Masih ingatkah
anda tentang indeks kebahagiaan yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik Tahun 2017 dimana
Propinsi Maluku Utara khususnya kota Ternate menjadi salah satu kota yang
paling bahagia. Benarkah setiap warga kota Ternate telah berbahagia? Benarkah
kita sudah tidak akan lagi menemukan potret-potret keluarga dengan kondisi yang
teramat memperihatinkan di kota ini?
Index of Happiness merupakan salah satu indikator yang
digunakan untuk mengukur kesejahteraan masyarakat berdasarkan tingkat
kebahagiaannya. Nilai Indeks Kebahagiaan tertinggi secara berturut-turut
terdapat pada propinsi Propinsi Maluku Utara (75,68), Maluku (73,77), dan
Sulawesi Utara (73,69). Sementara itu, Propinsi Papua, Sumatera Utara dan Nusa
Tenggara Timur merupakan tiga provinsi yang ternyata memiliki Indeks
Kebahagiaan terendah dengan nilai indeks masing-masing sebesar 67,52; 68,41;
dan 68,98 (BPS, 2017).
Keluarga Mujiono dan
Ibu Sri Rahayu merupakan potret keluarga tidak berkecukupan yang hidup di kota
Ternate. Belum memiliki rumah dan penghasilan yang tetap memaksa pak Mujiono
selaku kepala keluarga harus putar otak–berusaha keras. Namun jika dilihat
sekilas, keluarga kecil ini tetap bersahaja dan berbahagia meski sejujurnya
untuk mencari sesuap nasi pun sulit.
Mulanya keluarga ini
merupakan transmigran Wairoro Kabupaten Halmahera Tengah. Sektor pertanian belum
menjadi hoki untuk keluarga ini. Walhasil semakin membulatkan tekad Pak Mujiono
untuk hijrah ke Ternate. Sejak tahun 2001–2005 pak Mujiono menjadi tukang ojeg.
Dan setelah itu beralih menjadi penjual gorengan berupa tahu isi dan pisang
goreng. Namun, nasib menjadi penjual tahu ini sepertinya tak semulus yang
diharapkan. Terkadang ketika kondisi sunyi pak Mujiono kerap mengalami
kerugian. Tempat jualan tahu isi dan pisang goreng ini berada di dekat pasar
inpres kelurahan Bastiong. Tempat usaha yang masih berstatus kontrak.
Pendapatan yang tidak sesuai dengan biaya modal membuat keluarga Mujiono pun
harus angkat kaki dan berpindah ke kelurahan Jerbus yang berada tepat di bagian
barat dari Bastiong.
Hidup mencari rezeki,
mencari sesuap nasi. Pernyataan ini yang semakin menguatkan gerakklangkah Pak
Mujiono untuk segera move-on dari
impiannya menjadi juragan tahu/gorengan bahkan pun bos tukang ojeg. Sehingga,
pada awal tahun 2010 pak Mujiono banting stir menjadi pengumpul sampah. Sampah
yang biasanya dikumpulkan berupa: botol air mineral, kaleng susu, besi tua,
almunium dan kertas bekas. Pak Mujiono tidak sendirian menjalani profesi
barunya sebagai pengumpul sampah. Ada ibu Sri Rahayu isteri tercinta yang telah
menganugerahi empat orang anak untuknya. Yang mana anak pertama sekarang (red: tahun 2016) sudah berada pada
semester akhir di salah satu Universitas Swasta di Kota Ternate.
Meski tertatih-tatih
memilih-milih sampah di tumpukkan yang lebih tinggi di Tempat Pembuangan Akhir
(TPA) dan rela mengubur malu untuk menuruni selokan demi mendulang
rezeki, sungguh pun tak memadamkan semangat pak Mujiono dan ibu Sri Rahayu. Di
sela-sela perjumpaan saya melihat semangat yang menggbu seiring dengan
cucuran keringat Bu Rahayu juga pak Mujiono. Meski begini senyum masih bisa
terpatri diantara keduanya. Ataukah mungkin benar pernyataan dari Kepala BPS,
Suhariyanto bahwa Maluku Utara menjadi propinsi paling bahagia karena
masyarakatnya lebih dalam memaknai hidup. Mungkin bisa jadi, pemahaman yang
mendasar inilah yang menjadi penyulut semangat keluarga Mujiono untuk terrus
memperjuangkan kehidupannya.
Akhir Desember tahun
2016 adalah awal perjumpaan penulis dengan keluarga Mujiono dan pada bulan
November tahun 2017 dipertemukan lagi. Terlihat semangat menjalani profesi
sebagai pengumpul sampah masih menyala-nyala. Ini nampak juga dari gerobak yang telah
berubah warnanya menjadi lebih menyala. Meskipun motor yang digunakan untuk menggandeng gerobak tetap sama. Adapula tulisan “Jaga Jarak” untuk
memperingatkan pada kendaraan yang berada di belakang gerobak agak tidak
balapan, apalagi saat geobak dipenuh sampah-sampah hampir lebih dari 20 karung.
