Mengenali Bangunan Cagar
Budaya di Ternate
Cagar budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa
benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar
budaya dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan (UU
Nomor 11 Tahun 2010 tentang cagar budaya).
Kota
Ternate sebagai salah satu kota budaya memiliki beragam warisan cagar budaya
terutama bangunan cagar budayanya yaitu Benteng. Benteng Oranje misalnya, masuk
dalam salah satu warisan cagar budaya Indonesia yang sudah terdaftar dan
teridentifikasi. Bangunan benteng-benteng inipun dibangun atas gerakan 3G (gold,
glory dan gospel) oleh bangsa barat
yang ingin menguasai Ternate dan Tidore.
Peninggalan
cagar budaya menjadi salah satu tolak ukur tinggi rendahnya peradaban suatu
bangsa mengutip Wibowo (2014). Lalu, berapa banyak peninggalan cagar budaya
yang ada di Ternate khususnya bangunan cagar budaya berupa bentengnya? Di
Ternate ada Benteng Fort Oranje, Benteng Tolukko, Benteng Kalamata, Benteng Santo
Pedro dan Benteng Kastela. Keberadaan benteng ini tak sekadar sebuah warisan
budaya pun sekaligus menampilkan kemajuan peradaban kota Ternate tempo doeloe.
Benteng
Oranje yang dibangun oleh Cornelis Matclief de Jonge pada 26 Mei 1607 dan
merupakan salah satu benteng terbesar di Ternate. Sekilas dari sejarahnya
benteng ini pernah menjadi pusat pemerintahan tertinggi Hindia Belanda. Benteng
Oranje telah teregister secara nasional RNCB. 20190219.04.001566 dan Penetapan
berdasarkan SK Menteri Nomor. 322/M/2018.
Swafoto depan Gerbang Benteng Fort Oranje Ternate (dokpri) |
Adapula
benteng Tolukko yang dibangun oleh Fransisco Serao, seorang panglima Portugis
pada tahun 1540. Tujuan membangun benteng adalah untuk tempat pertahanan dalam
menguasai cengkih dan juga menguasai dominasinya diantara bangsa Eropa yang
lain. Bangunan ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya nasional dengan SK
Penetapan Nomor PM.20/PW/007/MKP/2007 tanggal 26 Maret 2007.
Benteng Tolukko Ternate (dok. Instagram Dinas Paariwisata Kota Ternate) |
Di
bagian selatan Kota Ternate terdapat, benteng Kalamata pertama kali dibangun
oleh Portugis (Fransisco Serao) pada tahun 1540. Tujuan pembuatan
benteng ini adalah untuk menghadapi serangan Spanyol dari Rum, Tidore. Benteng
ini telah diakui dan mendapatkan SK. Penetapan Nomor 013/M/1999 tanggal 12
Januari 1999.
Benteng Kalamata Ternate tampak atas (dok. Instagram Dinas Pariwisata Kota Ternate) |
Benteng
Santo Pedro dibangun pada tahun 1530, terletak di sebelah utara Kelurahan
Ngade. Tujuan didirikannya benteng ini memiliki peran sebagai basis militer dan
digunakan sebagai pengintai musuh baik yang datang dari utara maupun dari
selatan. Bangunan benteng Santo Pedro, ditetapkan dengan SK Nomor PM.
20/PW/007/MK/2007 tanggal 26 Maret 2007.
Sharing Knowledge sambil menikmati keindahan Benteng Kalamata Ternate (dok. FB Prof Suprayitno) |
Benteng Kastela yang berada di kelurahan Kastela, Ternate dibangun pada tahun 1605. Benteng yang dikenal sebagai benteng kolonial pertama ini merupakan reruntuhan benteng yang terletak di pesisir barat daya Ternate. Bangunan ini sudah ditetapkan sebagai cagar Budaya Nasional dengan SK Penetapan Nomor PM.20/PW/007/MKP/2007 tanggal 26 Maret 2007.
