Koran Kompas dan Bursa Koran Card |
Mengenal
kompas dalam sebuah perjalanan, ibarat menemukan peta untuk terus berjalan. Bersama
Kompasiana, guratan tinta tak akan pernah mengantarkan cerita pada ujungnya.
Kompas
dan sebuah Perkenalan
Tinggal
di Pulau Ternate nun jauh dari ibukota tidak lantas menjadikan kita buta informasi.
Meskipun cerita ini terjadi satu dekade lalu. Dimana pada masa itu, seingat
saya belum secanggih saat ini: informasi datang bertumpah ruah hanya dalam
sekali klik.
Beruntunglah
rumah saya terletak di depan kampus. Lalu apa hubungannya? Orang tua memanfaatkan
lokasi depan rumah, membuat warung makan untuk berjualan nasi. Suatu ketika ada
seorang pria yang datang menawarkan penitipan koran. Alih-alih meyakinkan koran
pasti laris disini (di warung kami). Karena dosen dan mahasiswa pecinta
literasi, maka koran akan selalu dicari. Bukan karena rayuan itu sebenarnya. Sebagai
penjual kami merasa bersyukur bisa mengambil keuntungan Rp 500 per exampelar.
Selain mendatangkan rupiah akses informasi akan mudah didapatkan. Walhasil Koran
menjadi “jualan” baru di warung makan.
Setiap
harinya loper koran mengantarkan lima exampelar. Koran dijajakkan di depan
warung makan. Maka, rutinitas pagi sebelum ke kampus: menjaga warung disambi
dengan membaca koran. Beruntung pula jika ada satu atau dua eksampelar yang
tidak laku. Mengapa? Karena itu bisa saya jadikan bahan kliping. Entah apa yang
merasuki saya kala itu. Menggunting setiap informasi menarik dari koran menjadi
kebahagiaan tersendiri. Ada yang masih tersimpan rapi hingga kini namun sayang
yang lainnya tak tahu raib kemana.
Mulanya
hanya koran lokal yang dititipkan oleh loper koran. Seiring berjalan waktu ada
juga majalah lokal hingga koran nasional. Cukup laris. Salah satu koran nasional
yang menarik perhatian adalah Kompas. Saya sering membacanya meskipun kadang
merasa kesulitan karena banyak kata yang tidak dimengerti, kamus KBBI digital pun
belum saya miliki saat itu.
Berlangganan Kompas dan Keseruan
menjadi Kompasianer
Empat
tahun berlalu saat berkenalan dengan kompas. Kalau tidak salah ingat 30 Mei
2014 saya memutuskan bergabung menjadi kompasianer. Kompasianer adalah penulis di
Kompasiana, blog jurnalis kompas yang bertransformasi menjadi media warga (citizen media). Bagi saya adalah mimpi
untuk dapat menerbitkan tulisan di Koran Kompas. Menjadi kompasianer adalah
pilihan bagi saya yang biasa-biasa ini. Menulis sesuai mood dan semangat datang hanya ketika ada reward. Sangat disayangkan!
Ketika
berkesempatan melanjutkan studi di Kota Hujan saya memutuskan untuk
berlangganan kompas. Bermula dari tawaran sales
marketing bursa koran yang mangkal di depan perpustakaan kampus. Tertarik
karena terbilang murah dibandingkan di Ternate. Saya hanya perlu membayar Rp 60
ribu untuk dapat menikmati Kompas per bulan. Meskipun terkadang menunggak
karena harus menunggu kiriman dari kampung halaman.
Setiap
hari koran diantar di kosan bahkan hingga di depan kamar. Begitu mudahnya
mendapatkan informasi. Tapi tidak saya manfaatkan sebaik-baiknya. Bermula
berniat: membaca kompas dan menulis di kompasiana. One day one article, namun susah sekali karena terbentur dengan
rutinitas perkuliahan hingga penelitian. Sangat menyedihkan!
