Segelas Air |
Setiap jalan penyusuran ku temui anai-anai
terempas dari ranting kering tak bernyawa
Kadang mata merekah, terbelalak! Sontak, menunjuki diri
sendiri. Berderas syukur dipanjatkan..
Kekuatan Ibu telah menjadi cambuk dalam kehidupan.
Kehadirannya membaluti bolongan ceruk yang menganga
Setiap jalan pendakian, doa-doa beterbangan. Sungguh, tak
ada yang melelahkan! Mengaguminya seperti upaya mendaki tangga langit. Kalis,
terasa teramat manis jika diseruput lebih dalam. Di setiap lorong kesunyian,
doa Ibu selalu menguatkan. Menjembatani diri untuk memeluk yang punya semesta.
Berderas syukur tak lelah dimunajatkan, kepada Ibu, doa-doa ini mengalir
seperti filosofi segelas air.....Tak pernah kering, terus mengalir sampai
akhir!
Desember, 2018
Puisi ini kutuliskan saat
maghrib berakhir. Dingin angin Desember menudungi hati yang kelabu. Tepat lima
tahun kepergian Ibu. Rasa sayang kepadanya tidak pernah berkurang. Tetapi
sungguh, perasaan ini masih terasa tersayat pelan-pelan ketika menjelang senja
menuju malam.
Ketika pagi, tak ku dengar
lagi teriakannya membangunkan kami, seisi rumah. Segelas teh melati sudah tak
kudapati semenjak ibu pergi. Rumah terasa sunyi. Nasi andalan kami sudah lama
tak kami cicipi. Meskipun sejatinya aku tahu campurannya: seperdua beras biasa
dan seperduanya lagi beras ketan. Tapi sungguh sesuatu yang
dihasilkan akan berbeda jika bukan ahlinya yang membuatnya. Sang Maestro akan
melahirkan karya-karya besar. Yang baru belajar, sejatinya perlu bersabar.
Entah ini filosofi dari mana. Meski hanya sekadar nasi, tetap saja berbeda jika
aku yang meracik dan menanaknya. Harus ku akui tangan ibu tak sekadar membuat
nasi menjadi enak tetapi juga berhasil menjadikanya sesuatu yang
dirindukan.
"Mungkin begitu, cerita
tentang ibu". Aku menjawab pertanyaan pertama dengan kerinduan terbungkus
kesedihan yang mendalam.
Begitulah, cerita pertama:
tentang nasi andalan rumah kami. Entahlah, ibu selalu punya cara untuk
menyiasati kekurangan. Aku ingat betul, beras yang kami dapatkan tidak lain
adalah beras sisa gudang yang harganya cukup terjangkau. Mungkin setara dengan
beras kelas bawah. Terkadang ketika dimasak dan dimakan masih terasa bau
apeknya. Sehingga, disiasati dengan mencampurkan beras ketan, tak lupa dibubuhi
dengan selembar pandan agar wanginya menyeruak ke setiap butir saat ditanak.
Cerita kedua, tentang
kewajiban bangun pagi. Cerita ini tentu, tak bias, karena pertanyaan kedua
"apakah Ibu mengajarkan kedisiplinan di rumah?"
Meskipun terlahir bukan dari
keluarga militer, tetapi sungguh gerak langkah ku cukup cekatan. Cepat dan juga necis. Kedisiplinan telah ditanamkan sejak
kecil. Sewaktu masih bersama kami, tepat sebelum subuh, ibu tak pernah alpa
menggedor-gedor pintu kamar ku. Tak sekadar membangunkan, aku pun akan
diserahkan beberapa tanggung jawab harian dengan nada lantang dan juga tegas.
Nyaris tanpa kompromi. Tak sekadar membangunkan, filosofi pagi tak pernah
dilupakan "Ayo, bagun! Kalau tidak rejekimu akan dipatok ayam"
Entahlah, dari mana asalnya. Setahuku ayam hanya akan memakan biji-bijian atau
pakan komersil yang bentuknya crumbles.
Dari kebiasaan bagun pagi aku menyadari ini adalah pelajaran sederhana tentang
kedisiplinan.
Pertanyaan ketiga disodorkan,
"Apa yang mendasari ku membuka gerai nasi kucing tepat di pelataran kampus
hijau ini?" Langsung saja aku memberikan jawaban: "ibu dan filosofi
segelas air". Dewanti mahasiswa semester VII yang sedari tadi mengunyah
pemaparanku semacam terbangun dari lamunan yang panjang. "Benarkah mba
Lastri?", tanyanya sembari memutar-mutar pena yang diapit diantara jari
tengah dan telunjuknya.
"Iya", aku
mengangguk lalu melanjutkan cerita. Sewaktu masih hidup, ibu pernah
menyampaikan cita-citanya. Sederhana, "ingin punya warung makan,"
katanya. Aku bertanya, "kenapa bukan toko atau jenis usaha lainnya
saja?," bingung.
Ibu memberikan jawaban,
"Hidup ibarat terminal, hanya sebuah persinggahan menuju perjalanan yang
lebih panjang. Dalam hidup setidaknya kita bisa menanam yang baik-baik, agar
kelak bisa menuai hasil yang baik. Menjadikan diri bermanfaat adalah cara
sederhana. Jika tidak bisa bermanfaat bagi bangsa dan negara, setidaknya bisa
bermanfaat bagi keluarga atau mungkin pada diri kita sendiri."
Ibu melanjutkan, "Karena
hanya punya keterampilan memasak, ibu ingin berjualan nasi saja. Ya mungkin
saat bersamaan ada mahasiswa yang kehausan dan tak punya uang lantas mampir ke
warung ibu dan meminta segelas air. Tentunya, akan ibu berikan dengan hati
senang. Dari segelas air bukankah akan mengalir rasa syukur kemudian akan
beterbangan doa-doa di antara junjungan langit? Bukankah itu lebih bermanfaat?
Punya sedikit asalkan bermanfaat. Seperti segelas air akan menghilangkan dahaga
akan menjadikan layu dan kuyu."
Itulah alasan kenapa,
keinginanku semakin kuat untuk berjualan nasi kucing di pelataran kampus yang
tak lain berada tepat di teras rumahku. Setiap kali ada mahasiswa yang mampir,
"mba Lastri, bolehkah aku menumpang minum saja?" tak menunggu lama
aku mengiyakan, dan memberikannya dengan hati senang. Saat melihat mereka
meneguk air untuk mengilangkan hausnya, ku bayangkan senyum manis ibu di
langit-langit yang tak kasat mata.
"Begitulah ceritanya mba
Dewanti," aku menepuk pundaknya.
Ibu dan filosofi segelas air,
menjadikan aku mengerti bahwasanya hidup adalah sebuah proses penyusuran,
berjalan untuk memberikan kebermanfaatan sehingga kebahagiaan akan terpatri
dalam setiap hati yang mampu merasakan.
"Ibu, disini aku
memelukmu dalam diam." Doa yang ku panjatkan, semoga amalmu akan terus
mengalir seperti filosofi segelas air. Terus mengalir, sampai akhir!
0 komentar:
Posting Komentar