Sharing Knowledge sambil Mengunjungi Benteng Kastela (dok. FB Prof Suprayitno) |
Plesiran
“Tempo Doloe”
Istilah
plesiran tempo doloe terinspirasi dari selebaran sahabat museum dan
iklan humoristik dalam tulisan Helene Njoto. Pertama, selebaran
sahabat museum untuk program kunjungan ke Kalijati-Rengasdengklok yang bertema
Pembebasan dan kedua, iklan humoristik dari sahabat museum untuk
program-program wisata budaya “Plesiran Tempo Doeloe”.
Hal ini
bermula dari kegiatan-kegiatan organisasi-organisasi pemantau warisan budaya,
sejak permulaan tahun 2000-an, terutama berkisar pada penggalangan sebagian
kalangan muda terdidik di ibukota untuk mencintai warisan sejarah dan
pembentukan perkumpulan-perkumpulan bergaya baru. Dua perkumpulan paling aktif
adalah Komunitas Historia dan sahabat Museum yang dibentuk kalangan muda
pecinta sejarah modern, saling berlomba memperkenalkan warisan sejarah melalui program-program
jelajah wisata yang disebut dengan heritage trail.
Sementara
pada awal 2005 sampai 2009, daya iba atau keresahan dari masyarakat terhadap
klaim-klaim Malaysia atas keris, wayang dan batik teramat minim. Sehingga
dibuatlah program wisata budaya yang bertajuk ironik Plesiran Tempo Doeloe. Plesiran
diambil dari istilah bahasa Belanda Plezier (pesiar,
bersenang-senang) dan bahasa Indonesia untuk kata tempo dulu dengan ejaan lama yang memiliki arti “masa silam” atau
bisa juga keindahan masa silam yang menyaran ke masa kolonial.
Diharapkan
Plesiran Tempo Doeloe ini dapat menjadi agenda dalam merawat cagar
budaya Indonesia, khususnya bangunan cagar budaya berupa benteng-benteng yang
ada di Ternate. Sederhana dengan berplesiran atau mengunjungi benteng-benteng
ini diharapkan muncul kecintaan masyarakat terhadap warisan budaya yang
dimiliki. Sehingga kelestarian benteng-benteng ini kelak dapat dinikmati oleh generasi-generasi
mendatang.
Merawat Bangunan Cagar
Budaya: Bagaimana Kondisi di Ternate?
Untuk
wilayah Ternate, upaya perawatan bangunan cagar budaya sudah cukup digeliatkan.
Penataan benteng yang apik semakin menambah estetika. Walhasil yang berkunjung
pun akan merasa terkesima. Upaya ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja
dalam hal ini Dinas Pariwisata Kota Ternate, ada pula andil Balai Pelestarian Cagar
Budaya Maluku Utara dengan seabrek kegiatannya dan yang terpenting adalah
konsistensi komunitas pecinta budaya dan masyarakat dalam merawat cagar budaya. Salah satu diantaranya adalah aksi jalan sehat sambil mengenal cagar budaya di Ternate sebagaimana dilansir Cermat, Kumparan 7/7/2019,
Jalan Sehat Sambil Mengenal Cagar Budaya di Ternate (dok. Cermat Kumparan, 2019) |
Gerakan heritage
trail juga sudah mewabah sejak beberapa tahun silam. Gerakan jelajah wisata
berbasis edukasi ini menjadi agenda prioritas dari Komunitas Ternate Heritage.
Penulis mengamati perkembangan Ternate Heritage di media massa maupun
media sosial. Mulai dari jelajah wisata di benteng, kampung tua dan unik
peninggalan sejarah di Ternate, diskusi dan sharing knowladge terkait
dengan cagar budaya hingga pemberdayaan masyarakat berbasis warisan budaya juga Festival Pusaka Ternate. Yang teranyar adalah kegiatan Kelas Pusaka Anak di Benteng Kalamata sebagaimana di lansir Cermat, Kumparan (3/8/2019). Mengajak anak-anak untuk mencintai warisan budaya adalah cara sederhana untuk merawat cagar budaya.
Kelas Pusaka Anak di Benteng Kalamata (dok. Cermat, Kumparan 2019) |
Tidak kalah, pemerintah
pun konsisten dalam pengembangan bangunan cagar budaya di Ternate. Masyarakat
juga turut dilibatkan dalam setiap kegiatan yang berkaitan dengan kebudayaan.