Gerobak penampung sampah keluarga Mujiono diikatkan tepat pada pegangan motor
bagian belakang. Di saat perjalanan pulang, pak Mujiono menjadi pengemudi
sedangkan ibu Rahayu duduk di belakang sambil kedua tanggannya memegang erat
gerobak. Makna “Jaga Jarak” mulai tersingkap bukan? Karena saat motor dikayuh
oleh pengemudi maka rasa was-was menggerogoti pikiran Bu Rahayu yang mana harus
tetap fokus memegang gerobak apalagi pada saat posisi jalan tanjakan atau
berada di belokan yang cukup tajam.
Mungkin dengan posisi hidup seperti ini keluarga Mujiono
khususnya Ibu Rahayu sedang belajar untuk mengolah emosi. Kewaspadaan yang
begitu tinggi terjadi acap kali bu Rahayu terlalu menitikberatkan fokusnya pada
tumpukan sampah yang meninggi di gerobak belakang.
Pak Mujiono dan Bu Rahayu setiap harinya juga tak lupa tetap meletakkan fokus pada
rasa bahagia. Maka bukan tak mungkin jika kebahagiaan selalu terpatri disini –
di keluarga kecil yang menyandarkan hidupnya pada sampah-sampah yang berserakan
juga yang tertumpuk hingga menjulang tinggi. Sebagaimana menurut Deden
Hendrayana (2014), percaya atau tidak, emosi anda
akan menjadi semakin kuat bila anda semakin fokus. Semakin anda fokus maka
marah, sedih, gembira dapat anda rasakan (tergantung apa yang akan dipilih).
Sebaliknya, emosi anda akan reda bila anda mengubah fokus Anda. Sedih bisa jadi bahagia dan seterusnya. Jika ingin dibuktikan, coba saja di saat
anda merasa sedih, gantilah fokus anda kepada sesuatu hal yang mengembirakan.
Fokus dan semakin fokuslah pada rasa gembira itu maka rasa sedih Anda akan
sirna. Begitu sederhana bukan?
Pak Mujiono mengakui
bahwa dengan nyampah (sebutan anyar bagi pengumpul sampah oleh keluarga Mujiono)
maka perekonomian keluarga mereka dapat tertolong. Biaya kuliah sang anak,
biaya makan sehari-hari bisa tercukupkan hanya dengan modal nyampah.
Ditambahkan Bu Rahayu, "dengan menjadi pengumpul sampah, waktu bersama
keluarga khususnya waktu mengurus anak lebih lebar durasinya". Quality time dengan keluarga lebih dapat dirasakan. Mengapa? karena pengumpul sampah memiliki waktu yang fleksibel. Asal sudah cukup untuk makan, maka dicukupkan.
Kalkulasi pemasukan
keluarga Mujiono dalam waktu tiga hari saja bisa mencapai satu juta rupiah. Pemasukan yang fantastis ini didapatkan
dari penjualan botol air mineral, kaleng susu, besi tua/almunium dan kertas
bekas di salah satu bank sampah yang terletak di kelurahan Kayu Merah kota
Ternate Selatan. Bank sampah atau tempat penjualan besi tua yang terdapat di
kota Ternate ini sepertinya menjadi juru selamat bagi keluarga kurang
berkecukupan seperti pak Mujiono. Berdasarkan hasil wawancara dengan bu Rahayu:
harga kertas bekas per kilogramnya adalah Rp.1000,00;
kaleng susu Rp. 700,00; gelas plastik (air mineral) Rp. 250,00 dan botol
plastik (air mineral) Rp. 1.000,00. Besar kecilnya pendapatan perhari atau
total akumulasi perminggu tergantung dari segiat apa pak Mujiono dan ibu Rahayu
dalam mendulang rezeki.
Akhir kata, jika
kebahagiaan bisa ditakar dengan sesuap nasi lantas mengapa kita masih
saling menyakiti dalam mencari rezeki? Bukankah jodoh, mati dan rezeki adalah
hak yang maha digdaya Tuhan Yang Maha Esa? Sampai kapan kita tetap mendongak
dan melawan untuk tidak mensyukuri nikmat yang diberi? Semoga kebahagiaan ini
akan selalu terpatri pada setiap diri pun juga selalu untuk keluarga dengan
potret ekonomi seperti keluarga pak Mujiono ini. Karena yakin dan percaya, jika
bahagia sudah ada di hati, tahun depan kita akan tetap menyabet predikat dengan
Index of Happiness tertinggi–semoga!
[dokpri 2016] Sulasmi, Ibu Rahayu, Pak Mujiono |
Referensi:
[Badan Pusat
Statistik] BPS. Indeks Kebahagiaan Tahun 2017 (diunduh: 17 Februari 2018 https://www.bps.go.id/ )
Berita tentang 7
Propinsi paling bahagia di Indonesia https://kumparan.com/@kumparannews/7-provinsi-paling-bahagia-di-indonesia (diakses: 17
Februari 2018)
Artikel: Tiga hal penanda anda memiliki
kecerdasan emosional yang baik https://dedenhendrayana.wordpress.com/2014/01/07/ (diakses: 17
Februari 2018)
0 komentar:
Posting Komentar