu seharusnya ku usir dengan hentakan
yang memekik hingga tak menelanjangi badan
Aku ingin kembali fitrah Aku rindu, Aku ingin menjadi kekasih-Mu
Aku ingin terus mengirimkan doa-doa ke arsy, hingga menjulang di batas-batas langit yang kasat Aku ingin kembali fitrah, meninggalkan semua kenangan di persimpangan jalan
Bersimpuh, hingga malam memekarkan fajar

Citra Cendani, 2014

Ini adalah puisi pertamaku di tahun 2014. Substansinya sungguh benar merepresentasikan kondisi nyata saat ini. Aku lelah. Aku lelah menggantungkan cinta pada tiang-tiang yang rapuh. Aku lelah menapaki setapak dengan sayap-sayap yang patah. Aku ingin bersuci. Hampir lima tahun ini bayangan mas Pram masih jelas mengintari pemikiran. Semenjak itu pun aku tetap merasakan kedahsyatan perihnya. Di  bawah langit-langit kamar yang dihiasi ratusan burung-burung kertas aku menengadah. “Sungguh aku tak sanggup lagi Tuhan, antarkan lagi satu kekasih-Mu, untukku” bulir-bulir tangisan ini membasahi sajadah.

Lima tahun sudah berlalu, sudah satu setengah tahun ini keluar dari dunia kampus. Aku ingin bergerak lebih leluasa. Keluar dari kungkungan yang kuciptakan sendiri.

Sambil membaca lagi cerpen yang pernah kutuliskan di tahun lalu. Aku mulai bercakap-cakap dengan diri.

“Aku tak tahu, mengapa setiap tulisan yang kuciptakan seolah-olah mengantarkan ingatan ini padamu. Bait puisi yang ku rangkai seolah menceritakan luka dalam yang pernah kau goreskan padaku setelah secercah harapan manis kau hantarkan dalam diam. Alur cerita pendek yang kugoreskan dalam buku catatan ini pun seperti tak mau merelakan kau pergi. Terkadang nama tokoh dalam cerita ku racik serupa dengan namamu, begitu pula klimaksnya, selalu ku akhiri dengan sad story. Seperti luka dan air mata yang mengucur terlalu deras di malam itu”

**


Di malam yang sama, di lokasi berbeda. Sambil mengunyah gulali, Pram dan Sekar berjalan bergandengan tangan menyusuri taman kota. Mereka berniat menyaksikan pasar malam. Sebenarnya Pram ingin merayu Sekar untuk naik bianglala[2] bersamanya. Entah, mengapa memilih bianglala padahal di lokasi pasar malam tersedia seabreg wahana permainan.

“Sekar, maukah kau menaiki bianglala bersamaku?” pinta Pram

“Bianglala?” sahut Sekar sambil menunjuk kearah wahana permainan disampingnya. Dengan tatapan berani Sekar mengiyakan. “Baiklah” diseruput lagi ice coffe dengan toping keju di tangan kanannya.

Sambil berhadap-hadapan tepat di putaran yang kedua kalinya, Pram merangkul tanganku. Hangat sentuhannya tetap terasa sama. Bahkan kehangatan ini yang menjelma menjadi kerinduaan saat-saat aku menikmati musim semi di Eropa sambil menjuntaikan kaki di tepi sungai Rhein. Sebelum putaran terakhir bianglala, aku menatap Pram dalam-dalam. Meski Pram adalah sosok yang sama seperti dahulu ku kenal, entah mengapa selalu saja terbesit beragam tanya di kepalaku?

Kesemuanya adalah pertanyaan yang sama–berulang.

“Adakah lagi yang dapat dipercaya selain diri sendiri? Bukankah setiap orang bahkan orang yang kita sayangi pun bisa berbalik dengan mudahnya untuk mengkhianati?”

Sambil menetralkan pemikiran aku menguatkan rangkulan tangan Pram pada jemariku yang cukup dingin tertiup angin malam. Bianglala kini berputar menurun. Aku berusaha menutup pertanyaan-pertanyaan yang terkadang mendebarkan hati dan perasaan.

Pram menawarkan lagi padaku dengan sapaan lembut “Sayang, apa kau mau menaiki kora- kora[3]?”

*
Di tempat yang berbeda. Cendani Menyendiri. Di sudut kedai kopi, Cendani terlihat serius menatap satu per satu buku yang diletakkan di mejanya. Tetiba datang pelayan yang menawarkan sesuatu padanya, “Apakah anda ingin mencoba donat keju dengan topping cream keju?”

“Akhhh” Cendani mencoba mengatur napasnya berulang kali….


****
Keterangan :
1 Encik: Sebutan bagi seorang guru

2 Bianglala: wahana permainan serupa kincir angin yang berputar searah jarum jam
3 Kora-kora: wahana permainan yang serupa perahu raksasa yang diayunkan ke kanan ke kiri dengan kecepatan tinggi









0 komentar:

Posting Komentar