Namun
terkadang saya tersenyum dan bahagia tak kepalang ketika medapatkan berita
tentang kampung halaman yang dimuat langsung harian Kompas. Pernah, suatu ketika
tepat di hari minggu. Saya membuka halaman tentang perjalanan terpampang wisata sejarah, foto benteng, pohon cengkeh tertua dan lautan yang memesona di Ternate ditampilkan. Saya sontak kegirangan dan segera menunjukkan
kepada rekan-rekan di kosan tentang kejayaan Ternate di masa silam dan keindahannya yang tak lekang zaman.
(dokpri) Rubrik Perjalanan Kompas, Ternate |
Beralih
pada Kompasiana. Hingga 2019 selama menjadi kompasianer saya hanya bisa meraih 509
poin dan berada pada level Junior. Jumlah tulisan yang dihasilkan baru mencapai
32, itu pun hanya terdiri dari catatan mengikuti seminar, artikel lepas dan
puisi-puisi seadanya. Jika dibandingkan dengan kompasianer lain yang konsisten one day one article. Maka dalam setahun
kurang lebih 300 tulisan yang sudah bisa ditayangkan. Seandainya, saya bisa!!!
Paling
tidak saya bisa berbahagia karena punya ruang untuk menyampaikan gagasan,
pendapat, ulasan maupun memberikan tanggapan dari berbagai peristiwa. Alih-alih
sebagai pewarta warga, yang atas nama diri sendiri bisa melaporkan peristiwa
yang terjadi di sekitar kita.
Tapi
itulah yang dikehendaki Kompasiana. Keterlibatan aktif warga akan diharapkan
dapat mempercepat arus informasi dan memperkuat pondasi demokratisasi dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Tren jurnalisme warga seperti ini sudah
terlebih dahulu mewabah di banyak negara maju sebagai lahirnya web 2.0 yang
memungkinkan masyarakat pengguna internet (netizen)
menempatkan dan menayangkan konten dalam bentuk teks, foto dan video.
Pengalaman Manis di Kompasiana
Sebagai
pemula yang pada tahun lalu masih berada pada level debutan, saya memberanikan
diri mengikuti Kompasiana Blog Competition. Kompasiana bekerjasama dengan JNE, mengangkat
tema: “Melihat Potensi UMKM di Pelosok Negeri.” Terbersit untuk menuliskan UMKM
di kota Ternate yang bergeliat mengembangkan potensi Rempah-rempah yaitu
cengkeh dan pala sebagai oleh-oleh khas.
(dokpri) Kunjungan ke UMKM Qonita Production, Ngade Ternate |
Modalnya
sebuah riset sederhana. Mengunjungi langsung lokasi produksi salah satu UMKM yang
menawarkan beragam oleh-oleh khas Ternate yang berasal dari cengkeh dan pala.
Mengumpulkan informasi rekam jejak UMKM yang bernama Qonita Production mengantarkan
tulisan saya terpilih. Masuk 8 besar dan mendapatkan reward uang tunai Rp. 2 juta. Namun sampai pada titik itu, kebahagian sesungguhnya adalah karena mampu
menyebarluaskan informasi potensi UMKM lokal kita untuk menunjang kemajuan
ekonomi di daerah tercinta, Ternate.
Pengumuman Blog Competition Kompasiana dan JNE |
Pada
akhirnya, saya bersyukur telah mengenal kompas dan berkesempatan menjadi
kompasianer. Membaca kompas dan menulis di kompasiana menjadi rutinitas yang
menyenangkan. Semoga saya tetap semangat untuk terus menjadikannya habituasi.
8 Tulisan terpilih, Sulasmi: Oleh-oleh Negeri Rempah |
Mengenal
kompas dalam sebuah perjalanan, ibarat menemukan peta untuk terus berjalan. Bersama
Kompasiana, guratan tinta tak akan pernah mengantarkan cerita pada ujungnya.
Senja kala media tak mungkin pernah ada, terutama bagi
mereka-mereka yang punya pengalaman manis dengannya. Dari media, ragam
informasi diterima, tantangan, peluang juga ditemukan. Pun terlebih bagi
mereka, yang cintanya mekar dan tumbuh di setiap lembaran-lembarannya. Tentu
saja, akan sulit untuk melupa.
0 komentar:
Posting Komentar