Meja Makan di Rumah Makan (Dokumentasi Pribadi) |
Rumah Makan menjadi
ruang interaksi antara penjual nasi dengan pembeli. Namun, akan terlihat
berbeda nuansanya jika mayoritas pembeli adalah mahasiswa. Bukan tidak mungkin
jika Rumah Makan itu sendiri berada di seputaran Kampus. Mahasiswa terlihat
tidak hanya sekedar ngopi atau makan saja, bahkan kerap kali berdiskusi dan berdebat membincangkan isu-isu
yang lagi nge-hits. Kaum cendikiawan terlihat
antusias mendiskusikan tingkat kemiskinan yang meninggi, proyek kelistrikan 35
ribu watt yang over estimated, PT NPN
di wilayah Gane yang akan merambah hutan, bendera RRC di Obi juga wacana
perhelatan Pemilihan Kepala Daerah yang akan berlangsung Februari mendatang.
Mengutip
frasa Jeffrey C. Goldfarb dalam The Politics
of Small Things (2006), perbincangan soal politik tak melulu muncul dari
sebuah gerakan besar. Ia kerap muncul diawali dari suatu hal yang kecil dan
sederhana seperti obrolan di meja makan. Sungguh kebiasaan yang baik, karena
cenderung antusias terhadap permasalahan bangsa. Rata-rata mahasiswa yang
sering melakukan diskusi ini adalah mahasiswa yang telah mahfum organisasi atau
juga mahasiswa yang telah lama berada di lingkungan kampus. Dinamika dan budaya
seperti inilah yang seharusnya ada dan terjaga pada mahasiswa. Hal ini tidak terlepas dari peranan mahasiswa sebagai
agent of change dan agent of social control. Mahasiswa seharusnya
peka terhadap segala dinamika sosial dalam kehidupan masyarakat.
Banyak
kalangan yang terkadang masih menganggap bahwa dinamika yang dibentuk mahasiswa
seperti ini acap kali tidak mendatangkan keuntungan dengan kata lain buang-buang waktu, atau tidak
bermanfaat. Hal ini pun dikaitkan dengan kondisi studi mahasiswa yang pada
umumnya berada di semester paling tinggi. Sepertinya kita semuanya pun perlu
melatih diri untuk selalu berbaik sangka. Jangan selamanya menciptakan penghakiman,
dengan penggambaran bahwa “orang lain adalah neraka” bagi kelompok dan
kepentingan sendiri (Jean Paul Sartre; 1905-1980).
Mahasiswa
yang berorganisasi, suka berdiskusi dan yang larut dalam malam untuk melakukan
kajian-kajian adalah mahasiswa yang bertanggung jawab. Sesungguhnya buku,
organisasi dan budaya diskusi merupakan guru yang secara langsung dapat
mengasah hard sekaligus soft skill mahasiswa. Buku adalah
sesuatu yang jika anda pandang maka akan memberikan kenikmatan yang panjang,
dia akan menajamkan kemampuan intelektual, membuat tidak kelu dan membuat ujung
jemari semakin indah (Aidh Al Qorni, 2003).
Sumber foto: ipmarena.com (diambil dari http://www.jalamalut.com/index.php/2017/01/mahasiswa-dan-diskusi-meja-makan/) |
Budaya
literasi secara langsung juga akan meningkatkan kualitas diri mahasiswa,
menumbuhkembangkan jiwa simpati, juga mengasah kesadaran konstruktif untuk
membangun bangsa. Namun, pada akhirnya yang terpenting adalah pada sebuah keseimbangan.
Sikap kritis yang telah dikonstruksi pada masa bermahasiswa perlu diseimbangi
dengan etos belajar yang tinggi serta semangat menyelesaikan studi. Karena
sesungguhnya, daerah, bangsa dan negara ini telah menunggu cikal-bakal pemimpin yang paham kondisi sosial dan yang juga punya
simpati tinggi pada problematika kehidupan masyarakat. Daerah,
bangsa dan negara telah menunggu ide dan gagasan konkrit untuk membangun dan
membenahi kehidupan sosial dan perpolitikan, bukan hanya sekedar diskusi meja makan.
Sejatinya permasalahan masyarakat dan problematika sosial tidak hanya menjadi
hidangan on the table (baca; wacana
Rumah Makan) tetapi juga untuk dicari solusinya dan direalisasikan sebagai
solusi membangun kehidupan masyarakat yang lebih baik. Semoga.
Tulisan telah diterbitkan di JALA MALUT http://www.jalamalut.com/index.php/2017/01/mahasiswa-dan-diskusi-meja-makan/ (11 Januari 2017)
0 komentar:
Posting Komentar