Hal ini juga tidak terlepas dari icon kota Ternate yang dikenal sebagai
kota budaya. Pun sebagaimana visinya: ”terwujudnya Ternate menjadi kota
berbudaya, agamais, harmonis, mandiri, berkeadilan dan berwawasan lingkungan”
dan misi pembangunan daerah jangka mengengah tahun 2016-2021 dalam poin kelima yaitu
membangun kota Ternate sebagai pusat destinasi wisata unggulan berbasis budaya,
sejarah dan bahari.
“Plesiran Tempo Doloe”,
Masyarakat Turut Terlibat
Plesiran
yang juga memiliki arti berdarmawisata atau berekreasi tentunya menjadi agenda
atau kegiatan yang cukup menarik bagi masyarakat pada umumnya. Namun masyarakat
tidak hanya dituntut sebagai penerima segala kebijakan pemerintah saja,
pun juga dapat mengambil bagian sebagai suatu aksi partisipatoris.
Masyarakat
yang memiliki edukasi terkait dengan cagar budaya dapat menjadi tour guide.
Kunjungi, lindungi dan lestarikan dapat menjadi tagline bagi masyarakat
Ternate untuk dapat menarik perhatian tamu ataupun wisatawan domestik dan
wisatawan mancanegara agar datang berbondong-bondong mengunjungi Ternate.
Seperti
belum lama ini, saya juga telah menjalankan aksi partisipatoris tersebut dengan
membawa tamu dari pulau Jawa. Pasangan suami istri, Prof Suprayitno dan Prof
Sedarnawati terlihat sangat berbahagia ketika mengunjungi wisata sejarah terutama bangunan cagar budaya yang ada di seantero Ternate.
Menikmati Keindahan Bangunan Cagar Budaya Benteng Fort Oranje Ternate (dok. FB. Prof Suprayitno) |
Pada kesempatan
tersebut saya menyempatkan diri untuk mengajak orang-orang ternama itu ke
benteng Fort Oranje, benteng Kalamata, singgah di benteng Kalamata, melewati
benteng Santo Pedro dan mengakhiri perjalanan menuju Benteng Kastela. Dalam
kunjungan tersebut pun terjadi sharing knowledge terkait sejarah dan
keunikan-keunikan lain dari benteng-benteng tersebut. Yang diharapkan adalah adanya kepuasan pengunjung dan kesan baik setelah berplesiran. Sebagai guide tentu akan berbahagia juga bukan?
Kesan Prof Suprayitno setelah berplesiran di Ternate (dok. FB Prof Suprayitno) |
Plesiran
dengan selipan edukasi ini dapat menjadi salah satu pilihan bagi masyarakat
yang hendak melibatkan diri atau ikut dalam aksi partisipatoris mendukung
perawatan cagar budaya Indonesia. Atau mungkin pilihan lainnya dengan sekadar
menuangkan pemikiran sederhana dengan mengikuti lomba menulis dari KemendikbudRI dan Indonesiana terkait “Cagar Budaya Indonesia: Rawat atau Musnah”.
Referensi:
Njoto Helene. Reka Cipta Warisan Budaya Indonesia. Nalada Sriwijaya Center, ISEAS-Yusof Ishak Institutte, CASE, AUSser kerjasama Soedarmadji Damais. Revolusi Tak Kunjung Selesai: Potret Indonesia Masa Kini. 2017. IRASEC & KPG.
Tim Penyusun. Profil Budaya dan Bahasa Kota Ternate. Kementeria Pendidikan dan Kebudayaan Sekretaris Jenderal Pusat Data dan Statistik Pendidikan dan Kebudayaan. 2018. Kemendikbud RI Jakarta
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. 2012. Direktorat Pelestarian Cagar
Budaya dan Permuseuman.
Wibowo B. Agus. Strategi Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Berbasis Masyarakat (Kasus Pelestarian Benda/Situs Cagar Budaya Gampong Pande Kecamatan Kutaraja Banda Aceh Propinsi Aceh. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, Volume 8, Nomor 1, Juni 2014, hal 58-71.
Tulisan diikutsertakan pada Kompetisi Blog Cagar Budaya Indonesia "Rawat atau Musnah"
0 komentar:
Posting Komentar